100 Hari Presiden AS Joe Biden: Kebut Vaksinasi COVID-19 hingga Reformasi Polisi

JAKARTA - 30 April menjadi hari yang bermakna bagi Presiden Joe Biden. Hari di mana genap 100 hari sudah ia memerintah Amerika Serikat (AS), sejak dilantik pada 20 Januari lalu, pelantikan yang dihelat secara berbeda dari biasanya, lebih sederhana dan terbatas mengingat pandemi COVID-19.

Joe Biden dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat, usai memenangi Pemilu Presiden Amerika Serikat dengan raihan 306 suara elektoral, mengungguli pesaing sekaligus petahana Donad Trump yang hanya meraih 232 suara elektoral.

Jauh sebelum dilantik, politisi senior Partai Demokrat ini sudah menyiratkan akan melakukan sejumlah perubahan signifikan, dari kebijakan-kebijakan Donald Trump yang berasa dari Partai Republik.

Di hari pertama menjabat, Biden langsung menandatangani sedikitnya 15 perintah eksekutif terkait masalah ekonomi, penanganan pandemi, perubahan iklim, hingga mencabut pendanaan darurat pembangunan tembol di perbatasan Amerika Serikat - Meksiko serta mencabut larangan perjalanan terhadap sejumlah negara mayoritas Muslim.

Presiden Amerika Joe Biden Serikat. (Raga Granada/VOI)

Semua ini terkait dengan kebijakan yang disebut kontroversial saat Donald Trump menjabat sebagai presiden. Bahkan Biden membuat gugus tugas khusus untuk mempersatukan kembali orang tua dengan anaknya yang terpisah di perbatasan Meksiko. Termasuk juga mencabut larangan transgender bergabung dengan militer Amerika Serikat.

Sementara soal luar negeri, Biden membawa kembali Amerika Serikat ke jalur diplomasi komunikasi dengan di dunia internasional, termasuk bergabung kembali dengan WHO, merajut kembali Kesepakatan Nuklir 2015 bersama Iran, perjanjian perubahan iklim hingga pengucuran kembali bantuan untuk Palestina. Biden juga mengajukan Undang-Undang Kewarganegaraan yang memungkinkan 11 juta imigran ilegal memeroleh status kewarganegaraan Amerika Serikat.

Ekonomi hingga Reformasi Polisi

Sektor ekonomi dan penanganan pandemi COVID-19 menjadi dua sektor yang menjadi perhatian utama Joe Biden. Untuk penanganan pandemi, dari target 100 juta dosis vaksin yang diberikan pada 100 hari pertamanya menjabat. Joe Biden mampu mencapai angka 200 juta vaksin pada 21 April lalu. 

"Seluruh negara bagian harus memberikan vaksin COVID-19 kepada seluruh orang dewasa yang memenuhi syarat, paling lambat pada 1 Mei," sebut Joe Biden dalam pidatonya dari East Room Gedung Putih, Washington D.C Amerika Serikat.

Presiden Joe Biden. (Twitter/JoeBiden)

Sementara, untuk mempercepat penanganan COVID-19 sekaligus menstimulus ekonomi Amerika Serikat, Joe Biden dengan persetujuan Senat Amerika Serikat, menyetujui bantuan COVID-19 dan pemulihan ekonomi sebesaar 1,9 triliun dolar AS atau sekitar Rp 27.335 triliun pada 6 Maret lalu.

Di akhir Maret, tepatnya pada 31 Maret, Joe kembali menggelontorkan dana sebesar 2,9 triliun dolar Amerika Serikat untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi, sekaligus menyangi China. 

"Ini adalah investasi sekali dalam satu generasi di Amerika Serikat, tidak seperti apa pun yang telah kami lihat atau lakukan sejak kami membangun sistem jalan raya antarnegara bagian, serta perlombaan antariksa beberapa dekade lalu," terang Biden dalam pidatonya dari Pittsburgh.

Permasalahan pelik berikutnya yang 'menantang' Biden di 100 hari pertamanya adalah rasisme, kepemilikan senjata api, hingga reformasi kepolisian yang ketiganya memiliki keterkaitan.

Maraknya penembakan brutal di sejumlah lokasi, dengan beberapa di antaranya terkait dengan isu rasisme, membuat Biden mengeluarkan kutukan keras terhadap rasisme dan menyebut aksi penembakan sebagai pandemi. 

 Joe Biden saat pengambilan sumpah sebagai Presiden Amerika Serikat. (Wikimedia Commons/Petty Officer 1st Class Chad J. McNeeley/USN)

Dengan didampingi oleh Jaksa Agung Merrick Garland, Presiden Joe Biden mengumumkan langkah terbatas untuk membatasi peredaran senjata api di kalangan warga sipil. 

"Hari ini kami mengambil langkah untuk menghadapi tidak hanya krisis senjata, tetapi apa yang sebenarnya adalah krisis kesehatan masyarakat. Ini adalah epidemi, demi Tuhan, dan harus dihentikan," kata Presiden Joe Biden, seperti melansir Reuters 9 April lalu. 

Kebijakan yang dikritisi oleh National Rifle Association, yang mengadvokasi hak senjata. Untuk diketahui, Amandemen Kedua Konstitusi AS melindungi hak untuk memiliki senjata, dan upaya negara untuk membatasi siapa yang dapat membeli senjata atau bagaimana mereka dapat membawanya telah ditantang di pengadilan oleh kelompok lobi pro-senjata.

Dan, pada 28 April lalu, Joe Biden dalam pidato pertamanya di hadapan Kongres Amerika Serikat, mengajak untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Reformasi Kepolisian.

Kasus kematian pria kulit George Floyd akibat tekanan lutut polisi kulit putih di bagian leher, memicu serangkaian penentangan dan tuntutan terhadap reformasi kepolisian di Negeri Paman Sam. 

Terbaru, kasus penembakan Daunte Wright, pria kulit hitam berusia 20 tahun di Minnesota yang disebut sebagai insiden salah mengambil senjata kejut listrik menjadi senjata api, menuai kecaman dari Presiden Joe Biden pada 13 April lalu. 

Presiden Joe Biden. (Wikimedia Commons Gage/Skidmore)

Dalam sesi gabungan Kongres Amerika Serikat, Presiden Biden mengungkapkan, reformasi secara luas didukung oleh rakyat Amerika. Dan, Partai Republik terlibat dalam diskusi produktif mengenai ini dengan Partai Demokrat. 

"Kami perlu bekerja sama untuk menemukan konsensus. Mari kita selesaikan bulan depan, pada peringatan pertama kematian George Floyd (25 Mei)," tukas Biden.

Kendati demikian, Presiden Joe Biden tetap memuji Polisi Amerika Serikat, dengan mengatakan kebanyakan pria dan wanita berseragam dengan lencana, melayani masyarakat dengan hormat 

Namun, dia mengatakan Kongres perlu memulihkan kepercayaan pada penegakan hukum, mengakhiri rasisme dalam sistem peradilan pidana, dan memberi makna pada kata-kata putri George Floyd, yang menurut Biden mengatakan kepadanya, 'Ayah mengubah dunia'.