Bukan THR, tapi Payung Hukum untuk Pekerja Kemitraan Lebih Penting

JAKARTA – Keinginan para driver ojek online mendapat tunjangan hari raya (THR) mendapat angin segar setelah Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengatakan pemerintah resmi mengeluarkan kebijakan terkait tuntutan tersebut.

Mengenai THR ini tercantum dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04.00/III/2025 tentang Pemberian Bonus Hari Raya Keagamaan Tahun 2025 Bagi Pengemudi dan Kurir Pada Layanan Angkutan Berbasis Aplikasi.

“Saya menghimbau kepada seluruh perusahaan layanan angkutan berbasis aplikasi untuk memberikan bonus hari raya kepada pengemudi dan kurir online dalam bentuk uang tunai,” ujarnya dalam konferensi pers, di Jakarta, Selasa (11/3/2025).

Terkait kriteria pengemudi transportasi online atau ojek online (ojol) dan kurir yang berhak mendapatkan BHR dilihat dari tingkat produktivitas dan kinerja yang baik selama kurun waktu satu tahun terakhir.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyampaikan keterangan saat konfrensi pers terkait surat edaran tunjangan hari raya (THR) di kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Selasa (11/3/2025). (ANTARA/Sulthony Hasanuddin/nym/am)

Menaker Yassierli menuturkan, BHR keagamaan diberikan secara proporsional sesuai kinerja dalam bentuk uang tunai dengan perhitungan sebesar 20 persen dari rata-rata pendapatan bersih selama 12 bulan terakhir.

Namun menurut sejumlah pengamat ketenagakerjaan, ada masalah yang lebih mendesak yang perlu menjadi perhatian pemerintah dan itu bukan sekadar imbauan THR.

Unsur Ketenagakerjaan Tidak Terpenuhi

Seruan terkait THR untuk para pengemudi dan kurir online makin kencang dalam beberapa hari terakhir, setelah sebelumnya mereka sempat menggelar aksi demonstrasi di depan gedung Kementerian Ketenagakerjaan pada Februari lalu.

Persoalan THR untuk ojek online sebenarnya menjadi perhatian sejak dulu. Sejak ojek-ojek daring mengaspal di Indonesia sekitar 2015, tidak ada THR yang diberikan oleh para aplikator atau perusahaan layanan tranportasi online.

Alih-alih THR, para pengemudi ojol hanya mendapat bonus Hari Raya Idulfitri yang nominalnya tak seberapa. Dan, bonus itu juga hanya didapat jika si driver menarik penumpang di Hari Raya. Menurut Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS) ada beberapa hal yang menjadi akar masalah dari tuntutan driver online.

Huda menjelaskan, permasalahan transportasi online ini adalah tidak adanya regulasi yang menaungi driver. Menurutnya, regulasi saat ini terpencar ke beberapa kementerian, contohnya regulasi tentang tarif di Kementerian Perhubungan, regulasi tentang bentuk kemitraan ada di Kementerian UMKM.

“Sedangkan regulasi hubungan antara platform dengan driver masuk ke kemitraan. Tidak ada regulasi yang diatur oleh Kemenaker karena sifatnya yang berbentuk kemitraan,” ujar Huda.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti Aloysius Uwiyono mengatakan regulasi yang menjadi dasar dalam menentukan hubungan antara perusahaan dan individu termasuk dalam kategori hubungan kerja formal atau bukan tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (perubahan dari UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020).

Pengendara ojek daring menunggu penumpang di kawasan Kuningan, Jakarta, Selasa (11/3/2025). (ANTARA/Indrianto Eko Suwarso/agr)

Ia menjelaskan, hubungan kerja harus memenuhi tiga unsur utama, yaitu pekerjaan, perintah, dan upah. Hal ini tertulis dalam Pasal 1 ayat (15) UU Ketenagakerjaan.

“Dalam hal pekerjaan, mitra pengemudi memang melakukan pekerjaan berupa transportasi penumpang atau barang, tetapi ini dilakukan secara mandiri tanpa paksaan,” papar Aloysius dalam keterangan tertulis.

Mengenai unsur perintah, Aloysius menilai tidak ada perintah kerja dari perusahaan aplikasi. Yang ada justru perintah kerja yang diberikan oleh konsumen dengan melakukan pemesanan melalui aplikasi. Dalam hal ini, ungkap dia, mitra pengemudi memiliki kebebasan penuh dalam menentukan kapan dan bagaimana mereka bekerja.

Selain itu, Aloysius juga menjelaskan, driver online tidak mendapatkan upah tetap dari perusahaan aplikasi, melainkan mitra pengemudi membayarkan sejumlah uang kepada perusahaan aplikasi sebagai biaya sewa aplikasi dan mendapatkan bagi hasil dari tarif yang dibayarkan oleh konsumen berdasarkan perjanjian bagi hasil.

“Karena unsur-unsur ketenagakerjaan ini tidak terpenuhi, maka mitra pengemudi secara yuridis bukan merupakan pekerja yang berhak atas tunjangan dan perlindungan seperti THR yang dimiliki pekerja tetap sebagai hak sebagaimana diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan,” tegasnya.

Tak Ada Dasar Hukum Hubungan Ketenagakerjaan 

Menjelang Idulfitri 2024, pemerintah juga mengeluarkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2024 menyebut bahwa THR keagamaan bagi pekerja merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan pekerja/buruh dan keluarganya dalam menyambut hari raya keagamaan.

Sama seperti tahun ini, surat edaran itu juga hanya berupa imbauan. Pakar Perburuhan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Nabiyla Risfa Izzati menyebut pemerintah main aman dengan mengeluarkan surat edaran tentang THR keagamaan.

Surat edaran yang berupa imbauan itu kata Nabiyla, hanya jalan pintas pemerintah seakan-akan telah melakukan sesuatu padahal hal itu tidak mengikat.

Ia pun kembali menekankan bahwa permasalahan yang ada bukan soal THR, melainkan tentang aturan hubungan antara platform dan pengemudi ojek daring yang menurut Nabiyla masih belum jelas.

Hubungan kerja selama ini disebut sebagai ‘hubungan kemitraan’ yang mana di Indonesia tidak ada peratura pastinya. Makanya, ketika ada tuntutan ketenagakerjaan yang sifarnya normatif, seperti THR, maka akan sulit diberikan.

“Selama persoalan "hubungan ketenagakerjaan" ini tidak ada dasar hukumnya, maka persoalan THR bagi pengemudi ojek online akan terus berputar setiap tahunnya,” tegas Nabiyla.

Ia juga menyoroti hukum ketenagakerjaan di Indonesia yang tidak cukup responsif melihat fenomena di dunia ekonomi yang sebenarnya tidak terlalu baru, termasuk adanya jenis pekerjaan baru seperti ojek online.

"Ini kritik yang sudah banyak diberikan sudah banyak pakar. Peraturan ketenagakerjaan justru yang paling tidak responsif. Justru peraturan kementerian lain seperti Kemenhub yang merespons munculnya platform online,” bebernya.

Menurut Nabiyla hal ini terjadi karena sepertinya belum cukup menguntungkan secara politis bagi pemerintah untuk mengatur hak-hak pengemudi ojek online.