Kecewa Sakitnya Dijadikan Panggung Politik, Rizieq Shihab ke Bima Arya: Tidak Punya Etika!

JAKARTA - Terdakwa kasus hasil swab tes RS UMMI, Rizieq Shihab kembali menyerang Wali Kota Bogor Bima Arya dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis, 27 Mei, hari ini. 

Rizieq kecewa karena Bima Arya menjadikan penyakitnya sebagai panggung politik. Pernyataan itu bermula saat Rizieq menjelaskan soal kesepakatan antara Tim MER-C, pihak RS UMMI dengan Bima Arya soal pelaksanaan swab PCR.

Hanya saja, tiba-tiba Rizieq menyebu terkejut dengan tindakan Bima Arya yang justru melaporkan RS UMMI ke polisi usai adanya kesepakatan melakukan swab tes.

"Cuman saya terkejut habis pertemuan malam itu jam 9 selsai ada rapat Walikota jam 10 malam dengan Satgas dan Kapolres Kota Bogor untuk melaporkan RS UMMI ke polisi dan itu dilakukan lewat tengah malam," ucap Rizieq dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis 27 Mei.

Saat itulah, Rizieq mengaku kecewa. Bahkan, dia menyebut Bima Arya tak memiliki etika, sopan santun, dan bisa dipercaya.

"Itulah salah satu yang menyebabkan saya nggak percaya kalau timnya periksa PCR saya. Saya percaya kalau dia punya etika sopan santun saya mau tes PCR tapi kalau perilakunya sudah begini. Jangan-jangan nanti hasilnya dioper kemana-mana," ungkapnya.

Rizieq pun semakin kesal dengan tidakan itu. Dia menggap penyakitnya itu dijadikan sebagai panggung politik bagi Bima Arya. Padahal, sebagai seorang pemimpin tidak boleh melakukan hal tersebut.

"Jadi maksud saya kalau dia mau koar-koar begitu bicara dulu. Jangan sakit saya, penderitaan saya dijadikan sebagai konsumsi panggung politik dia. Ini yang saya tidak terima," tandas dia.

Sebagai informasi, dalam perkara ini Rizieq Shihab dituntut 10 bulan penjara. Sebab, didakwa menyebarkan berita bohong atau hoaks yang menyebabkan keonaran. Kabar bohong ini terkait kondisi kesehatannya yang terkonfirmasi positif COVID-19 saat berada di RS UMMI Bogor, Jawa Barat.

Rizieq Shihab didakwa dengan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 14 ayat (1), ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan/atau Pasal 216 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.