JAKARTA - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar memaparkan perkembangan jaringan teror nasional di Indonesia. Masih banyak pondok pesantren yang terafiliasi kelompok terorisme jaringan global.
"Kelompok radikal masih terpantau, sebagai perpanjangan tangan dari teroris global," kata Boy dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 25 Januari dilansir Antara.
Boy menjelaskan jaringan itu di antaranya Jamaah Islamiyah (JI) yang terafiliasi dengan jaringan Al-Qaeda. Kemudian Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharul Khilafah (JAK) terkait dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
"Termasuk kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang berpusat di Poso, yang saat ini tersisa tiga orang yang dikejar para petugas," ungkap Boy.
BNPT juga menghimpun beberapa pondok pesantren yang diduga terafiliasi kelompok terorisme, di antaranya 11 Ponpes berafiliasi JAK, 68 Ponpes terafiliasi JI dan 119 Ponpes terafiliasi JAD dan simpatisan ISIS.
Boy mengungkapkan total tahanan terorisme dan narapidana terorisme sepanjang 2005-2021 sebanyak 1.031 orang dengan rincian 575 orang berada di rumah tahanan dan 456 orang di lembaga pemasyarakat.
BACA JUGA:
Sebanyak lima wilayah dengan jumlah tahanan terorisme yang terbesar adalah Jawa Barat sebanyak 471 orang, Jawa tengah sebanyak 205 orang, DKI Jakarta 163 orang, Lampung sebanyak 37 orang dan Jawa Timur sebanyak 36 orang.
Boy mengatakan terdapat lima tugas pokok BNPT berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 yakni merumuskan, mengkoordinasikan dan melaksanakan kebijakan, strategi dan program nasional di bidang kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi dan deradikalisasi.
Mengoordinasikan antar penegak hukum dalam penanggulangan terorisme. Mengoordinasikan pemulihan korban. Merumuskan, mengoordinasikan dan melaksanakan kebijakan, strategi dan program nasional penanggulangan terorisme di bidang kerjasama internasional.
BNPT juga menjadi pusat analisis dan pengendalian krisis yang berfungsi sebagai fasilitas bagi presiden untuk menetapkan kebijakan dan langkah penanganan krisis, termasuk pengerahan sumber daya dalam menangani terorisme.