Tidak Tepat Menaikkan Iuran BPJS Kesehatan saat Daya Beli Masyarakat Rendah
Ilustrasi. (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai kenaikan iuran badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) Kesehatan pada 1 Juli mendatang tidak tepat. Apalagi, kenaikan iuran tidak menjamin akan menyelamatkan defisit di tubuh BPJS.

Menurut Timboel, pemerintah juga telah mengumumkan saat ini daya beli masyarakat rendah akibat pagebluk virus corona atau COVID-19. Bank Indonesia juga telah memprediksi mengenai tingkat inflasi pada bulan Mei 2020 yang hanya 0,09 persen secara bulanan (month to month).

Lebih lanjut, Timboel mengatakan, inflasi tersebut merupakan yang terendah selama lima tahun terakhir jika benar-benar terjadi. Padahal hal ini sudah didukung oleh momentum Ramadan, di mana normalnya inflasi cenderung lebih tinggi.

"Secara yuridis tidak masalah (menaikkan), tapi waktunya tidak tepat. Kuartal I 2020 pertumbuhan ekonomi kita 2,97 persen, daya beli kita rendah, kenapa harus dinaikkan sekarang?," tutur Timboel, dalam diskusi daring dengan tema 'JKN Berkeadilan dan Berkesinambungan', Jumat, 29 Mei.

Timboel mempertanyakan, mengapa pemerintah tidak menaikan iuran setelah ekonomi stabil sesudah adanya relaksasi PSBB. Sehingga geliat ekonomi muncul lagi dan pekerja informal yang mayoritas menduduki peserta mandiri bisa memulai usahanya kembali.

Di samping itu, Timboel tidak menampik jika kenaikan iuran BPJS Kesehatan merupakan sebuah keniscayaan. Namun, bukan berarti kenaikan iuran ini menjadi solusi bagi pemerintah untuk mengatasi defisit pada tubuh BPJS Kesehatan yang sudah terjadi bertahun-tahun dan terus membengkak.

"Ini persoalan JKN yang terus menerus terjadi, perbaikan memang ada, tapi memang kasusnya ya itu-itu saja. Out of pocket tetap terjadi, naiknya iuran apa bisa menekan out of pocket? Tidak juga. Apakah kenaikan iuran otomatis menekan defisit? Belum tentu," katanya.

Ada pun defisit BPJS Kesehatan di 2019 sebesar Rp15,5 triliun. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai defisit Rp9,1 triliun.

Kenaikan iuran, kata Timboel, jika tidak diikuti dengan perbaikan dan tata kelola manajemen BPJS Kesehatan maka akan sia-sia.

"Perpres 75 dan 64 intinya ada kenaikan iuran, kenaikan iuran itu keniscayaan, karena regulasi mengatur. Tapi masalahnya kan perbaikannya seperti apa," tuturnya.

Sekadar informasi, dalam Perpres 64 Tahun 2020, pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan mulai 1 Juli mendatang.

Iuran peserta Mandiri kelas I naik dari Rp80.000 menjadi Rp150.000 per peserta per bulan. Sedangkan, Mandiri kelas II naik dari Rp51.000 menjadi Rp100.000 per peserta per bulan. Kenaikan kedua kelas berlaku mulai Juli 2020.

Sementara iuran kepesertaan Mandiri kelas III naik dari Rp25.500 menjadi Rp35.000 per peserta per bulan mulai 2021.