Saksi Suap Ungkap Kekesalan Edhy Prabowo, Tidak Puas Izin Ekspor Benur 139 Juta Ekor, Minta Ditambah
JAKARTA - Mantan Dirjen Perikanan Tangkap pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), M Zulficar menyebut, Edhy Prabowo tidak merasa puas dengan penetapan kuota awal sebanyak 139 juta ekor benuh lobster untuk dikelola.
Pernyataan ini disampaikan Zulficar saat menjadi saksi dalam persidangan dugaan suap eskpor benur dengan terdakwa eks Menteri KKP Edhy Prabowo, Andreau Misanta Pribadi dan Safri.
Mulanya, jaksa penuntut umum (JPU) melontarkan pertanyaan soal jumlah kuota yang disediakan bagi para perusahaan. Lantas Zulficar memaparkan jatah yang diberikan ke setiap perusahaan.
"Berdasarkan surat dari Kepala badan riset dan sumber daya manusia tanggal 8 April itu diarahkan kepada menteri itu menggambarkan bahwa yang bisa dikelola 139 juta," ucap Zulficar dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 21 April.
Penentuan kuota ini berasal dari rekomendasi Komnas Kajiskan (Komite nasional pengkajian sumber daya ikan) dan Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM).
Baca juga:
- Didakwa Terima Duit Suap Rp25,7 Miliar, Edhy Prabowo: Dari Awal Saya Tidak Bersalah
- Edhy Prabowo Tunjuk Teman Dekat Jadi Pimpinan PT ACK, Raup Untung Miliaran
- Dakwaan, Edhy Prabowo Gelontorkan Rp70 Juta, Sewa Apartemen Mewah Buat Anggia Tesalonika
- Edhy Prabowo Terima Dakwaan KPK, Hakim: Terimakasih Tidak Ada Nota Keberatan
Hanya saja usai kouta itu ditetapkan, Edhy Prabowo seolah tidak puas. Bahkan banyak pihak yang tidak puas termasuk di dalamnya penasihat dan Staff khusus Edhy.
"Setahu saya banyak pihak yang tidak puas jadi pak menteri sebagian penasihat kemudian sebagian tim yang dibentuk, jadi pak menteri itu ada tim penasihat ada juga tim pemangku kepentingan ada staf ahli ada staf khusus itu sebagian tidak merasa puas dengan angka ini karena mereka sering merujuk ke nilai miliaran-miliaran yang seharusnya ada tersebut," papar Zulficar.
Ketidakpuasan dari Edhy Prabowo nampak pada saat rapat koordinasi di Widya Chandra pada tanggal 12 Mei. Sebab, Edhy dikatakan tak menerima dengan keputusan dan penetapan kuota hanya untuk 139 juta ekor benur.
"Disitu pak menteri menggambarkan ini tidak seperti ini, ini kok seperti ini sepertinya tidak serius kita dan menggambarkan ini jumlahnya miliaran kok prosesnya seperti ini," kata Zulficar.
"Jadi saya menangkap ada ketidakpuasan dan beberapa penasihat menggambarkan hal yang sama artinya sebenarnya mereka berharap benih lobster ini bisa memberikan manfaat ekonomi yang signifikan tapi kalau hanya 100 juta, 139 juta tidak seperti yang diharapkan karena kondisinya katanya sangat banyak," sambung dia.
Tak berselang lama, jumlah kuota benur langsng berubah. Terjadi penambahan menjadi 418 juta ekor.
"Saya belakangan baru dapat informasi dari media bahwa bulan September itu ada perubahan kuota baru dimana jumlah yang dibolehkan itu menjadi 418 juta ini keputusan menteri yang ditandatangani oleh pak sekjen kalau tidka salah, menggambarkan sekarang 418 juta tapi saya tidak ikut lagi diprosesnya hanya tau disitu," tandas dia.
Edhy Prabowo didakwa menerima suap mencapai Rp25,7 milar. Suap ini berkaitan dengan izin ekspor benih lobster atau benur.
Suap itu diterima oleh Edhy Prabowo dari para eksportir benur melalui Amiril Mukminin, Safri, Ainul Faqih, Andreau Misanta Pribadi, dan Siswadhi Pranoto Loe.
Dalam dakwan, Edhy menerima suap sebesar 77 ribu dolar Amerika Serikat (AS) atau jika dirupiahkan saat ini mencapai Rp1.126.921.950. Penerimaan suap itu melalui stafnya yakni Safri dan Amiril Mukminin dari pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPP), Suharjito.
Kemudian, Edhy juga menerima uang sebesar Rp24.625.587.250. Duit ini diberikan oleh Suharjito dan para eksportir lainnya melaui para stafnya.
Dengan penerimaan uang suap tersebut, Edhy didakwa melanggar Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.