PGI: Stigma Taliban Juga Dialami Pegawai KPK Beragama Nasrani yang Tak Lolos TWK
JAKARTA - Humas Persatuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Philip Situmorang mengatakan stigma atau pelabelan Taliban dan penganut paham radikal juga dialami pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nasrani yang tak lolos Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Hal ini disampaikan oleh tujuh orang perwakilan pegawai KPK nonaktif yang sempat datang ke Kantor PGI pada Jumat, 28 Mei lalu.
"Jadi ada tujuh pegawai, staf yang ke sini itu dianggap Taliban dan ada salah satu yang bercerita bahwa ini berdampak dengan keluarga mereka," kata Philip kepada VOI saat dikunjungi di kantornya, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Senin, 31 Mei.
Dia menyayangkan pemberian stigma negatif semacam itu sebagai dampak dari TWK yang merupakan syarat alih status kepegawaian. "Jangan mudah begitu menuduh orang hal semacam ini," tegasnya.
"Karena yang datang ke sini, yang beragama Kristen salah satunya kebetulan dia memimpin persekutuan doa di KPK. Jangan seperti itu memperlakukan seseorang," imbuh Philip.
Baca juga:
- Surati Jokowi Agar Tangani Selamatkan KPK dari Polemik TWK, PGI Disarankan Berdoa
- PGI Bakal Surati Jokowi, Minta Selamatkan Pegawai KPK Tak Lolos TWK: Ini Pelemahan dengan Label Intoleran
- Bantah Ada Pegawai Berpaham Radikal, Kasatgas KPK: Prinsip Pluralisme Selalu Jadi Dasar
- Bio Farma Sebut Vaksin dari China Ini Tiba di Indonesia Juli 2021, Buat Disuntikkan ke Siapa?
Dia mengatakan, stigma negatif semacam ini bisa berdampak memberikan tekanan bukan hanya kepada pegawai komisi antirasuah yang gagal dalam TWK tapi juga kepada keluarga mereka. "Bisa stres juga itu," ungkapnya.
Berkaca dari kejadian ini, PGI akan terus memberikan sosialisasi kepada pimpinan gereja agar mengingatkan jemaat mereka tak mudah termakan isu hoaks. Selain itu, pimpinan gereja juga diminta proaktif memberikan pendidikan kepada jemaat agar tak mudah memberikan stigma semacam ini.
"Itu juga peran pemimpin gereja. Okelah, dia belajar soal Tuhan, alkitab. Tapi ada kehidupan di tengah umat yang sebenarnya perlu diedukasi," ujarnya.
Lebih lanjut, PGI mengaku sikapnya ini bukan karena langkah politik praktis seperti yang disinggung banyak pihak. Menurutnya, dukungan terhadap 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan karena tak lolos TWK ini sebagai bentuk dukungan terhadap pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Lagipula, menurut Philip, ini bukan kali pertama PGI bersuara soal peristiwa yang terjadi di Indonesia. "Kami bukan tidak mengurusi hal lain. Misalnya, Papua itu kami urusi juga," katanya.
"Bahkan, kami turut meminta pemerintah menyelesaikan kasus yang ada di Papua. Begitu juga di Poso," tambahnya.
Sehingga, memberikan dukungan terhadap Novel Baswedan, dkk bukanlah bentuk gerakan politik melainkan bentuk kepedulian terhadap persoalan keadilan.
"Termasuk soal korupsi. Itu sebabnya sikap kami jelas. Jadi kami enggak berpolitik tapi itulah dukungan kami sebagai lembaga keumatan terhadap persoalan, terkhusus KPK," ungkap Philip.
Diberitakan sebelumnya, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom mengaku pihaknya akan menyurati presiden Joko Widodo terkait polemik 75 pegawai KPK tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
"PGI akan menyurati Presiden untuk dapat segera mengambil tindakan penyelamatan lembaga antirasuah ini dari upaya-upaya pelemahan ini, dengan menyelamatkan ke-75 pegawai KPK tersebut," kata Gomar dalam keterangannya, Sabtu, 29 Mei.
Gultom heran, Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan pernyataan yang meminta TWK tidak dijadikan dasar sebagai pemberhentian pegawai KPK. Namun, ternyata ada 51 pegawai KPK dari yang tak lolos TWK akan diberhentikan.
Gultom memandang, tak lolosnya puluhan pegawai KPK karena tak lolos TWK adalah upaya pelemahan dengan pelabelan intoleran dan radikalisme.
Selanjutnya, yang membuatnya semakin khawatir, banyak dari pegawai KPK yang dinyatakan tak lolos TWK ini merupakan orang yang sedang atau pernah menangani kasus korupsi besar.
"Dengan disingkirkannya mereka yang selama ini memiliki kinerja baik serta memiliki integritas kuat dengan alasan tidak lulus TWK, dikhawatirkan akan membuat para penyidik berpikir ulang untuk melaksanakan tugasnya dengan profesional seturut dengan kode etik KPK di masa depan, karena kuatir mereka di-TWK-kan dengan label radikal," jelasnya.
Dari hasil TWK yang jadi syarat alih status kepegawaian terdapat 75 pegawai yang dinyatakan tak lolos. Dari jumlah tersebut banyak penyidik yang tengah mengusut kasus korupsi di Tanah Air.
Mereka di antaranya penyidik senior Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo Harahap, dan penyidik Harun Al Rasyid. Tak hanya itu, ada juga nama lain seperti Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono dan Direktur PJKAKI Sujarnarko.
Dari jumlah tersebut, KPK kemudian mengumumkan 51 pegawai dipastikan akan dipecat per 1 November mendatang. Penyebabnya, mereka sudah tak bisa dibina lagi karena indikator penilaian dari asesmen berwarna merah.
Sementara 24 di antaranya masih bisa diselamatkan dengan melakukan pendidikan bela negara dan wawasan kebangsaan terlebih dahulu. Kegiatan pembinaan ini bersifat wajib dan jika tak lolos, mereka juga bernasib sama dengan 51 orang lain.