Kepala yang Dipenggal dan Tragedi Percintaan di Balik Istilah 'Hidung Belang'
JAKARTA - Peninggalan masa kolonial Belanda tak cuma menyisakan luka yang timbul dari tanam paksa, eksploitasi rempah, kemiskinan, dan penderitaan lain masyarakat pribumi. Masa kolonial juga meninggalkan sejumlah istilah yang akrab di telinga hingga kini. Salah satunya, hidung belang. Ada tragedi kelam di balik munculnya istilah hidung belang.
Di masa kini, istilah hidung belang digunakan untuk menggambarkan laki-laki cabul yang suka mempermainkan wanita. Sebenarnya, seperti apa awal mula munculnya istilah itu? Berbagai literasi mencatat, istilah itu sudah kenal sejak Ibu Kota Jakarta masih bernama Batavia dan dikepalai Gubernur Jenderal termashyur se-Hindia Belanda, Jan Pieterszoon Coen.
Pada abad ke 17, Batavia telah menjadi daerah yang banyak dihuni oleh lelaki Eropa berkulit putih. Namun, saat itu hanya sedikit wanita yang berkulit putih. Bagi mereka yang memiliki pangkat tinggi, boleh saja membawa istri beserta anak mereka dari Belanda ke negeri koloni. Namun, tidak bagi serdadu rendahan.
Saat itu para serdadu memenuhi hasrat dengan melakukan perkawinan campur yang kala itu amat tabu. Selain perkawinan campur, mereka juga melakukan praktik pergundikan.
Namun, tak semuanya begitu. Vaandrig (serdadu bawahan) 17 tahun berdarah campuran pribumi --darah sang ibu-- yang biasa menjaga Kastel Batavia, Pieter Cortenhoeff bernasib lebih beruntung. Pemuda kelahiran Arakan, Myanmar yang juga putra seorang pedagang Belanda itu berwajah tampan.
Kerupawanannya menarik perhatian banyak wanita di Istana, termasuk Sara Specx. Sara adalah anak yang dititipkan kepada Coen dari koleganya Jacques Specx yang saat itu akan kembali ke Belanda.
Jaques berkata kepada Coen, “Sementara aku kembali ke Patria (Belanda) memenuhi permintaan Heren XVII, aku titipkan Sara, putriku, padamu. Aku percaya kau dapat mengasuhnya.”
Kisah lengkap Sara diungkap jurnalis senior, Alwi Shahab dalam bukunya berjudul Robin Hood Betawi. Ia berucap, “Sara atau sering dipanggil dengan nama Saartje merupakan putri pejabat VOC yang bernama Jaques Specx dengan seorang gundiknya yang berkebangsaan Jepang.”
Skandal Kastel Batavia
Singkat cerita, seperti roman yang tulis Tjoa Piet Bak dalam buku berjudul Sara Specx (Satoe Kedjadian jang betoel di Betawi di djeman Pamerentahannja Jan Pieterszoon Coen dalam taon 1629), Sara dan Pieter menjalin hubungan percintaan diam-diam di belakang pengawasan Coen.
Hubungan keduanya pada awalnya lancar-lancar saja. Sampai pada suatu ketika, orang kepercayaan Coen mendapati Sara dan Pieter sedang bermesraan di salah satu ruang benteng.
Oleh Achmad Sunjayadi, dalam buku berjudul (Bukan) Tabu di Nusantara, menjelaskan kejadian itu secara rinci. “Suatu malam, pasangan muda yang sedang dimabuk asmara itu tidak menyadari akibat dari perbuatan mereka. Gadis malang yang mungkin baru saja mendapat menstruasinya itu in flagrante delicto (tertangkap basah) bermesraan dengan kekasihnya di rumah Coen. Dan kasus pelanggaran seksual di Kastel Batavia tersebut menjadi skandal hangat pada masa itu.”
Coen yang mendengar informasi itu tentu saja langsung marah. Apalagi rekam jejaknya sebagai sosok yang jadi teladan masyarakat Eropa di Batavia tercoreng. Nama Coen memang dikenal harum sebagai orang yang memerangi sifat-sifat buruk kompeni bejat. Hukuman berat pun dijatuhkan pada kedua pezina itu pada 6 Juni 1629.
Eksekusi
Keduanya dieksekusi tepat di depan halaman Balai Kota (Stadhuisplein) di kawasan Kota Tua yang kini dikenal dengan nama Taman Fatahillah. Si pemuda dipancung. Sementara sang gadis dihukum dengan cara diseret ke arah pintu gerbang Stadhuisplein untuk menyaksikan hukuman kekasihnya.
Sebelum diseret, pakaian Sara dilucuti. Tak ada yang mempedulikan jeritan pilu Sara. Para algojo mulai menghujani anak dari sahabat Coen itu dengan cambukan berkali-kali.
Pieter, sebelum dipancung, wajahnya sempat dicoreti dengan arang oleh algojo sebagai penanda bagi pelaku pencabulan. Setelah pemancungan, kepala Pieter yang bergelinding di tanah menjadi tontonan yang disaksikan ratusan orang. Mereka yang kemudian melihat bagian wajah, terutama bagian hidung, seketika mengeluarkan kata-kata "hidung belang".
Baca juga:
Literasi menduga kuat peristiwa itulah yang jadi asal muasal kemunculan kata "hidung belang". Peristiwa itu juga yang menjadikan "hidung belang" sebagai stereotip masyarakat Indonesia untuk melabeli lelaki cabul di zaman dulu. Stereotip yang langgeng hingga hari ini.
Soal nasib Sara, Ahmad Sunjayadi menjelaskan: Sara akhirnya menikah dengan pendeta Georgius Candidius pada mei 1632 di Batavia. Pendeta tersebut merupakan penyebar agama Kristen di Formosa (sekarang Taiwan), pendeta pertama di Kepulauan Maluku, serta kepala sekolah Latin di Batavia. Tiga tahun kemudian, sekitar tahun 1632, Sara yang mengikuti suaminya di Formosa meninggal dalam usia 19 tahun.