Menelusuri Sejarah Angkringan hingga Asal Imej Surga Kuliner Murah bagi Yogyakarta
JAKARTA - Yogyakarta memang istimewa. Daya tarik pariwisatanya sudah memikat sejak dulu kala. Ada Keraton Yogyakarta, Gunung Merapi, hingga wisata kaki limanya. Termasuk angkringan. Kehadiran gerobak-gerobak makanan tersebut turut melanggengkan anggapan Yogyakarta surganya makanan murah.
Dalam makna lainnya, angkringan jadi penanda semua golongan dapat berkumpul di satu tempat. Romantisme itu adalah salah satu bentuk kebhinnekaan yang ditawarkan oleh bumi Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kehadiran angkringan di Yogyakarta tak terlepas dari kehadiran pedagang pikulan HIK. Kepopuleran HIK dimulai dari Klaten pada 1940-an. Selain nama HIK, pedagang pikulan itu juga dikenal sebagai pedagang wedangan, atau warung ceret telu.
Konon ada dua kelompok yang mempopulerkan citra pedagang HIK. Satu kelompok mempopuler HIK di Surakarta. Lainnya, mempopulerkannya di Yogyakarta. Melansir Kompas.com, sosok yang mempopulerkan HIK ke Surakarta adalah Eyang Karso Dikromo, yang masa mudanya akrab dipanggil Jukut.
Karso yang berasal dari Desa Ngerangan, Klaten merantau ke Solo saat umurnya masih berusia 15 tahun, atau pada 1930-an. Di Solo ia mencoba ragam profesi. Namun, seiring waktu Karso mulai tertarik berbisnis makanan bermodal pikulan --angkringan yang dipikul di puncak-- ketika melihat temannya berjualan terikan, sebuah makanan khas dari Jawa Tengah.
Di sela-sela berjualan, karso mendapatkan ide menjual terikan sembari menjajakan minuman. Idenya itu supaya pembeli dapat melegakan dahaga saat selesai makan. Senapas dengan itu, Karso sedikit memodifikasi pikulan jualannya. Bagian depan untuk makanan, serta bagian belakang untuk ceret minuman. Tak disangka idenya itu membawakan keuntungan yang besar bagi Karso.
Alhasil, jejaknya mulai diikuti oleh warga kampung Karso yang berdiaspora ke pelosok Jawa, termasuk Yogyakarta. Di Yogyakarta nama Pawiro atau Pairo jadi pelopor. Pawiro yang berasal dari Cawas, Klaten memilih mengadu nasib dengan merantau ke Yogyakarta. sejak awal Pawiro sudah menekuni profesinya sebagai pedagang HIK dengan menggunakan pikulan di sekitar emperan Stasiun Tugu Yogyakarta.
Asal-usul istilah HIK hingga angkringan
Istilah HIK sendiri muncul dari dua versi. Versi pertama, HIK bermuara dari teriakan yang dilakukan pedagang pikulan ketika berkeliling kampung sambil meneriakkan kata “Hiikk. Hiiiyyeeeekkk.” Itupun dagangan dihiasi dengan hiasan lentera (lampu ting). Versi kedua, HIK adalah kata yang bermula dari tradisi Malam Selikuran, Keraton Surakarta yang kemudian langgeng dikenal sebagai Hidangan Istimewa Kampung (HIK).
Pada dasarnya HIK adalah penjual wedang (minuman panas) dan jajanan, maupun penganan yang cocok untuk mendampingi minuman panas itu. Di masa lalu, pedagang HIK (hampir semuanya laki-laki), memikul dagangannya menyusuri jalan-jalan sempit di kampung-kampung. Satu pikulan berisi air panas yang terus dijaga mendidih,” ungkap Dian Kristiyowati dalam kajiannya berjudul Warung Hidangan Istimewa Kampung (HIK) Sebagai Ruang Publik (2010).
“Di pikulan lain penuh jajanan seperti pisang goreng, pisang rebus, singkong goreng, dan banyak macam lainnya. Untuk menandai kehadirannya, si pedagang tiap sebentar meneriakkan kata ‘HIK!’ Peminat akan keluar rumah, memanggil si penjaja, dan memesan minuman serta mengambil jajanan yang disukai. Di sini semua tetangga juga ikut berkumpul, minum dan makan bersama-sama, sambil membicarakan bahan pembicaraan tertentu seperti obrolan tentang ekonomi, sosial ataupun politik,” tambahnya.
Penjual HIK pun berkembang cepat. Penjual HIK yang tadinya identik dengan pikulan, kini mulai menggunakan gerobak. Kehadiran mereka mulai menjamur di kaki lima jalanan di seantero Surakarta dan Yogyakarta. Semenjak saat itu, warung HIK melekat jadi imej kota Surakarta. Sedang, warung angkringan melekat jadi imej kota Yogyakarta.
Dalam bahasa Jawa angkringan berasal dari kata “angkring” yang berarti gerobak jualan yang dipanggul. Atau “malangkring” yang berarti nongkrong dengan menaikkan salah satu kaki di atas kursi. Apalagi, di angkringan tiap orang yang datang adalah setara. Tak membedakan mana pendatang atau orang Yogyakarta asli. Tak pula membedakan mana orang kaya dan mana Jelata. Oleh sebab itu, angkringan jadi medium yang menghargai bhinnekaan.
Lantaran itu tempat berjualan angkringan cukup sederhana. Hanya ada gerobak dagangan, bangku panjang, dan beberapa tikar digelar untuk pembeli. Ciri khasnya adalah kehadiran penerangan berupa lampu teplok atau petromak. Identitas lainnya terlihat dari kehadiran tiga ceret untuk minuman hangat, sehingga muncul nama warung ceret telu.
“Teman wedangan juga sederhana sekali, yaitu makanan yang biasa dinikmati oleh masyarakat kelas bawah, Seperti nasi kucing yaitu menu khas dari HIK. Nasi kucing yaitu nasi putih, sambel, serta secuil bandeng atau ikan asin. Karena porsinya mini, maka disebut nasi kucing (pas untuk porsi kucing mungkin). Selain nasi kucing, biasanya ada juga nasi oseng-oseng tempe,” tulis Murdijati Gardjito dalam buku Kuliner Surakarta: Menciptakan Rasa Penuh Nuansa (2018).
Imej surga makan murah
Kepopuleran angkringan di Yogyakarta berdampak luas. Pembentukan imej Yogyakarta sebagai surga makanan murah, salah satunya. Kemudian, hal itu menjadi top of mind pelancong dari luar daerah ketika berkunjung ke Yogyakarta.
Imej itu bahkan meluas sehingga tak cuma makan di angkringan yang dianggap murah. Asal masih di Yogyakarta, maka makanan yang dijual sudah pasti murah. Padahal belum tentu. Pandangan itu diamini oleh Budayawan, Feby Triadi.
“Jika melihat dari sejarah angkringan, tentu agak saling-silang. Namun, jika melihat dari nilai sosial masyarakat Jogja tentu berpengaruh. Karena di sana ada beberapa nilai yang dijunjung tinggi, dan itu mengakar. Sedangkan angkringan yang terkenal dengan nasih kucingnya, serta paganan yang bisa didapatkan dengan sangat murah, dan hampir bisa dijumpai di tiap sudut kota ini maka sangat mempengaruhi anggapan murah untuk kota Yogya,” ungkap Feby Triadi saat dihubungi VOI, Kamis, 27 Mei.
Bersamaan dengan itu, Yogyakarta juga terkenal sebagai kota pelajar dan kota wisata. Julukan itu turut melanggengkan anggapan kota Gudeg sebagai surga makan murah. Lebih lagi, asumsi makanan murah itu di latar belakangi oleh kontruksi alam serta bentang alam yang cukup subur pada lereng-lereng Gunung Merapi. Kelebihan itu menjadi alasan utama pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat di sana sangat mudah.
“Bahan pokok, sayuran, dan hasil alam melimpah ruah, ditambah dengan kreativitas yang dimiliki masyarakatnya menjadikan banyak makanan atau paganan khas yang lahir di Yogyakarta. Dan itu langsung diolah dari sana. Maka tak jarang, di kota ini (Yogyakarta) biaya hidup murah, makanan murah, karena kebutuhan dasar bisa dipenuhi langsung dari petaninya, bahkan langsung dari alamnya,” tutup Feby Triadi.
*Baca Informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.