Menunggu Negara Menagih 48 Obligor BLBI
JAKARTA - Melalui Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau Satgas BLBI, pemerintah bakal segera menagih obligor atau debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun 1998 lalu. Pemerintah akan berupaya maksimal untuk memburu aset para obligor tersebut, termasuk yang ada di luar negeri dengan mengajak interpol untuk membantu.
Usai melaksanakan rapat dengan Satgas BLBI, Menko Polhukam Mahfud MD menggelar jumpa pers di Kantor Kemenkopolhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Dia mengatakan pemerintah segera menagih obligor atau debitur BLBI. Obligor itu mendapat kucuran bantuan pada 1998 sebagai stimulus perekonomian.
"Pemerintah itu membuat kucuran dana untuk BLBI, untuk 48 obligor. Jadi pada waktu itu. Kan sudah ada yang ditagih, sudah ada yang lunas, dan sebagainya, nanti kita beritahu kepada masyarakat. Siapa-siapa yang lunas," kata Mahfud seperti dikutip dari YouTube Kemenkopolhukam RI, Kamis, 15 April.
Sementara untuk obligor BLBI yang juga pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim punya dua macam utang yang ditanggung. Mahfud memastikan, Sjamsul yang kini berada di Singapura akan ditagih karena nominal yang dipinjamnya cukup banyak.
"Sjamsul Nursalim itu utangnya dua macam, satu bank Dewaruci kemudian ada BDNI. Nah itu akan ditagih, Jadi masuk Bank Dewaruci dan BDNI punya Sjamsul Nursalim. Akan ditagih," ungkap eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.
Mahfud merinci total penagihan yang harus dilakukan dan telah berhasil dihitung pemerintah berkaitan dengan dana BLBI ini telah melebihi Rp110 triliun rupiah. Atau jika dirinci sebanyak Rp110.454.809.645.467.
Baca juga:
Mahfud menyampaikan awalnya hitungan utang obligor BLBI kepada negara memiliki tiga versi, yakni Rp108 triliun, Rp109 triliun, dan Rp110 triliun. Menurut dia, hitungan teranyar diperkuat penjelasan Menteri Keungan (Menkeu) Sri Mulyani terkait rincian aset dari para obligor BLBI yang bisa segera ditagih.
"Tadi Menteri Keuangan (Sri Mulyani) sudah menayangkan nih uang yang akan ditagih untuk aset kredit sekian, berbentuk saham sekian, berbentuk properti sekian, berbentuk rupiah dan bentuk tabungan sekian, dalam bentuk tabungan uang asing sekian, dan sebagainya," ujarnya.
Bakal ajak interpol dan lakukan penyanderaan aset
Lewat satgas yang dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021, pemerintah juga akan berupaya secara maksimal memburu aset milik obligor atau debitur. Termasuk, sejumlah aset yang berada di luar negeri.
"Kita antar negara bisa pakai ekstradisi atau pidana, interpol, tadi Menkuham (Yasonna Laoly) sudah menyatakan pakai cara itu," tegas Mahfud.
Tak hanya itu, pemerintah bakal melakukan gijzeling atau penyanderaan badan dalam ranah perdata. "Kita membertimbangkan langkah gijzeling untuk membayar (utang obligator, red)," jelasnya.
Mahfud menambahkan terdapat beberapa macam bentuk tagihan obligor BLBI. Terbanyak berbentuk kredit mencapai Rp101 triliun.
"Bentuk tagihan lainnya yakni properti yang mencapai Rp8 triliun, kemudian ada yang bentuknya rekening uang asing sehingga hitunganya bisa berubah, ada yang berbentuk saham, jadi macam-macam ada enam kategori," kata Mahfud.
Kenapa baru sekarang?
Berbagai langkah memang telah diambil oleh pemerintah untuk menuntaskan perkara perdata ini. Namun, banyak pihak yang menganggap hal ini terlambat dilakukan.
Mahfud pun menjelaskan, alasan mengapa baru sekarang pemerintah mengejar aset para obligor atau debitur BLBI. Ada dua alasan yang dikemukannya dan salah satunya adalah karena pemerintah saat ini baru berjalan.
"Sekarang ada yang tanya, kenapa baru bertidak pemerintah? Jawabannya gampang, karena kami baru jadi pemerintah," kata Mahfud dalam konferensi pers usai rapat Satgas BLBI yang ditayangkan di akun YouTube Kemenkopolhukam RI, Kamis, 15 April.
Dia lantas memaparkan, kasus ini memang terjadi dan selalu mendapatkan penanganan dari pemerintahan sebelumnya dan bahkan, melibatkan tiga presiden terdahulu. "Satu Pak Harto (Presiden ke-2 RI Soeharto) itu yang membuat dan membentuk BPPN," ungkapnya.
"Kemudian Pak Habibie (Presiden ke-3 RI BJ Habibie) yang menerapkan BLBI pada 1998, dan Mbak Mega (Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri) yang mengeluarkan SKL pada tahun 2004. Semuanya benar, enggak ada pidananya," imbuh eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
Alasannya kedua, kata Mahfud, penagihan ini baru dilakukan karena sebelumnya masih ada kasus pidana yang berjalan. Adapun maksud kasus pidana itu adalah dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan akhirnya dihentikan dengan terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
"Kalau (pemerintah, red) bertindak, kemudian ada pidananya kan salah. Nah, sekarang sudah enggak ada kasus pidana," ujar Mahfud.
"Jadi berdasarkan bulan April 2021 (diterbitkannya SP3 kasus BLBI, red) ya sudah, enggak ada lagi perkaranya. Nah, karena SP3 pemerintah lalu membentuk satgas tagih kalau begitu dan tagihannya besar," pungkasnya.