Penanganan Kesehatan dan Ekonomi Akibat COVID-19 Harus Selaras
JAKARTA - Tim Pakar Ekonomi Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Beta Yulianita Gitaharie mengatakan, menyelamatkan nyawa dan menekan angka pertumbuhan penularan COVID-19 menjadi penting. Akan tetapi kegiatan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat juga harus tetap berjalan.
“Memang kalau kami amati, COVID-19 ini telah membawa pengaruh juga perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan ekonomi dan masyarakat,” ungkap Beta dalam dialog di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta 12 Mei.
Beta melihat bahwa hal itu tentunya juga memperburuk keadaan suatu kehidupan ekonomi masyarakat apabila hanya berpaku pada pengendalian kesehatan saja. Dua hal antara kesehatan dan ekonomi masyarakat harus berimbang.
Apalagi selama pandemi, kemerosotan ekonomi dapat dibilang gamblang di depan mata. Mengutip data Kementerian Ketenagakerjaan per tanggal 20 April 2020, sedikitnya ada 2 juta pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sebanyak 62 persen ada di sektor formal dan sisanya yakni 26 persen berada di sektor informal dan UMKM.
Hal itu kemudian semakin buruk ketika angka menjadi 6 juta pekerja yang di-PHK oleh perusahaannya karena imbas pandemi COVID-19 dalam satu bulan terakhir ini.
Dari data tersebut, Beta mengemukakan bahwa masyarakat harus tetap dapat melakukan aktivitasnya dalam menggerakkan roda perekonomian di tengah pandemi COVID-19 ini. Tentu solusinya adalah dengan tetap menerapkan disiplin sebagai fase yang sudah mulai dijalani oleh masyarakat sekarang ini.
“Masyarakat masih tetap bisa melakukan aktifitas, gitu ya. Tetap melakukan aktifitas dengan tadi seperti yang Pak Wiku sampaikan, juga tetap disiplin dalam memperhatikan atau melakukan protokol pencegahan COVID-19,” jelas Beta.
Dalam hal ini, Beta juga menyoroti data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, yang menyebutkan bahwa resiko kematian pasien usia 60 tahun ke atas itu mencapai 45%. Data tersebut kemudian diikuti kelompok usia 46-59 tahun dengan resiko kematian 40%.
Selain itu, data Gugus Tugas juga meyatakan bahwa ada faktor penyakit penyerta atau komorbiditas hipertensi, diabetes, jantung dan penyakit paru-paru, yang memperburuk kondisi pasien hingga meninggal dunia.
Artinya usia di bawah 45 tahun menjadi lebih stabil dan aman apabila dibanding dengan mereka yang menginjak usia di atasnya. Kemudian kasus kematian COVID-19 sudah jelas dipengaruhi faktor komobiditas.
Lebih lanjut, ketika menengok data Badan Pusat Statistik (BPS), Beta menemukan fakta bahwa sebanyak 130 jiwa dengan usia produktif di bawah 45 tahun menyumbang kontribusi yang tinggi terhadap perekonomian.
Beta kemudian juga melihat bahwa pekerjaan di bidang kesehatan, pangan, makanan dan minuman, energi, komunikasi teknologi, keuangan, logistik, konstruksi, industri strategis, pelayanan dan utilitas publik serta industri yang ditetapkan sebagai objek vital nasional, atau objek tertentu, dan sektor swasta yang melayani kebutuhan sehari-hari menjadi gambaran bahwa mereka yang bergerak di bidang itu dapat melakukan aktivitas sebagai penyokong perekonomian.
Tentunya dalam hal ini harus memperhatikan beberapa faktor seperti usia dan tetap menerapkan protokol kesehatan sesuai anjuran pemerintah, termasuk patuh terhadap anjuran PSBB.
Baca juga:
Vaksin COVID-19 Belum Ditemukan
Sebelumnya Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengaku, tak bisa memastikan kapan pandemi COVID-19 usai. Meski, ia membenarkan ada studi penelitian yang telah memprediksi wabah virus corona akan berakhir pada bulan September.
Namun, prediksi tersebut juga mendapat bantahan dari studi penelitian lain. Ada juga yang mengatakan bahwa mungkin akan ada gelombang kedua (second wave) dari penularan COVID-19 tersebut, sehingga memperpanjang masa pandemi.
"Kami tidak ada yang tahu, seluruh dunia juga tidak tahu kapan COVID-19 selesai. Sebab, vaksin untuk virus ini belum ditemukan. Jadi, selama vaksin belum ditemukan kita harus bisa selalu berhadapan dengan virus ini," kata Wiku dalam diskusi di Graha BNPB, Jakarta Timur, Selasa, 12 Mei.
Oleh sebab itu, cara terbaik untuk bisa bertahan hingga pandemi COVID-19 berakhir adalah dengan menerapkan istilah "the new normal". Artinya, menciptakan kondisi normal yang baru dan beda dari sebelumnya.
"Transformasi 'the New normal' ini adalah menata kehidupan dan perilaku baru ketika pandemi yang kemudian akan dibawa terus kedepannya, sampai tertemukannya vaksin untuk COVID-19," kata dia.
Penerapan "the new normal" yang dimaksud Wiku adalah penyesuaian diri dalam pola hidup kita agar bisa memutus mata rantai dan beraktivitas seperti biasanya. Kita menjadi rutin beraktivitas seperti kerja, belajar, berinteraksi, dan beribadah dari rumah.
Selain itu, menerapkan protokol pencegahan COVID-19, seperti mengenakan masker, menerapkan physical distancing atau menjaga jarak aman, dan rutin mencuci tangan mengenakan sabun, membersihkan tangan menggunakan hand sanitizer ketika berada di luar rumah, serta menjaga imunitas tubuh.
"Secara prinsip, kita harus menerima bahwa sekarang ini kita harus hidup bersama dengan virus ini. Semoga, semuanya di dunia bisa cepat mendapatkan vaksinnya, sehingga kita mengalahkan virus ini," sebut Wiku.