Pimpinan DPR Desak BNPT Lacak 5 Jaringan Teroris yang Bermain di Fintech

JAKARTA - Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mendesak Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan PPATK segera melacak 5 jaringan teroris aktif yang diduga melakukan transaksi gelap pada ruang fintech, crowdfunding, hingga non-profit organization (NPO).

"Kami minta BNPT untuk terus meningkatkan koordinasi dengan lembaga terkait, khususnya PPATK guna melacak sinyalemen yang ada," ujar Azis, Jumat, 16 April.

Kecurigaan ini, menurut Azis, sejalan dengan penggalangan dana melalui kampanye di media sosial dengan modus bantuan kemanusiaan untuk bencana alam, korban konflik Palestina dan Suriah. Serta bantuan bagi warga yang terpapar COVID-19 hingga panti asuhan sebagai tameng.

"Kecenderungan ini, dibarengi dengan perubahan rekrutmen, pengumpulan donasi, lokasi berkumpul dan metode kerja," ungkap mantan ketua Komisi III DPR itu.

Wakil ketua umum Partai Golkar itu juga mencurigai, masih ada operasi dengan memanfaatkan beberapa momentum. Biasanya, kata dia, cara ini dimainkan oleh 5 kelompok teroris dengan menyebar propaganda radikal secara terselubung guna perekrutan melalui dunia maya.

"Kecenderungan operasi gelap ini yang dilakukan di kawasan kota," jelas Azis.

Lima jaringan teroris yang dimaksud, yakni, jaringan Negara Islam Indonesia (NII) dan Jamaah Islamiyah (JI). Sebuah jaringan yang sempat tumbuh subur di di Malaysia pada 1993.

Kemudian, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Azis meyakini, kelompok ini masih aktif. Bahkan, MMI disebut-sebut terafiliasi dengan Al-Qaeda di Suriah dan Front Al-Nusrah.

"Dari literasi yang ada, MMI merupakan organisasi pengembangan dari Darul Islam dan kemudian berubah nama lagi menjadi Jamaah Ansharut Tauhid (JAT)," bebernya.

Selain itu, sambung Azis, ada Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Secara historis, JAT masih merupakan kelompok teroris Indonesia yang besar di Indonesia.

"Dalam perkembangannya, JAT telah melahirkan banyak kelompok teroris lainnya seperti Jamaah Ansharut Syariah (JAS) Jamaah Ansharut Daulah (JAD)," terang Azis.

Terakhir, yakni Jamaah Ansharut Khilafah (JAK). JAK sendiri telah ada di Indonesia sejak 2016 dan mendapuk diri dengan nama JAK Nusantara. Kelompok teroris Indonesia ini dipimpin oleh Bahrunnaim yang merupakan Khatibah Nusantara ISIS Indonesia.

"Gerakannya mulai redup. Namun ada beberapa tokoh yang menyebar di kawasan barat dan timur Indonesia. Mereka menamakan dirinya JAK Masyriq dan JAK Maghrib. Kelompok ini, sangat erat dengan JAD," tandas Azis Syamsuddin.

Azis menambahkan, ada salah satu metode yang kecenderungannya menyasar captive audience. Yaitu, sebuah pola yang tergetnya menyasar kelompok yang kerap menghabiskan waktu di ruang maya.

"Ini menjadi kewaspadaan kita bersama. Bahkan dari perkembangan yang ada sejumlah Analisis Terorisme Internasional telah membedah pola rekrutmen baru ini," jelas Azis.

Azis menilai, metode rekrutmen ini disesuaikan pada level ancaman terorisme. Sebab, Indonesia tidak sama dengan negara konflik. 

"Aksi terorisme khususnya selama situasi Pandemi COVID-19 masih akan terus berjalan. Karena adanya aliran pendanaan itu sendiri," katanya.

Karenanya, Azis meminta masyarakat khususnya di lingkungan keluarga untuk tetap waspada pada pola sasaran captive audience yang dimaksud. Jaringan tersebut, kata dia, akan tetap menekankan penyebaran narasi-narasi yang mampu mempengaruhi seseorang.

"Dilanjutkan dengan ajakan, bergabung dalam group WhatsApp hingga diajarkan merakit bom hingga doktrin menjadi pengantin, sebuah istilah lama yang mereka adopsi," kata Azis Syamsuddin.