Ada Alasan Mengapa Orang Ngotot Mudik

JAKARTA - Ada 1,5 juta masyarakat mudik di Lebaran 2021 ini. Otoritas mengklaim ini sebagai keberhasilan dari kebijakan larangan mudik, termasuk penyekatan-penyekatan yang dilakukan. Bagaimanapun, 1,5 juta itu adalah jumlah manusia, besaran potensi penularan COVID-19. Mendalami fenomena ini, sebenarnya kenapa orang-orang memiliki nafsu mudik yang amat besar?

Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menyebut langsung angka 1,5 juta itu sebagai keberhasilan. Kesimpulan berhasil versi Budi dilihat dari jauhnya angka pemudik dengan prediksi yang dilakukan lewat survei mitigasi dan antisipasi Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebelum musim mudik datang.

Menhub Budi Karya Sumadi (Irfan Meidianto/VOI)

“Dalam survei yang kami lakukan, masyarakat kalau dibiarkan, 33 persen akan mudik. Kalau dilarang turun jadi 11 persen. Pada saat pelarangan, saat kampanye dilakukan, turun lagi jadi 7 persen," katanya dalam konferensi pers virtual BNPB, Sabtu, 15 Mei.

Jumlah tujuh persen itu sama dengan 18 juta orang. Aksi, kampanye, dan upaya-upaya lain dari otoritas lah yang menurut Budi menekan angka pemudik hingga 1,5 juta.

"Setelah itu kita lakukan aksi-aksi yang dilakukan oleh kementerian dan lembaga, termasuk oleh Polri, maka turun lagi. Menurut catatan kami, 1,5 juta pemudik," kata Budi.

Mudik sebagai fenomena sosial

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Dari sisi kajian sosiologis, para pemudik adalah aktor sosial yang membangun sistem sosialnya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari beragam fakta lapangan.

Contohnya, bagaimana pemerintah daerah kompak memperbaiki sarana penunjang kelancaran mudik, mulai dari jalan, destinasi wisata, hingga tempat peristirahatan. Bahkan ada pemerintah lokal yang menyambut meriah para pemudik.

Mereka kerap dianggap sebagai pahlawan kampung halaman "karena ketika sedang merantau di kota maupun ketika mudik ke kampung halamannya, para pemudik ini tidak pernah melepaskan kepedulian sosial ekonominya kepada penduduk yang tidak bisa atau tidak mau merantau," tutur sosiolog UIN Jakarta Tantan Hermanshah, dikutip VOI, Senin, 17 Mei.

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Dari sisi swasta, mereka juga terdampak sistem sosial yang diciptakan para pemudik. Perusahaan-perusahaan transportasi, misalnya, yang mendapat keuntungan besar saat musim mudik tiba.

Ya, meski tahun ini agak berbeda. Yang jelas, secara umum mudik adalah sistem sosial yang terbangun puluhan tahun. Melihat kenapa orang Indonesia begitu terikat dengan fenomena mudik, kita perlu melihat kembali sejarah mudik di Nusantara.

Seperti dijelaskan Tantan tentang para perantau sebagai pahlawan, mudik memang berkaitan dengan nilai-nilai itu: romantisme dan pengakuan sosial. 

[MEMORI: Sejarah Mudik Nusantara]

Tradisi mudik pada dasarnya adalah tradisi orang kota. Mudik hadir bersamaan dengan munculnya kota-kota modern di Indonesia dan gejala urbanisasi pada abad ke-19. “Ada jarak kota dengan desa yang sering disebut udik. Jadilah momen saat kembali ke desa disebut 'mudik',” kata sejarawan, JJ Rizal.

Hal itu erat kaitannya dengan Jakarta yang sejak bernama Batavia dan berstatus Ibu Kota Kolonial telah jadi magnet orang-orang dari berbagai daerah untuk mengadu nasib. “Tak ayal, jumlah urbanisasi yang besar membuat Batavia, terutama Jakarta, jadi identik dengan mudik,” kata Rizal.

Jika dilirik ke belakang, istilah mudik sesungguhnya baru populer sekitar era 1970-an. Mudik memang bukan cuma perkara rindu. Sejak dalam sejarah, mudik jadi simbol pengakuan sosial.

Dahulu, mudik selalu dilakukan dengan berkonvoi. Dalam momen mudik, para perantau bagai pahlawan. Kendaraan-kendaraan para pemudik ditempeli stiker akan disambut di perbatasan provinsi oleh voorijder.

Ilustrasi foto mudik di zaman dahulu (Sumber: Commons Wikimedia)

“Ketika itulah sebuah pemandangan kebudayaan dipertontonkan. ‘Ayo ke rantau mengubah nasib,’ kira-kira begitu lah pesan yang mereka sampaikan sepanjang perjalanan,” dijelaskan dalam buku Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006)

Saking populernya mudik, Komaruddin Hidayat dalam tulisan di e-book berjudul Indahnya Mudik Lebaran (2015) menjelaskan romantisme mudik sebagai nostalgia dan napak tilas semasa remaja. Mudik, baginya adalah rekreasi emosional yang indah dan melankolis yang mampu menembus waktu yang panjang.

Tak hanya itu. Komaruddin juga mengungkap alasan kenapa seseorang menyukai mudik. Alasannya, tak lain karena ada ungkapan klasik bahwa manusia itu 'homo festivus', yakni makhluk yang senang festival.

Karenanya, Komaruddin mengatakan, “... dengan begitu banyak festival, termasuk festival yang bernuansa keagamaan. Ramai-ramai merayakan Lebaran Idul Fitri bisa juga tergolong festival. Pada setiap festival, ada pola yang ajeg, yang dilakukan berulang-ulang secara masif pada momen-momen tertentu, beramai-ramai dalam suasana kegembiraan.”

“Ada lagi yang mengatakan, manusia itu makhluk peziarah. Wanderer or traveler being, yakni senang melakukan perjalanan atau jalan-jalan. Setiap datang hari libur, agenda utamanya jalan-jalan, rekreasi,” tambahnya.

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada, Nailin In Saroh juga Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya