Yang Luput dari Argumen Ekonomi Bukan Hambatan Masuk Universitas: Tingginya Jurang Kesenjangan Pendidikan

JAKARTA - Argumen yang menyebut ekonomi bukan alasan masuk perguran tinggi bonafide viral di media sosial Twitter. Utas kontroversial itu kembali menyulut perdebatan soal kesenjangan dalam dunia pendidikan. Tentang menjawab pertanyaan: benarkah semua orang bisa mendapat hak yang sama untuk mendapat pendidikan tanpa memandang latar belakang ekonomi? 

Belum lama ini pemilik akun Twitter @aliralira menceritakan seorang bernama Anggun menjadi orang Indonesia pertama yang lulus dari Minerva School, Amerika Serikat. Yang menjadikannya viral ia menaruh embel-embel "alasan ekonomi BUKAN penghambat untuk meraih mimpi sekolah di luar negeri." Sontak twit itu mendulang empat ribu retweets, dan lebih dari 17 ribu likes. 

Si pemilik akun @aliralira mengatakan awal mula mengetahui Anggun dari laman situs penggalangan dana daring. Ia begitu tergugah dengan perjuangan Anggun untuk meraih mimpinya. 

"Masuk Minerva udah susah, tiket udah ditangan, tapi uang ga ada. Padahal ‘hanya’ utk berangkat. 2017, ga mudah utk meyakinkan orang Minerva itu apa," tulisnya. 

Salah satu yang menjadi sorotan adalah bab tentang Anggun yang melepas Universitas Indonesia demi belajar di Negeri Abang Sam tersebut. "Lebih susah lagi membuat orang paham: kenapa Anggun harus ke Minerva saat dia udah jadi mahasiswa jalan tahun kedua di UI? Udah bagus HI UI, kok ditinggal buat ‘univ entah apa’?" 

Kontroversi

Twit @aliralira menjadi pro dan kontra warganet Twitter. Pemilik akun @bulanlayu misalnya, ia mempertanyakan kalau ekonomi bukan penghambat lantas mengapa dia menggunakan donasi. "Kalau ekonomi bukan penghambat ngapain pake donasi?" tulisnya. 

Selain itu, pemilik akun @earthrins punya pandangan yang berlawanan. Ia mengatakan alasan ekonomi tetap menghambat seseorang untuk mengakses pendidikan tinggi bonafide, namun Anggun bisa mengatasi dengan mencari donatur. Hanya saja ia menyesalkan "membuang" bangku di UI. 

"Tapi kecewanya dia udah keterima di UI ngapain maksain kuliah di LN pake donatur. Itu slot PTN orang pada sikut-sikutan biar dapet malah kebuang," tulisnya. 

Meski begitu, tak sedikit yang pro pada argumen @aliralira. Pemilik akun @dah_ahhhhh misalnya, ia mengaku sedih atas respon warganet yang menyebut utas itu sebagai romantisasi. 

Padahal menurut dia, yang patut digarisbawahi adalah soal usahanya. "Lihat bagaimana dia berjuang dari himpitan ekonominya."

Perjuangan Anggun  

Terlepas dari pro dan kontra, perjuangan Anggun untuk mendapat kampus yang dia inginkan bisa dijadikan contoh. Menurut ceritanya di Kitabisa, putri daerah Blitar ini bilang semuanya berawal dari buku The 7 Habits for Highly Effective Teen bikinan Stephen Covey yang terkenal itu. 

Saat itulah, keyakinan bahwa seseorang tidak didefinisikan oleh latar belakang atau situasi mulai tumbuh. "Menjadikan saya gigih dan bersikap proaktif dengna mencari kerja sampingan, serta berperan aktif dalam pendidikan saya."

Usahanya mulai menunjukkan hasil tatkala mendapat bantuan dari lembaga pendidikan Sampoerna Academy. Ia mengenyam sekolah menengah atas di sana. 

Kemudian berkat prestasi gemilang, Anggun mendapat kesempatan mengikuti program pertukaran pelajar ke Amerika Serikat. Sepulangnya dari program yang bertemakan lingkungan dan kepemimpinan tersebut, Anggun membuat projek sosial. 

Pengalamant tersebut menjadi gerbang awal Anggun mewujudkan impiannya untuk berkuliah di luar negeri. Meski sudah belajar di Universitas Indonesia selama dua tahun, namun setelah dinyatakan lolos seleksi di Minerva School. 

Kisah Anggun ini bisa terbilang langka. Buktinya di depan mata: Anggun menjadi satu-satunya orang Indonesia yang menjadi lulusan Minerva School. 

Mahasiswa Minerva Schools sedang kunjungan ke Seoul, Korea Selatan (Sumber: Facebook)

Kesenjangan pendidikan

Anggun adalah minoritas di tengah mayoritas kelas bawah yang sulit mendapat akses untuk bisa belajar di perguruan tinggi. Jangankan masuk universitas yang bonafide, bisa mengenyam bangku kuliahan saja mau di mana pun tempatnya mereka mungkin sudah bersyukur.

Setidaknya itulah yang dikatakan Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji kepada VOI. "Kalau ada kelas bawah bisa masuk PT, itu case kecil, bukan menggambarkan mayoritas." 

Pandangan Ubaid bertentangan dengan argumen ekonomi tak menghambat orang masuk universitas. "Kalau saya berpandangan ekonomi menjadi faktor penghambat utama. Banyak anak tidak lanjut ke PT karena biayanya mahal," ujarnya. 

Hal itu tentu menggambarkan jurang kesenjangan pendidikan di Indonesia yang Menurut Ubaid cukup curam. Dan hal itu terjadi menurut Ubaid karena pemerintah lepas tanggung jawab. 

"Sangat curam, karena pemerintah lepas tanggung jawab. Buktinya, PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) selalu kisruh. Karena jumlah bangku yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah pendaftar," pungkasnya. 

*Baca Informasi lain soal PENDIDIKAN atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian.

BERNAS Lainnya