Memahami Keberatan KPK Bekerja di Bawah Dewan Pengawas
JAKARTA - Polemik soal Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih bergulir. Berbagai pandangan muncul soal dewan yang lahir dari UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK. Sebagian mendukung walau banyak juga yang menolak.
Internal KPK sendiri jadi kelompok yang menolak. Sebab, dewan yang nantinya dipilih oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu dianggap membuat upaya penindakan menjadi tidak efektif dan efisien.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang bahkan menyampaikan hal ini di depan anggota Komisi III DPR RI saat Rapat Dengar Pendapat (RDP). Komisi ini jugalah yang menyetujui UU KPK baru yang berlaku sejak 17 Oktober lalu.
"UU baru ini yang membuat kita tidak efisien saja sebenarnya. Tapi, penindakan korupsi saya yakin tak akan pernah berhenti. Hanya inefisien saja," kata Saut dalam rapat yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu, 27 November.
Dewan Pengawas dinilai Saut membuat alur pengambilan keputusan di lembaga antirasuah itu makin bertele-tele. Terkait pemberian izin penyadapan, misalnya. Dengan berlakunya aturan baru, pimpinan KPK kini harus meminta persetujuan terlebih dulu kepada dewan.
"Anda bayangkan, selama ini biasanya kami tanda tangan, langsung ke penyidik, hari ini harus Dewas," ungkapnya.
Selain Saut, dalam sebuah wawancara khusus bersama VOI, Juru Bicara KPK Febri Diansyah juga mengatakan dengan adanya dewan pengawas maka prosedur penggeledahan, penyadapan, dan penyitaan akan lebih berlapis lagi.
Apalagi ada lima dewan pengawas yang akan memberikan persetujuan nantinya dan hal ini dianggap memperlambat kinerja KPK.
"Bagaimana saat kami mengetahui peristiwa itu (tindak korupsi) dan harus melakukan, misalnya penyadapan tapi prosedurnya (pengajuan izin) berhari-hari dan transaksinya ternyata sudah selesai," kata Febri saat kami temui di Perpustakaan Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, 20 November.
"Apa itu yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang? Kan itu jadi pertanyaan serius juga," imbuhnya.
Eks aktivis antikorupsi itu menilai, penyitaan, penggeledahan, dan penyadapan adalah hal yang krusial dalam kerja pengusutan kasus korupsi. Eksekusinya pun membutuhkan waktu cepat. Persoalan itu lah yang memberatkan bagi internal KPK. Persoalan yang wajib segera dicari solusinya.
Tak hanya soal prosedur berlapis dan panjang. Febri juga menyebut adanya dewan ini akan membuat pimpinan KPK tidak akan bisa melakukan tugasnya lagi sebagai penegak hukum yang punya kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan sebagai penuntut umum.
"Jadi, pertanyaannya, apa mungkin pimpinan lembaga penegak hukum bukan penegak hukum? Logika ini, logika yang sulit diterima. Dan di tataran implementasi pasti menyulitkan untuk operasi yang dilakukan," kata dia.
Risiko berlapisnya Dewan Pengawas ini juga dikhawatirkan mengganggu upaya penyadapan untuk mencari bukti tindak korupsi. Padahal, KPK menyebut hasil penyadapan mereka terhadap pelaku tindak korupsi tak bisa dibantah dan jadi bukti telak.
"Penyadapan di KPK, selalu jadi perhatian. Kami duga, hal ini terjadi karena hadirkan di persidangan membuat bantahan atau ngelesnya para terdakwa selalu gugur dan terbantahkan," ungkap Febri.
Jubir KPK ini menilai, tanpa dewan pengawas, penyadapan juga tak bisa dilakukan secara sembarangan seperti tudingan para politikus. Ada prosedur panjang yang harus dilakukan KPK dan kerjasama dengan pihak operator penyedia jasa telekomunikasi.
"Ada aspek teknis yang harus dipenuhi. Mau menyadap orang itu tidak bisa seenaknya. Misal, kalau dulu kan ada telepon pararel kalau ingin mendengar, mau dengar tinggal angkat telepon satunya. Enggak seperti itu," kata dia.
Prosedur panjang yang kata Febri bukan untuk konsumsi publik ini juga, nantinya akan diaudit oleh Kemenkominfo setelah selesai penyadapan berlangsung. "Auditnya pascapenyadapan dan yang dilihat prosedur bukan substansi. Karena substansi adalah domain penegak hukum," tegasnya.
Bantahan DPR
Dewan Pengawas yang dianggap membuat kinerja KPK jadi tak maksimal dan efisien kemudian dibantah oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni. Politikus NasDem ini menyebut, keberadaan pengawas KPK justru diperlukan oleh lembaga antirasuah tersebut.
"Justru keberadaan Dewan Pengawas ini akan sangat bermanfaat untuk harmonisasi kinerja internal KPK, agar prosedur hukum yang dilakukan sesuai dengan aturan dan tidak saling bertabrakan," ujar Sahroni saat menjawab pernyataan Saut di dalam RDP Komisi III DPR RI dan KPK.
Dia juga mengklaim, dewan pengawas ini tak akan memberangus independensi KPK. Sebab, dewan pengawas nantinya akan berada di dalam internal lembaga antikorupsi itu.
"Dewan pengawas ini bukan lembaga eksternal KPK, tapi mereka ada di dalam tubuh KPK. Mereka lembaga internal KPK, jadi keberadaannya justru penting untuk memastikan KPK bekerja sesuai tugasnya," tegas Sahroni.
Terkait dewan pengawas yang akan dilantik bersamaan dengan lima pimpinan KPK baru, Menteri Sekretaris Negara Praktikno tengah diminta Presiden Jokowi, untuk memimpin tim internal. Tugas tim ini adalah menyeleksi mereka yang dianggap bisa menduduki jabatan tersebut.
"Sementara ini di bawah Pak Pratikno. Semua prosesnya di bawah Pak Pratikno," kata Juru Bicara Istana Kepresidenan Fadjroel Rachman di Jakarta, Kamis, 7 November.
Tahapan mencari calon dewan pengawas ini akan dilakukan dengan mengundang sejumlah tokoh masyarakat yang kompeten di bidangnya untuk dimintai pendapat. "Ada orang yang dimintai nasihat, ada orang yang menyampaikan melalui Setneg atau secara langsung ke Presiden," jelasnya.
Adapun kriteria yang dibutuhkan untuk posisi dewan pengawas adalah berusia 55 tahun dan berpendidikan minimal S1 sesuai dengan UU KPK baru. Tak hanya itu, hampir mirip dengan pemilihan pimpinan KPK, dewan pengawas juga diharuskan punya kualifikasi di bidang pendidikan, hukum, dan perbankan.
Fadjroel juga menegaskan, masyarakat tak perlu khawatir karena nantinya dewan pengawas lembaga antirasuah itu akan dipilih secara selektif, kredibel, dan kompeten.