Kurang Tepat Naikkan Iuran BPJS di Tengah Ekonomi Masyarakat Terseok-seok
Ilustrasi (Didi Kurniawan/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Langkah pemerintah yang kembali menaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah COVID-19 dinilai kurang tepat. Sebab, ekonomi masyarakat tengah terseok-seok akibat virus tersebut.

Ketua Komisi IX DPR RI Felly Estelita Runtuwene mengtakan, seharusnya pemerintah mempertimbangkan ekonomi masyarakat. Bukan membuat keputusan yang memberatkan masyarakat dalam situasi ekonomi yang tidak menentu.

"Kalau mau bicara kenaikan iuran, tunggu (ekonomi, red) kita stabil. Saat ini kita bicara ekonomi, tata kelola, tapi kita lupa urusan sosialnya seperti bagaimana dampak dari pandemi ini," kata Felly dalam rapat kerja dengan Menteri Kesehatan, Menko PMK, Kepala DJSN, Dirut BPJS Kesehatan, Kamis 11 Juni malam.

Sementara Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay, dengan tegas menolak keputusan pemerintah ini. Sebab, kondisi masyarakat saat ini sedang sulit.

 "DPR menolak kenaikan iuran BPJS. Ini legislatif diabaikan. Karena itu saya minta penghitungan aktuarianya seperti apa, biar kita lihat dulu. Jangan-jangan ini asal-asalan juga kenaikannya," kata dia.

Mustinya, kata dia, pemerintah melaksanakan dahulu putusan MA atas pembatalan kenaikan iuran seblumnya. Namun, pemerintah bukan melaksanakan perintah itu, malah menaikan lagi iuran BPJS Kesehatan.

“Makanya mohon maaf, seakan-akan kita dikerjain semua sama pemerintah. Ada sebuah lembaga institusi demokrasi di Indonesia yang dilangkahi oleh pemerintah. Coba lihat itu MA kan adalah suatu lembaga yang disebut dengan yudikatif. Keputusannya diabaikan oleh pemerintah," ucapnya keheranan. 

Sementara, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, saat ini tarif iuran BPJS Kesehatan masih jauh dari perhitungan aktuaria. Padahal, pemerintah telah menaikkan tarif iuran Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri melalui Perpres Nomor 64 tahun 2020.

Muhadjir mengatakan dengan tarif iuran yang berlaku saat ini, pemerintah harus menambal selisihnya dengan besaran iuran berdasarkan perhitungan aktuaria. Namun demikian, hal tersebut tidak bisa berlangsung secara terus menerus jika disesuaikan dengan kapasitas fiskal pemerintah.

"Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) itu, iya. Kalau di bawah aktuaria, artinya pemerintah yang menangani. Tapi tentu tidak mungkin pemerintah akan terbebani terus menerus dengan kapasitas fiskal yang ada. Idealnya, ini iuran gotong royong, sehingga ditanggung bersama secara aktuaria ini," ujar dia.

Adapun kenaikan iuran BPJS Kesehatan berlaku mulai 1 Juli 2020 setelah pemerintah mengeluarkan Perpres 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Sedangkan untuk peserta kelas III, kenaikannya berlaku mulai 2021. Padahal MA sebelumnya MA telah membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020 yang diatur dalam Perpres 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.