Pro Korupsi dan Membiarkan Pengesahan UU KPK, Mencari Beda di Antara Keduanya
JAKARTA - Tes wawasan kebangsaan para pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rampung diproses. Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah menyerahkan hasil tes tersebut ke KPK. Sejumlah penyidik kaliber dikabarkan tersingkir lewat tes ini, termasuk Novel Baswedan. Tes ini disebut cuma kamuflase untuk menarik KPK keluar dari jalur pemberantasan korupsi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertanggung jawab atas ini.
Kita tak bisa mengatakan Jokowi pro korupsi, tentu saja. Tapi yang jelas Jokowi mendukung pengesahan Undang-Undang KPK Nomor 19 Tahun 2019. Apa perbedaan dari kedua hal itu? Entahlah. Yang jelas, tes wawasan kebangsaan ini adalah implikasi langsung dari pengesahan UU KPK. Sebagaimana diatur UU itu, pegawai KPK wajib menjalani tes sebagai bagian dari proses alih status menjadi aparatur sipil negara (ASN).
KPK belum mengonfirmasi dengan terang kabar ketidaklulusan Novel dan sejumlah pegawai KPK lain yang dianggap kaliber dalam pemberantasan korupsi. Sekretaris Jenderal KPK Cahya H. Harefa mengatakan hasil asesmen 1.349 pegawai KPK masih tersegel sejak diterima 27 April lalu. Cahya tak bisa menjawab banyak kecuali menjanjikan pengumuman terbuka hasil asesmen sebagai bentuk transparansi KPK, katanya.
"Saat ini hasil penilaian asesmen tes wawasan kebangsaan tersebut masih tersegel dan disimpan aman di Gedung Merah Putih KPK," kata Cahya dalam keterangan tertulis, dikutip VOI, Selasa, 4 Mei.
Indonesia Corruption Watch (ICW) melihat tes pegawai KPK ini sebagai skenario yang telah dirancang untuk mematikan KPK. Skenario itu bisa dirunut. UU KPK yang disahkan Jokowi bersama DPR jadi bagian awal plot. Setelah itu, masuknya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK. Dan tahap penyingkiran pegawai-pegawai yang ICW sebut berintegritas ini adalah fase akhir. Segala kekacauan ini, kata ICW tak bisa dilepaskan dari peran Jokowi dan DPR.
"Sebab, dua cabang kekuasaan itu yang pada akhirnya sepakat merevisi UU KPK dan memasukkan aturan kontroversi berupa alih status kepegawaian menjadi aparatur sipil negara. Tak lupa, ini pun sebagai buah atas kebijakan buruk Komisioner KPK tatkala mengesahkan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 yang memasukkan asesmen tes wawasan kebangsaan," tulis ICW dalam keterangan pers.
Di sisi Firli, apa yang terjadi hari ini menegaskan garis suram wajah KPK di bawah komando Sang Jenderal Polisi. Ada beberapa catatan ICW untuk kepemimpinan Firli, mulai dari keengganan memproses Harun Masiku, penghilangan nama-nama politikus dalam dakwaan korupsi bansos, hingga bocornya informasi sejumlah penggeledahan. Dan di sisi Jokowi, sebaiknya Sang Presiden tak lagi bicara soal semangat memperkuat KPK.
"Untuk itu, akhirnya kekhawatiran masyarakat atas kebijakan Presiden Joko Widodo dan DPR yang memilih merevisi UU KPK serta mengangkat komisioner penuh kontroversi terbukti. Alih-alih memperkuat, yang terlihat justru skenario untuk mengeluarkan KPK dari gelanggang pemberantasan korupsi di Indonesia," ICW.
Kejanggalan tes wawasan kebangsaan KPK
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menyoroti satu hal paling dasar dari tes wawasan kebangsaan ini: landasan. Tes wawasan kebangsaan sejatinya tak sesuai dengan UU KPK. Memang, pegawai KPK akan dialihstatus menjadi ASN. Tapi, skema tes ini didesain melalui peraturan yang dibuat KPK sendiri.
"Tes tidak sesuai dengan UU KPK yang baru karena tidak terdapat ketentuan mengenai tes alih status. Keinginan tes lebih banyak dari kehendak pimpinan KPK melalui peraturan komisi. Sehingga secara administrasi bermasalah," kata Feri Amsari.
Hal tersebut diakui Sekretaris Jenderal KPK Cahya H. Harefa. Syarat pengalihan status pegawai lewat tes wawasan kebangsaan dilandasi oleh Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN.
Para pegawai harus menandatangani surat pernyataan kesediaan menjadi PNS dan wajib mengikuti asesmen tes wawasan kebangsaan. Namun, dalam pasal itu tak dijelaskan konsekuensi jika pegawai gagal lolos tes.
Tak mengatur jelas nasib pegawai tetap, peraturan justru merinci nasib pegawai tak tetap. Mereka diharuskan ikut tes asesmen kompetensi sosial kultural, teknis dan manajerial yang diselenggarakan Sekjen KPK. Pasal 13 nomor (5) menyebut pegawai tak tetap yang tak lulus asesmen kompetensi masih bisa jadi pegawai tak tetap sampai tahun 2023.
Pasal 5 peraturan yang ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri 27 Januari itu juga disoroti. Pasal itu mengatur larangan bagi pegawai KPK tergabung dalam organisasi terlarang. Seperti sikap ICW, Feri juga melihat tes ini mengada-ada. Tak lebih dari kamuflase menyingkirkan figur-figur yang tengah memegang kartu penanganan kasus megakorupsi. Lebih dari itu, tes wawasan kebangsaan KPK juga melanggar sejumlah perkara etik.
"Tes berisi hal yang janggal dan mengada-ada. Misalnya pertanyaan terkait FPI dan pendapat pegawai terhadap program pemerintah. Padahal pegawai tidak boleh secara etis berurusan dengan perdebatan politik dan mereka tidak boleh menunjukan dukungan atau tidak dukungan terhadap program-program pemerintah karena bisa saja program itu terkait kasus korupsi," kata Feri.
Perihal isi tes yang janggal dan mengada-ada, VOI mengonfirmasi kepada sumber di internal KPK. Ia memberikan pokok-pokok materi dalam tes. Menurutnya, tes wawasan kebangsaan terdiri dari sejumlah butir pilihan ganda dan beberapa esai. Soalnya mudah namun aneh. Beberapa pertanyaan janggal yang ia tangkap adalah soal FPI, HTI, hingga LGBT. Selain itu, perihal rasisme juga diungkit.
Masalah UU KPK
Selasa, 4 Mei, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi atau judicial review Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Uji materi diajukan oleh mantan Komisioner KPK Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang, serta beberapa orang lainnya.
"Amar putusan, mengadili dalam provisi menolak permohonan provisi para pemohon, dalam prokok permohonan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata ketua MK Anwar Usman di Gedung MK sambil mengetuk palu, Selasa, 4 Mei.
Majelis hakim berpendapat permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Kemudian, Hakim MK Wahiddudin Adams memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) perihal permohonan formil uji materi UU KPK.
Tiga mantan Komisioner KPK itu mengajukan permohonan uji materiatas nama pribadi dan warga negara Indonesia. Total, ada 13 nama pemohon atas nama pribadi. Di antaranya juga ada mantan Komisioner KPK Mochammad Jasin dan Erry Riyana Hardjapamekas, serta sejumlah pegiat antikorupsi lainnya.
Dalam permohonan ini, mereka mengajukan uji materi secara formil, yakni pengujian terhadap proses pembentukan Undang-Undang. Secara garis besar, ada tiga poin yang tak sejalan dalam syarat pembentukan UU dalam UU KPK.
Pertama, proses pembahasan dilakukan secara terburu-buru. UU ini tak masuk prolegnas tapi tiba-tiba muncul. Kedua, pembahasannya tak melibatkan konsultasi publik. Bahkan, daftar inventaris masalah UU tidak diperlihatkan kepada KPK sebagai stakeholder utama. Ketiga, soal naskah akademik yang tidak pernah diperlihatkan ke publik.
Protes massa terjadi menolak pengesahan UU KPK. Namun, DPR dan Jokowi berkali-kali lempar tanggung jawab hingga UU KPK sah dengan sendirinya pada 17 Oktober 2019. Iya, Jokowi memang tak meneken UU KPK. Tapi Jokowi membiarkan UU KPK sah. Hal ini sesuai pasal 20 ayat 5 UUD 1945:
Dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan Undang-Undang tersebut disetujui, rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
UU KPK sendiri disahkan dalam paripurna DPR pada 17 September 2019. Pasal 20 ayat 5 itu diperkuat dengan UU 15/2019 tentang Perubahan Atas UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Pasal 73 ayat 2 UU tersebut menyatakan:
Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
Jokowi sejatinya punya kesempatan untuk menggagalkan pengesahan UU KPK, termasuk lewat penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), sebagaimana diusulkan banyak pegiat antikorupsi. Namun Jokowi menolak.
*Baca Informasi lain soal KPK atau baca tulisan menarik lain dari Wardhany Tsa Tsia juga Yudhistira Mahabharata.
BERNAS Lainnya
Baca juga: