Kebijakan Mencegah Virus PHK di Tengah Pandemi yang Dinilai Tidak Masuk di Akal

JAKARTA - Di tengah pandemi COVID-19, pemerintah berencana akan mempersilakan warga berusia di bawah 45 tahun untuk kembali beraktivitas seperti biasa. Hal ini, diharapkan agar kelompok usia muda tak kehilangan mata pencaharian atau terhindar dari virus lainnya, yaitu virus PHK.

“Kelompok ini tentunya kami akan berikan ruang untuk bisa beraktivitas lebih banyak lagi. Sehingga, potensi terpapar PHK bisa kami kurangi,” kata Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo dalam konferensi pers yang ditayangkan di akun YouTube Sekretariat Presiden pada Senin, 11 Mei.

Usia di bawah 45 tahun ini, kata Doni, bukanlah kategori masyarakat yang mudah terpapar virus tersebut. Dirinya mengklaim, usia 45 tahun ke bawah ini punya tingkat kematian yang cukup rendah yaitu 15 persen.

“Kelompok muda usia di bawah 45 tahun adalah mereka yang secara fisik sehat, mereka punya mobilitas yang tinggi dan rata-rata, kalau pun terpapar, mereka belum tentu sakit. Mereka tidak ada gejala,” jelas Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tersebut.

Hal ini berbeda dengan kelompok masyarakat berusia 65 tahun ke atas. Pada usia tersebut, kata Doni, resiko kematian jumlahnya mencapai 45 persen.

Sedangkan untuk kelompok usia 46-59 tahun, angka kematiannya mencapai 40 persen karena di usia tersebut masyarakat kebanyakan memiliki riwayat penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes, paru-paru, dan jantung.

Sehingga, berkaca dari data tersebut, Doni meminta masyarakat yang berada dalam kelompok rentan untuk tetap di rumah. Sementara yang berusia 45 tahun ke bawah tetap beraktivitas seperti biasa di tengah pandemi sambil menerapkan protokol kesehatan.

Hanya saja dirinya belum tahu kapan rencana ini akan direalisasikan. Mengingat, saat ini pemerintah tengah melaksanakan kajian bersama sejumlah pakar di bidang ekonomi maupun sosiologi.

Dianggap tak pikirkan bahaya pandemi

Peneliti kebijakan publik Universitas Indonesia, Defny Holidin mengkhawatirkan rencana pemerintah untuk mempersilakan warga berusia 45 tahun ke bawah untuk bekerja.

Menurutnya, kebijakan tersebut akan menimbulkan efek samping yaitu kelompok usia muda akan menjadi carrier atau pembawa COVID-19 dan menyebarkan virus ini kepada mereka yang rentan yaitu lansia atau mereka yang punya penyakit komorbid.

Jika efek ini terjadi, maka bukan tak mungkin akan ada akibat yang makin parah nantinya karena mata rantai virus tidak secara cepat terputus.

"Efek spiral ini pada akhirnya dikhawatirkan akan melebar sebagai ekosistem daur hidup virus berkesinambungan dan efek kejut infeksinya yang selama ini terjadi pada gilirannya bisa semakin parah, yaitu meningkatkan risiko kematian sekaligus menghambat laju perekonomian," kata Defny kepada wartawan.

Menurutnya, pemerintah sebenarnya tak perlu memilih untuk menyelamatkan ekonomi terlebih dahulu atau nyawa masyarakatnya jika sejak awal penyebaran virus ini, mereka mengambil keputusan yang tepat.

Keputusan yang tepat ini, maksud Defny adalah melaksanakan karantina wilayah dan pengetesan secara masif untuk mengendalikan penyebaran COVID-19. Jika hal diambil, dia menilai, pemulihan setelah virus mereda penyabarannya hanya butuh waktu sekitar satu sampai dua bulan.

"Hanya butuh satu sampai dua bulan untuk memulihkan kondisi kesehatan lalu berangsur diperlonggar setelah peta persebaran diisolasi dan laju kurva menurun. Praktik negara lain membuktikan ini," ungkap dia sambil menambahkan kebijakan setengah-setengah dalam menangani COVID-19 justru tak akan menghasilkan apapun.

Alih-alih memperbaiki ketertinggalannya dalam menangani COVID-19, Defny menilai, Indonesia malah kini sibuk membuat rencana mengenai pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Padahal, dalam pelaksanaan PSBB ini, baik pemerintah dan masyarakat sama-sama tidak konsisten.

Dia menilai, daripada sibuk membuat rencana pelonggaran PSBB, pemerintah harusnya membuat roadmap jelas mengenai penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia yang menurutnya belum dimiliki.

Dalam roadmap ini, pemerintah bisa membuat proses atau tahapan dari pelaksanaan pencegahan penyebaran pandemi, misalnya, karantina wilayah hingga pelonggarannya untuk menggerakkan ekonomi. "Hal mendasar ini pemerintah kita missed!" tegasnya.

Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira juga angkat bicara soal rencana yang tengah digodok pemerintah tersebut. Kata dia, kebijakan ini justru berdampak fatal bagi ekonomi karena membingungkan bagi masyarakat.

"Pandemi belum selesai tapi dilonggarkan. Kurva pasien positif COVID-19 masih tinggi belum flat seperti di Vietnam. Kemudian tiba-tiba dilonggarkan. Jadi buat apa PSBB selama ini," ungkap Bhima.

Jika kebijakan setengah hati seperti ini dilanjutkan, maka bukan tak mungkin, efek kepercayaan pelaku pasar dan usaha akan menjadi negatif dan membuat pertumbuhan ekonomi makin memburuk.

"Ekonomi tumbuh negatif sepanjang tahun. Selesaikan dulu pandeminya, tambah stimulus baru ekonomi cepat recovery," tegasnya.

Lagipula, alasan pemerintah menyatakan membiarkan masyarakat berusia 45 tahun ke bawah untuk memperbaiki keadaan ekonomi hanyalah argumen tidak berdasar dan tidak akan manjur. "Pengusaha ragu untuk membuka tokonya. Konsumen juga ragu untuk berbelanja khawatir tertular virus," tutupnya.