Bagikan:

JAKARTA - Manusia menyemut di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu, 1 Mei. Berbagai pihak kalang kabut. Bermacam protokol diberlakukan merespons kekacauan ini. Sayang, banyak yang menganggap ini terlambat. Tak cuma itu. Kejadian Tanah Abang lagi-lagi menunjukkan kacaunya pengelolaan kebijakan pengendalian COVID-19. Kita tak belajar.

Respons paling awal ditunjukkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Ia mengimbau masyarakat menyebar. Jangan semua ke Pasar Tanah Abang, sebab masih banyak pasar lain di Ibu Kota, yang kelengkapannya mendekati Pasar Tanah Abang.

"Di Jakarta banyak pasar. Kami menganjurkan untuk mendatangi berbagai pasar di Jakarta selain Pasar Tanah Abang," kata Anies saat mengunjungi Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Minggu, 2 Mei.

Dalam kesempatan itu Anies juga menyampaikan beberapa cara yang segera diambil pemerintah. Salah satunya dengan membagi jadwal penutupan pasar. Selain itu Anies juga berkoordinasi dengan PT KCI untuk mengatur jadwal commuter line agar tak berhenti di Stasiun Tanah Abang pada pukul 15.00 sampai 19.00 WIB.

"Jadi mulai sore ini, pasar akan ditutup, dibagi ada yang jam 16.00 dan tutup jam 17.00 untuk menghindari keluar bersamaan dan kemudian menuju titik yang hampir sama," kata Anies saat melakukan kunjungan ke Pasar Tanah Abang, Minggu, 2 Mei.

Ilustrasi foto Pasar Tanah Abang (Angga Nugraha/VOI)

Direktur Niaga PT KAI Dadan Rudiansyah, yang mendampingi Anies meninjau Pasar Tanah Abang menyatakan siap mendukung kebijakan Pemprov DKI. Jalur-jalur keberangkatan dan pemberhentian kereta akan dialihkan ke stasiun terdekat, baik Stasiun Duri maupun Stasiun Karet.

Selain perjalanan kereta, Pemprov DKI Jakarta dengan bantuan TNI-Polri juga akan melakukan pembatasan dan penertiban jumlah orang yang masuk ke dalam stasiun. Penertiban akan dilakukan di kawasan jembatan penyeberangan multiguna (skybridge) Tanah Abang, serta sisi utara Jalan Jati Baru.

Kabar terbaru, Direktur Utama Perumda Pasar Jaya Arief Nasrudin menyatakan Pasar Tanah Abang hari ini tak dipadati pengunjung sebagaimana akhir pekan lalu. Entah apa maksud Arief. Yang jelas, ia mengatakan hari ini petugas mulai mengatur pembatasan pengunjung di angka 50 persen. Pengaturan keluar-masuk juga diberlakukan untuk mengurai manusia.

"Petugas mengingatkan agar jika satu lokasi penuh agar masyarakat tidak berkerumun dan mencari lokasi lainnya mengingat cukup banyak toko menjual produk serupa di kawasan Pasar Tanah Abang," ujar Arief dalam keterangan yang dikutip VOI, Senin, 3 Mei.

Lebih lanjut, per Senin sore, 3 Mei, penutupan kios di Pasar Tanah Abang akan dilakukan lebih cepat. Petugas menerapkan sistem ganjil-genap. Toko yang berada di lantai ganjil diminta tutup jam 4 sore dan yang berada di lantai genap tutup jam 5 sore.

Arief menyebut petugas masih akan terus disiagakan beberapa hari ke depan, terutama di waktu-waktu ramai pengunjung. Hal itu dilakukan mengingat belanja baju Lebaran adalah budaya tahunan masyarakat di seluruh Nusantara.

"Hal ini untuk mencegah penumpukan keluar pengunjung secara bersamaan ... Dengan berbagai upaya tersebut maka protokol kesehatan bisa dijalankan semaksimal mungkin," tutur Arief.

Kritik pengelolaan kebijakan

Kerumunan Pasar Tanah Abang, Sabtu, 1 Mei (Sumber: Antara)

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah melihat logika yang kacau dari pengelolaan kebijakan pengendalian COVID-19. Dari tingkat Pemprov DKI, misalnya.

Reaksi yang diambil tak cuma menunjukkan Pemprov DKI terlambat tapi juga gagal mengimplementasikan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). "Implementasi kebijakan PPKM itu tidak optimal. Sangat lemah," kata Trubus, dihubungi VOI, Senin, 3 Mei.

"Karena di situ harusnya kan bisa diantisipasi. Pemprov DKI sebagai pelaksana di lapangan harusnya bisa mengantisipasi. Kejadian di Tanah Abang itu bisa dicegah. Artinya, manakala kemudian sudah biasa dalam masyarakat kita mendekat hari Lebaran. Tanah Abang jadi salah satu favorit kan. Harusnya sudah tahu," Trubus.

Itu di tingkat Pemprov DKI. Di tingkat pusat tak kalah membingungkan --jika tak ingin disebut kacau balau. Sejak lama pemerintah pusat main aman. Mereka kerap melempar kesalahan-kesalahan pada pemerintah daerah. Padahal, ada porsi yang seharusnya juga dijalankan pemerintah pusat, dalam hal ini melalui Gugus Tugas COVID-19.

Tak cuma lempar kesalahan. Lembaga-lembaga pemerintahan, lengkap dengan pejabat-pejabatnya kerap membuat pernyataan yang membingungkan. Lihat saja pernyataan Sri Mulyani yang masih hangat. Sri Mulyani mendorong masyarakat belanja menyambut Lebaran untuk memutar kembali roda perekonomian.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (Sumber: Setkab)

Tak sepenuhnya salah. Sri Mulyani dalam pernyataannya menyinggung konteks belanja online. Namun, yakin budaya belanja online sudah semembumbi itu? Bagaimana dengan orang-orang yang bukan pengguna platform belanja online?

Berbagai survei menunjukkan peningkatan aktivitas belanja online di tengah masyarakat Indonesia selama pandemi. Potensi bagus, tentu saja. Namun, bagaimana jika bicara hal yang lebih fundamental, yakni soal keterbatasan akses internet?

Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2020 mengungkap penetrasi pengguna internet Indonesia pada Q2 (2019-2020) berada di angka 196,7 juta. Jika total penduduk Indonesia ada 266 juta, maka sudah 73,7 persen orang Indonesia terhubung internet.

Tapi jika dirinci, capaian itu tak sebaik yang nampak. Ketimpangan akses internet tampak jelas. Jawa masih mendominasi dengan 55,7 persen. Daerah lain, jauh di bawah. Yang terdekat ada Sumatra yang tak sampai setengahnya Jakarta: 21,6 persen.

Selebihnya, Sulawesi-Maluku-Papua hanya 10,9 persen. Kalimantan (6,6%), dan Bali-Nusa Tenggara (5,2%). Di tahun yang sama, Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kominfo Ahmad M. Ramli mencatat 9.113 daerah tak tersentuh jaringan 4G.

Selain itu ada 3.435 daeran non 3T yang juga tak terjamaah 4G. Maka, jika ditotal, ada sekitar 12.548 daerah blankspot di Indonesia. Daerah blankspot itu tak memiliki jaringan fiber optic yang menghubungkan BTS (base transceiver station) sehingga tak ter-cover jaringan 4G.

Masih banyak kebijakan lain yang membingungkan. Menurut Trubus, hal ini terjadi karena sinergitas yang terhambat antara pemerintah pusat dan daerah. Masalah lama, memang. Tapi, toh masih terjadi.

"Tapi kan persoalannya kemudian ada koordinasi lemah di pusat sendiri dengan Gugus Tugas COVID-19 dengan arahan Sri Mulyani sendiri. Seharusnya satu suara supaya masyarakat ini tidak bingung. Ini kan yang saya lihat yang disalahkan selalu masyarakat."

Kasus Tanah Abang, lagi-lagi hanya yang terekspos. Sistem pengelolaan kebijakan yang lebih baik dan sinergis diperlukan untuk mengantisipasi masalah berulang.

"Kasus Tanah Abang yang paling bertanggung jawab Pemprov DKI. Di situ pemerintah pusat juga ikut dong. Karena persoalan kerumunan pasar ini juga tidak hanya di Tanah Abang."

"Jadi banyak memang pasar-pasar itu yang diserbu oleh pengunjung. Sebenarnya yang pegang peran harusnya Gugus Tugas COVID. Jadi ada porsi daerah dan pusat."

*Baca Informasi lain soal TANAH ABANG atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya

BACA JUGA: