865 Warga Sipil Myanmar Tewas, Majelis Umum PBB Siapkan Resolusi
JAKARTA - Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Hari Jumat ini akan menyerukan penghentian aliran senjata ke Myanmar, mendesak rezim militer untuk menghormati hasil Pemilihan November 2020 dan membebaskan tahanan politik, termasuk pemimpin Aung San Suu Kyi, kata para diplomat.
Negara-negara Barat telah mendorong badan internasional yang beranggotakan 193 negara itu untuk mempertimbangkan rancangan resolusi, tetapi ditunda pada menit terakhir dalam upaya untuk mendapatkan lebih banyak dukungan, termasuk dari sembilan negara Asia Tenggara.
Tidak segera jelas apakah ada negara yang akan menyerukan pemungutan suara pada rancangan resolusi Majelis Umum, atau apakah itu akan diadopsi melalui konsensus. Para diplomat mengatakan rancangan itu memiliki cukup dukungan untuk disahkan jika dimasukkan ke dalam pemungutan suara.
Rancangan resolusi awal termasuk bahasa yang lebih keras yang menyerukan embargo senjata di Myanmar. Menurut sebuah proposal yang dilihat oleh Reuters bulan lalu, negara-negara Asia Tenggara ingin bahasa itu dihapus.
Rancangan kompromi PBB menyerukan semua negara anggota untuk mencegah aliran senjata ke Myanmar.
Resolusi Majelis Umum tidak mengikat secara hukum, tetapi membawa bobot politik. Berbeda dengan Dewan Keamanan yang beranggotakan 15 negara, tidak ada negara yang memiliki hak veto di Majelis Umum.
Sementara itu, Direktur Human Rights Watch PBB Louis Charbonneau mendesak Majelis Umum untuk mengadopsi resolusi tersebut.
"Setelah berbulan-bulan pelanggaran hak asasi manusia dan kekejaman oleh pasukan keamanan junta, tidak ada pemerintah yang harus mengirim satu peluru ke Myanmar," tegasnya seperti mengutip Reuters Jumat 18 Juni.
Rancangan resolusi Majelis Umum menyerukan Myanmar untuk segera menerapkan konsensus lima poin yang disepakati junta dengan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada April untuk menghentikan kekerasan dan memulai dialog dengan lawan-lawannya.
Terpisah, Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun mewakili pemerintah sipil terpilih yang digulingkan, meminta negara-negara anggota PBB untuk tidak mendukung rezim militer Myanmar secara langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja."
"Sangat penting untuk menunjukkan dukungan kuat mereka terhadap rakyat Myanmar, dalam upaya kami untuk memulihkan demokrasi, mengembalikan kekuasaan negara kepada rakyat dan membangun persatuan federal yang demokratis," jelasnya.
Baca juga:
- Menyamar Jadi Warga Sipil, 25 Tentara Myanmar Tewas di Tangan Etnis Bersenjata KNDO
- Perusahaan India Pasok Radar hingga Sistem Komunikasi untuk Rezim Militer Myanmar
- Kurang Sehat, Aung San Suu Kyi Jalani Persidangan Rezim Militer Myanmar Selama 5 Jam
- COVID-19 Menggila, Myanmar Catat Rekor Kasus Infeksi Harian Sejak Kudeta Militer
Untuk diketahui, hingga Kamis 17 Juni kemarin sebanyak 865 orang tewas, sementara total 6.134 orang ditahan dengan 4.962 di antaranya masih berada dalam tahanan menurut data Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).
Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.