JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendorong Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) agar terbuka soal pesantren-pesantren yang diduga terafiliasi dengan kelompok teroris. Ini demi menghindari kecurigaan dan ketidaktentraman di masyarakat.
"Supaya jelas masalahnya BNPT sebaiknya sebut saja nama-nama dari pesantren yang katanya terafiliasi dengan terorisme tersebut," ujar Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas saat dihubungi dari Jakarta, Antara, Kamis, 27 Januari.
Buya Anwar mengatakan, pesantren-pesantren yang dicurigai itu harus diberi ruang untuk menjelaskan perihal tuduhan dari BNPT dan di saat yang bersamaan dilakukan pengujian apakah terlibat jaringan teroris atau tidak.
Sebab, kata dia, jika dibiarkan hanya menjadi sekedar isu bahwa ada ratusan pesantren terafiliasi terorisme, akan menimbulkan kegaduhan di masyarakat dan santri tidak bisa tenang dalam menuntut ilmu.
"Kalau seandainya BNPT menyatakan sebuah pesantren itu salah, mari kita uji kesimpulan BNPT tersebut secara bersama-sama untuk mengetahui betulkah pesantren tersebut telah berbuat salah atau tidak dan itu kita lakukan saja secara terbuka," kata dia.
Menurutnya, lewat pengujian akan membuat dugaan-dugaan menjadi terang-benderang apakah memang terafiliasi atau tidak. Dengan begitu, masyarakat tidak akan khawatir menyekolahkan anaknya di pesantren.
BACA JUGA:
"Bila hal ini sudah bermunculan di tengah masyarakat tentu hal ini akan menimbulkan dampak yang buruk bagi dunia pendidikan pesantren. Sehingga hal ini akan bisa membuat orang tua takut memasukkan dan menyekolahkan anaknya ke pesantren dan hal ini tentu jelas tidak kita inginkan dan harapkan," kata dia.
Sebelumnya, Kepala BNPT Boy Rafli Amar mengatakan pihaknya menemukan pondok pesantren yang diduga terafiliasi dengan jaringan teroris. Pernyataan Boy disampaikan saat rapat kerja bersama Komisi III DPR beberapa waktu lalu.
Menurutnya, ada 11 pondok pesantren yang terafiliasi Jamaah Anshorir Khalifah, 68 terafiliasi Jamaah Islamiyah, dan 119 terafiliasi Anshorut Daulah atau simpatisan ISIS.