Bos BPJS Kesehatan yang Bela Pemerintah Terkait Kenaikan Iuran
Tangkap layar Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris dalam video conference bersama wartawan dengan tema ‘Jaminan Kesehatan Nasional’, Kamis, 13 Mei. (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi virus corona atau COVID-19 menuai kritik publik. Pemerintah dianggap tak hadir dan menutup mata mengenai kesulitan yang didahapi masyarakat. Namun, hal ini dibantah bos BPJS Kesehatan.

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris menegaskan, keputusan pemerintah menaikkan iuran peserta melaui Perpres 64/2020 masih dalam koridor keputusan Mahkamah Agung (MA) soal pembatalan kenaikan iuran.

Fachmi menjelaskan, di dalam amar putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020 memberikan tiga opsi kepada pemerintah untuk menindaklanjutinya, yaitu mencabut, mengubah, atau melaksanakannya. Keputusan pemerintah dalam hal ini adalah mengubah. Sehingga, ini juga menjawab isu Jokowi mengakali putusan MA.

"Kalau kita lihat, artinya Pak Jokowi masih dalam koridor yaitu dalam konteks mengubah. Saya ingin clear-kan tidak betul pemerintah tidak menghormati (putusan MA)," katanya, dalam video conference bersama wartawan dengan tema ‘Jaminan Kesehatan Nasional’, Kamis, 13 Mei.

Fachmi menilai, tidak benar bahwa Perpres 64/2020 ini tidak berpihak kepada masyarakat. Menurut dia, justru di dalam Perpres ini peran negara ditingkatkan.

Lebih lanjut, Fachmi mengatakan, melalui Perpres 64/2020 ini pemerintah membantu masyarakat di tengah pandemi COVID-19. Salah satunya, dengan memberikan bantuan kepada peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) kelas III mandiri.

Seperti diketahui, dalam Perpres 64/2020 pasal 34, peserta kelas III akan mendapat subsidi sebesar Rp16.500 per orang per bulan di tahun 2020, dan sebesar Rp7.000 per orang per bulan di tahun 2021.

Artinya, iuran yang dibayarkan peserta mandiri kelas III BPJS Kesehatan yaitu Rp25.000 di tahun 2020 dan Rp35.000 di tahun 2021. Menurut Fachmi, jika pemerintah tidak mensubsidi, besaran iuran yang seharusnya dibayarkan peserta kelas III yakni Rp42.000 per orang per bulan.

"Terbitnya Perpres 64/2020 ini dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Kehadiran Perpres ini justru mengembalikan nilai-nilai fundamental dalam jaminan kesehatan nasional. Pemerintah hadir, negara hadir, sangat komit, jadi kalau ada isu Perpres ini negara tidak hadir, tidak benar. Justru kehadiran negara menjadi lebih besar dari sebelumnya," tuturnya.

Diklaim Sesuai Undang-undang

Sebelumnya, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang mengurus legalitas, Indra Budi Sumantoro, mengatakan bahwa keputusan Perpres 64/2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan sesuai undang-undang.

Indra menjelaskan, keputusan menaikkan iuran ini sudah sesuai dengan Undang-Undang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (UU BPJS) dan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Sehingga, pemerintah bisa melakukan penyusunan iuran dan manfaat di tengah krisis keuangan BPJS Kesehatan.

Lebih lanjut, Indra mengatakan, di dalam pasal 65 ayat 3 UU BPJS itu dinyatakan, dalam hal krisis keuangan dan kondisi tertentu yang memberatkan perekonomian. Pemerintah dapat melakukan tindakan khusus menjaga kesehatan keuangan dan kesinambungan program jaminan sosial.

Artinya, pasal itu menjelaskan bahwa tindakan khusus itu dapat berupa penyusunan iuran dan manfaat.

"Ini memperhatikan asas SJSN yakni kemanusian, keadilan dan manfaat. Di dalam UU SJSN di pasal 2 itu, dimaksudkan bahwa untuk menjamin keberlangsungan program dan hak peserta. Jadi kita di UU sendiri mengedepankan kedua hal tersebut, bahwa misalnya tidak hanya hak peserta saja, harus perhatikan keberlangsungan program," tutur Indra.