Bekas Anak Buah Anies Baswedan Ditahan KPK Setelah Rugikan Negara Rp152,5 Miliar Lewat Pengadaan Tanah

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menahan bekas anak buah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, mantan Direktur Utama Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles. 

Tak hanya itu, komisi antirasuah meminta seluruh instansi pemerintahan untuk patuhi prosedur pengadaan demi mencegah terulangnya kasus serupa.

Menggunakan rompi oranye bertuliskan Tahanan KPK, Yoory Corneles kini harus merasakan dinginnya Rumah Tahanan KPK. Dia ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka sejak 24 Februari lalu dalam dugaan kasus korupsi pengadaan tanah di Munjul, Pondok Ranggon, Jakarta.

"Tim penyidik melakukan penahanan tersangka YRC (Yoory Corneles) selama 20 hari terhitung sejak 27 Mei 2021 sampai dengan 15 Juni 2021," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 27 Mei.

Dia ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK Cabang Pomdam Jaya Guntur. Namun, Yoory akan menjalankan isolasi mandiri di Rutan KPK Cabang Kavling C1 demi mencegah penularan COVID-19.

Yoory ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan Direktur PT Adonara Propertindo Tomy Ardian, dan Wakil Direktur PT Adonara Propertindo Anja Runtuwene. Lembaga Antikorupsi juga menetapkan PT Adonara Propertindo sebagai tersangka korporasi kasus ini.

Untuk dua tersangka lain, saat ini penahanan belum dilakukan. Ghufron mengatakan, mereka akan segera dipanggil untuk ditahan. 

Sebelum menetapkan para tersangka, sebanyak 44 saksi sudah diperiksa oleh penyidik KPK dalam kasus ini.

Cara Yoorys rugikan negara hingga ratusan miliar

Dalam kasus ini, Yoorys ternyata telah merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah akibat perbuatannya dalam proses pengadaan tanah.

"Diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara setidak-tidaknya sebesar Rp152,5 miliar," kata Plh Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Setyo Budiyanto dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 27 Mei.

Setyo Budiyanto lantas menjelaskan awal kasus ini bermula. Kata dia, Perumda Pembangunan Sarana Jaya yang merupakan BUMD di bidang properti mencari tanah di wilayah Jakarta untuk  dimanfaatkan sebagai unit bisnis maupun bank tanah. 

Selanjutnya, Perumda Pembangunan Sarana Jaya ini bekerja sama dengan PT Adonara Propertindo yang juga bergerak di bidang yang sama. 

Dari kerja sama inilah, pada 8 April 2019 lalu, disepakati penandatanganan Pengikatan Akta Perjanjian Jual Beli di hadapan notaris yang berlangsung di kantor Perumda Sarana Jaya. Tanda tangan ini dilakukan antara pihak pembeli yaitu Yoory dan Anja Runtuwene.

"Selanjutnya masih di waktu yang sama tersebut, langsung dilakukan pembayaran sebesar 50 persen atau sekitar sejumlah Rp108,9 miliar ke rekening bank milik AR pada Bank DKI," ungkap Setyo.

Berikutnya, atas perintah Yoory, pembayaran berikutnya dilakukan sebesar Rp43,5 miliar. Namun, dalam proses pengadaan tanah tersebut, Perumda Sarana Jaya diduga melakukan tindakan penyelewengan seperti tak melakukan kajian terhadap kelayakan objek tanah dan tak melakukan kajian appraisal tanpa didukung kelengkapan persyaratan sesuai peraturan terkait. 

Selain itu, perusahaan BUMD ini juga diduga kuat melakukan proses dan tahapan pengadaan tanah tak sesuai prosedur dan ada dokumen yang disusun secara backdate, serta kesepakatan harga awal antara Anja dan Perumda Sarana Jaya dilakukan sebelum proses negosiasi dilakukan.

Minta instansi pemerintah patuhi prosedur pengadaan

Agar kasus serupa tak terjadi, Setyo kemudian mengingatkan instansi pemerintah untuk mematuhi prosedur pengadaan yang telah ditetapkan. Hal ini perlu dilakukan demi menjamin akuntabilitas pengadaan baik di jajaran pemerintah pusat maupun daerah.

"KPK menegaskan kembali agar seluruh instansi pemerintah mematuhi prosedur pengadaan yang sudah ditetapkan," katanya.

Selain itu, Setyo juga mengingatkan penyelenggara negara harusnya memegang teguh sumpah jabatan dan tak menyalahgunakan kewenangannya demi kepentingan pribadi maupun kelompok. 

Sementara terhadap pihak swasta dan korporasi, mereka juga harus mendukung pencegahan korupsi. Caranya, dengan melakukan praktik bisnis yang sesuai dengan aturan yang ada.

"KPK berharap pihak swasta dan korporasi juga memiliki andil untuk melakukan pencegahan korupsi dengan melakukan praktik bisnis yang akuntabel dan antikorupsi," tegasnya.

Berikutnya, KPK juga mengingatkan perihal perencanaan anggaran. Bukan hanya untuk perencanaan pengelolaan APBD tapi juga penyertaan modal pada perusahaan daerah. 

Bukan hanya itu, komisi antirasuah secara terpadu melakukan pencegahan dengan instansi pemerintah yang ada dari hasil penindakan. Hal ini dilakukan sebagai upaya pembelajaran pencegahan korupsi.