Utang Luar Negeri Indonesia Makin Membengkak, Politikus PKS: Kita Sudah Sering Ingatkan Pemerintah
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia tembus 422,6 miliar dolar AS per akhir Februari 2021 atau setara Rp6.164,46 triliun (kurs Rp14.587 per dolar AS). Posisi itu naik 4 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 2,7 persen (yoy). Angka ini menunjukkan utang luar negeri Indonesia semakin membengkak.
Menanggapi membengkaknya ULN ini, anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati mengatakan, sudah sering mengingatkan pemerintah soal utang ini.
“Kita sudah sering menyoroti dan juga mengingatkan pemerintah terkait utang yang makin membengkak," katanya.
Anis menjelaskan, kenyataan yang dihadapi sekarang adalah defisit APBN melebar, utang melambung, tapi Pemerintah gagal membelanjakan utang.
“Ini bisa terlihat dari adanya pelebaran defisit fiskal dari 2,2 persen (2019) menjadi 6,3 persen (2020) dan diperkirakan masih akan defisit sebesar 5,7 persen di tahun 2021,” katanya dalam pernyataan yang diterima VOI, Senin, 3 Mei.
Anis yang menjabat sebagai wakil ketua Badan AKuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini menjelaskan bahwa memang defisit langkah normal di saat resesi, akan tetapi tetap memerlukan kehati-hatian dalam melaksanakan kebijakan defisit ini. Dan sebagian besar defisit APBN dibiayai oleh utang. “Artinya semakin lebar defisit, maka utang juga semakin besar,” katanya.
Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini menambahkan bahwa untuk memaksimalkan pertumbuhan, tentu utang harus digunakan. Tetapi yang seringkali terjadi adalah Pemerintah justru gagal membelanjakan utang tersebut. Hal ini tercermin dari besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) selama 5 tahun terakhir yang mencapai Rp10-30 Triliun setiap tahunnya.
Lebih lanjut Anis menegaskan, pelebaran defisit ini disebabkan oleh tingginya anggaran Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN). Data terakhir menunjukkan bahwa realisasi anggaran PEN sempat tersendat diawal-awal, lalu digesa di akhir tahun. Realisasi anggaran program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sampai dengan akhir 2020 tercatat Rp579,78 triliun atau 83,4 persen dari pagu sejumlah Rp695,2 triliun.
“Hal ini tentu akan merugikan, karena utang yang sudah ditarik tetapi tidak maksimal dimanfaatkan untuk penyelamatan ekonomi nasional,” tutur Anis.
Baca juga:
- Banyak Negara Bikin Utang, Sri Mulyani Prediksi Pasar Keuangan Dunia Akan Bergejolak Pasca Pandemi
- Gambaran Postur APBN 2022: Defisit Anggaran Turun tapi Rasio Utang Meningkat
- Siapa Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi yang Disebut Jokowi Bernyali Besar dan Pernah Dipuji Jusuf Kalla
- Tesla Milik Elon Musk Raup Pendapatan Rp150 Triliun dalam 3 Bulan, 2 Kali Lipat Harta Konglomerat Chairul Tanjung yang Sudah Berbisnis 40 Tahun
Selama beberapa tahun terakhir primary balance Indonesia juga selalu tercatat negatif. Ketika primary balance negatif artinya Pemerintah sedang menjalankan kebijakan gali lubang tutup lubang. Pemerintah menerbitkan utang baru untuk membayar utang yang lama. “Hal ini tentu bukan pertanda baik untuk keberlangsungan fiskal Indonesia,” nilai Anis.
Anis mengingatkan catatan penting bagi pemerintah khususnya Menteri keuangan bahwa ketika masa pra-pandemi, debt to GDP ratio Indonesia terus meningkat, dari awalnya 24 persen (2014) menjadi 30,2 persen (2019). Peningkatnya debt to GDP ratio menunjukkan bahwa selama periode tersebut penambahan utang lebih tinggi dibandingkan penambahan PDB. Artinya, utang Pemerintah selama ini belum cukup produktif untuk mendorong PDB nasional. Pada tahun 2020, debt to GDP ratio diperkirakan mencapai 37 persen dan terus meningkat menjadi 41 persen pada tahun 2021.
“Ini merupakan sinyal kurang bagus, yang artinya Pemerintah akan kesulitan mengendalikan laju utang di masa yang akan datang,” pungkasnya.