Akar Sejarah Drama Korea: Invasi dari Panggung Teater Topeng Klasik
Drama Korea mendominasi tontonan. Berbahagialah pecintanya. Bagi yang bukan, setidaknya pasti akrab dengan judul drama korea terbaru macam Crash Landing on You, Itaewon Class, hingga The World of the Married. Selamat datang di Tulisan Seri khas VOI. Lewat edisi ini, kita tengok sejarah, dalami industri, serta menguliti berbagai hal lain mengenai drakor, termasuk menengok ke sebelah, bagaimana eksistensi industri serupa di Korea Utara? Ini dia, "Invasi Drama Korea".
Eksistensi The World of the Married sebagai produk industri tak main-main. Laju industrial drama seri rilisan 2020 menarik untuk disimak. Sabtu, 2 Mei lalu, The World of the Married berhasil mencatatkan angka penonton tertinggi dalam sejarah jaringan televisi Korea Selatan.
Catatan Nielsen Korea Selatan yang dikutip Kompas.com menunjukkan episode ke-14 The World of the Married mencapai rating hingga 24,33 persen secara nasional. Angka itu membawa The World of the Married melampaui rekor yang sebelumya dipegang Sky Castle, drama seri rilisan 2018 yang mencatat rating 23,78 persen.
Kesuksesan itu menggurita ke berbagai negeri, termasuk Indonesia. Di Indonesia, The World of the Married awalnya ditayangkan terbatas di layanan penyedia video populer, Viu. Netflix kemudian turut membeli hak tayang dan melesatkan judul drakor yang dibintangi Kim Hee-ae, Park Hae-joon, dan Han So-hee ke langit popularitas yang semakin tinggi.
Bahkan, belakangan, salah satu stasiun televisi Tanah Air, Trans TV turut membeli hak tayang tontonan yang diadaptasi dari serial Inggris, Doctor Foster (2015) itu. Dengan segala ekspansi industrial itu, drakor kini tak hanya dinikmati segelintir kalangan. Drakor kini jadi konsumsi segala lapis usia dan golongan masyarakat.
Masa pandemi COVID-19 yang mengharuskan orang tetap di rumah juga memengaruhi peningkatan aktivitas menonton drakor. The World of the Married, khususnya, jika merujuk monitoring Nielsen Korea Selatan.
Akar
The World of the Married mungkin yang paling sukses hari ini. Tapi, sejarah panjang kesuksesan drakor sejatinya telah dimulai sejak lama. Pun sejarah industrinya secara keseluruhan. Kebesaran drakor tak hanya dibangun dalam beberapa tahun belakangan. Literasi menunjukkan akar kebesaran drakor bahkan telah tumbuh jauh sebelum Perang Korea (1950-1953).
Buku Korea: Dulu & Sekarang (2012) yang dirilis Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan menjelaskan akar sejarah drakor berasal dari ritual keagamaan yang sudah ada sejak zaman prasejarah. Salah satunya hadir dalam bentuk pementasan teater klasik Tari Topeng Sandaenori, sebuah tarian yang menggabungkan seni gerak, alunan lagu, sindiran, dan humor.
Yang unik, gelaran Tari Topeng Sandaenori memiliki perbedaan corak antara satu daerah dengan daerah lainnya. “Satu daerah ke daerah lainnya terdapat sedikit perbedaan dalam hal gaya, dialog dan kostum. Kemudian, bentuk teater ini mendapat popularitas yang luar biasa di antara masyarakat pedesaan sampai awal abad ke-20,” tertulis.
Perkembangan teater klasik Tari Topeng Sandaenori melanggeng ke zaman-zaman lanjutan. Ia berevolusi hingga pementasan dilakukan melalui siaran gelombang radio. Evolusi itu ditandai dengan berdirinya jaringan radio Kyosong Pangsongguk --kini Korean Broadcasting System-- pada masa kolonial Jepang tahun 1927.
Drakor bukan hanya berevolusi dalam bentuk. Lewat gelombang radio Kyosong Pangsongguk, drakor juga merevolusi dunia penyiaran. Sebelum drakor dan Kyosong Pangsongguk, radio-radio di negeri itu hanya menyiarkan program-program berbahasa Jepang. Kegandrungan drakor sebagai drama radio membukakan sayap bagi siaran-siaran tradisional --termasuk musik-- untuk mengudara.
Sebuah tulisan berjudul The Birth of Broadcasting Media and Popular Music karya Lee Jung-yup dalam buku "Made in Korea: Studies in Popular Music" (2017) menjelaskan periode awal kejayaan musik tradisional dan drakor radio pada siaran-siaran lokal terjadi pada tahun 1934-1936. “Tapi, tetap saja radio difungsikan sebagai publikasi media untuk imperialisme Jepang ketimbang media populer komersil,” tulis Lee Jung-yup.
Dalam periode awal itu, drakor radio dibatasi jam tayangnya, yakni dimulai pada jam 7 malam waktu setempat. Adapun drakor radio yang pertama kali mengudara adalah kisah berjudul The Elder Coachman (1934) karya Kim Hee-chang. Judul itu begitu populer, hingga taun 1936 mulai dibuat berseri.
“Oleh karenanya, beberapa elite budayawan, seperti Kim Yong-pal, Yi Ha-yun, Hong Nan-pa, dan Yi Hae-ku berusaha merepresentasikan program-program bernuansa Korea dalam program radio. Baik itu musik tradisional maupun serial drama radio," tertulis.
Kala itu, tema drakor radio didominasi oleh cerita kriminal dan kisah-kisah detektif. Popularitas ragam novel detektif keluaran Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jepang yang tengah digandrungi dunia kala itu turut memengaruhi para penulis naskah drakor radio di Korea Selatan.
Mati suri
Eksistensi drakor sempat mati suri karena pecahnya Perang Dunia II yang kemudian disusul Perang Korea. Kebangkitan baru terjadi satu tahun setelah gencatan senjata, yakni 1954. Kali itu, geliat drakor radio kembali dicetus oleh kisah berjudul Cheongsilhingsil. Tak lepas dari era gelap peperangan, Drakor itu berkisah tentang seorang wanita yang ditinggal mati suaminya karena Perang Korea.
“Era itu menjadi masa di mana banyak masyarakat Korea yang masih bersedih dan ingin menangis. Drama itu memberikan kesempatan bagi orang-orang untuk menangis dan tertawa sekaligus memberi penontonnya secercah mimpi dan romantisme yang tak bisa mereka temukan dalam kenyataan hidup saat itu," tertulis dalam buku Korea Through TV Drama rilisan 2012 karya Kim Hwan-pyo.
Kebangkitan drakor terjadi secara luar biasa sejak mati surinya. Dua tahun setelah drama radio Cheongsilhongsil, drakor mulai merambah televisi. Agustus 1956, drakor pertama televisi berjudul The Gate of Heaven, tayang. The Gate of Heaven digandrungi luar biasa. Hal itu memicu kemunculan judul-judul lain. Seperti era-era sebelumnya, ada kecenderungan tertentu yang terjadi pada era ini: rata-rata cerita diangkat sebagai adaptasi drama panggung atau novel.
Di era itu, politisasi drakor terjadi. Penguasa menyadari kekuatan dari drakor. Sepanjang kekuasaan rezim otoriter (1948-1987), drakor kerap disisipi pesan-pesan propaganda. Namun, para penonton tak peduli. Bagi mereka, drakor adalah pelipur lara paling manjur. Selain itu, kecenderungan-kecenderungan mulai pudar berganti keberagaman. Termasuk secara tema.
“Ibu-ibu rumah tangga mulai jadi plot utama dari drama-drama di televisi. Karena ibu rumah tangga cenderung menghadapi stres yang lebih dalam keseharian mereka. Dan karena banyak dari mereka tak punya sasaran pelampiasan stres, sehingga mereka pasti mengalihkan emosi mereka ke hiburan televisi, khususnya opera sabun (drama serial),” tulis Hwan-pyo.
Korean wave
Di tahun 1990-an, industri hiburan Korea Selatan memulai era kejayaan yang lebih besar. Budaya dan industri hiburan Korea Selatan mulai menginvasi dunia, termasuk Indonesia. Istilah ini dikenal dengan "Korean Wave".
Drakor jadi dagangan utama yang dibawa gelombang besar ini. Hari itu, drakor telah jadi bagian penting dalam hidup sebagian besar rakyat Korea Selatan. Drakor hari itu telah ditayangkan di televisi-televisi swasta yang siaran di berbagai negara.
Winter Sonata (2003) jadi judul paling legendaris dalam sejarah drakor di televisi. Serial televisi yang disutradarai Seok-ho Yun itu jadi drakor pertama yang tayang di luar Korea Selatan. Jepang jadi negara pertama yang mengalami invasi Korean Wave.
Joseph Nye dan Youna Kim, dalam buku The Korean Wave: Korean Media Go Global (2013) menjelaskan besarnya pengaruh Winter Sonata dalam penyebaran Korean Wave. Capaiannya luar biasa. Drakor yang dibintangi Bae Yong-joon itu tak disangka masuk ke Timur Tengah, tepatnya Irak di tahun 2005.
“Departemen Pertahanan Irak awalnya mempertimbangkan untuk menyediakan film Korea di bioskop. Tetapi kemudian dibatalkan karena kekhawatiran akan ramainya pengunjung yang dapat menyebabkan kecelakaan maupun serangan teroris. Untuk itu, keputusan final yang diambil yaitu memilih menyiarkan Winter Sonata lewat televisi dengan terjemahan bahasa lokal,” tertulis.
Di Indonesia, popularitas industri hiburan Korea mulai menginvasi pada 2004. Tito Sianipar, dalam tulisan berjudul Tergila-gila Serba Korea (2019) di Majalah Tempo menjelaskan: Pemantiknya adalah serial drama Korea yang ditayangkan stasiun televisi swasta.
"Seri drama Full House pada 2004 yang juga ditayangkan di sini. Film tersebut termasuk awal pemicu kedemenan anak-anak muda terhadap budaya pop Korea. Nama-nama bintangnya, seperti Bi atau Rain dan Song Hye-kyo, pun menjadi akrab di telinga,” tambahnya.
Hari ini, judul-judul lain bermunculan. Korean Wave makin masif menginvasi. Kesuksesannya tak cuma dirasa, tapi juga tercatat dalam data. Seperti The World of the Married yang hari ini catatkan banyak rekor sebagai tontonan paling banyak dikonsumsi.
Artikel selanjutnya: Deretan Drakor Legendaris dan Paling Berpengaruh bagi Industri Hiburan Korea Selatan