Anggaran Negara Defisit Kalangan Menengah Terjepit

JAKARTA - Pemerintah Prabowo Subianto akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini merupakan bagian dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dimana mengatur penyesuaian tarif PPN secara bertahap: dari semula 10% menjadi 11% pada 1 April 2022, dan selanjutnya menjadi 12% pada 1 Januari 2025.

Kenaikan pajak ini dipicu pendapatan negara yang merosot drastis di tengah kondisi ekonomi dunia yang terus melemah. Pemerintah saat ini juga menyatakan defisit anggaran. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 mengalami defisit sebesar Rp 401,8 Triliun pada November 2024, angka defisit ini makin melebar dibandingkan bulan Oktober 2024 yang tercatat Rp 309,2 triliun.

Sementara pemerintah Prabowo, harus memenuhi janji kampanye, seperti program Makan Bergizi Gratis, Program Swasembada Pangan, dan Ketahanan Energi yang memerlukan anggaran yang besar. Sementara pemerintah Indonesia tengah menghadapi situasi perlambatan ekonomi dunia.

Kenaikan tarif PPN ini adalah upaya meningkatkan penerimaan negara, yang akan digunakan untuk membiayai program-program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dengan tambahan pemasukan ini, pemerintah berharap dapat memperkuat anggaran untuk berbagai sektor penting, seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program sosial lainnya.

Menurut Pengamat Perpajakan dari Universitas Pelita Harapan, Ronny Bako kenaikan PPH menjadi 12% yang diberlakukan secara terbatas untuk kalangan tertentu. Ia sendiri mengaku setuju dengan pemberlakuan itu, karena sudah menjadi UU. Sehingga harus dijalani. Untuk pemberlakuan pada 1 Januari 2025, menurut Bako, pemerintah harus lebih dulu menyiapkan berbagai aturan turutan seperti PP (Peraturan Pemerintahnya), Kepmen (Keputusan Menteri Keuangan) dan keputusan Dirjen Pajaknya jika aturan turunan itu belum siap berarti belum bisa dijalankan.

Karena ini sudah jadi undang-undang mau tidak mau harus dilaksanakan. Juga jika ada seruan dan gerakan diluar, seperti Gerakan Tolak PPN 12%. Menurut Bako mereka akan menghadapi sanksi hukum."Mereka bisa dikenakan UU Perpajakan, jika menghasut lewat medsos bisa kena ITE, dan hukum pidana" ujar Bako, kepada Voi, dihubungi 22 Desember.

Besaran tambahan pemasukan akan sangat dipengaruhi oleh tingkat konsumsi masyarakat dan aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Namun, mempertimbangkan bahwa PPN dikenakan pada hampir semua transaksi barang dan jasa, juga akan berdampak pada masyarakat. Selain persoalan penurunan konsumsi barang mewah. Pemerintah harus bersiap menghadapi kerepotan penerapan multi tarif. Karena akan ada tarif yang berbada untuk jenis barang yang sama.

Kenaikan tarif PPN menjadi 12%, konsumen perlu membayar pajak sebesar Rp12.000 untuk setiap pembelian barang atau jasa senilai Rp100.000, dibandingkan dengan Rp11.000 pada tarif sebelumnya. Meskipun perbedaannya tampak kecil pada transaksi individu, secara agregat, peningkatan tarif ini diperkirakan akan memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara. Peningkatan ini dapat menghasilkan tambahan penerimaan yang substansial bagi negara.

Pemerintah telah menjamin bahwa kenaikan tarif PPN 12% ini tidak akan menyasar kalangan bawah, sehingga tidak berdampak signifikan terhadap daya beli masyarakat. Selain, beberapa barang dan jasa tertentu, seperti kebutuhan pokok dan layanan kesehatan, akan tetap dibebaskan dari PPN untuk melindungi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.

Namun, dengan mempertimbangkan bahwa PPN dikenakan pada hampir semua transaksi barang dan jasa, peningkatan tarif ini diperkirakan akan tetap berdampak pada daya beli masyarakat. Sebab perlu diingat sebagian barang dan jasa yang tidak dikenai PPN ini masih tetap akan menjadi objek pajak daerah, dan retribusi daerah. Sehingga kenaikan PPN itu juga akan berdampak masyarakat juga pada bawah.

Imbas terutama dirasakan kalangan menengah yang harus segera menurunkan tingkat kesejahteraan mereka untuk bisa bertahan dan berhemat. Kebijakan ini akan membebani kelas menengah, menekan konsumsi domestik, dan bisa menimbulkan risiko inflasi. Menurut laporan Bank Dunia dan Riset McKinsey, kelas menengah, selama ini menjadi motor penggerak Utama ekonomi, karena menyumbang 55-60 persen PDB (produk domestik bruto). Namun pemerintah tetap berharap pengenaan PPN memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara.

Meskipun demikian, hingga saat ini belum ada data dan hitungan resmi yang mengungkapkan estimasi tambahan penerimaan negara dari kenaikan tarif PPN ini.

Menurut Fajry Akbar, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), kenaikan menjadi 12% terhadap barang-barang mewah yang menjadi objek PPnBM secara terbatas, pemerintah hanya akan mendapat penambahan pemasukan sebesar Rp1,7 triliun.

Dibanding kenaikan PPN diterapkan secara merata, tak hanya menyasar barang mewah, pemerintah bisa meraup penerimaan tambahan sekitar Rp70 triliun hingga Rp80 triliun. Tetapi pemerintah melakukan penerapan kenaikan PPN terbatas. Hingga perolehannya juga masih belum signifikan.

Menurut Fajry ini tidak efektif dari sisi budgetair, karena itu ia menyarankan lebih baik dibatalkan saja kenaikan itu. Selain itu dari sisi administrasi juga akan merepotkan para pelaku usaha, karena kan ada dua tarif.

Beberapa kategori barang mewah yang dikenakan PPN barang mewah antara lain

Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya;Kelompok pesawat udara, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga; Kelompok balon Udara; Kelompok senjata api dan pelurunya, kecuali untuk keperluan negara; Kelompok kapal pesiar mewah, termasuk kapal pesiar, kapal feri, dan yacht, kecuali untuk kepentingan negara, angkutan umum, atau usaha pariwisata. Tapi konsumsi jenis kebutuhan barang yang dikategori barang mewah dikenai PPH, seperti makanan premium, seperti daging wagyu, listrik kelas 3000 -4000 watt juga terkena PPH.

Karena terbatasnya pengenaan PPN kali ini, banyak pihak menyangsikan keefektifan program ini. Karena diberlakukan sebagian dengan alasan melindungi kalangan tidak mampu. Kendati demikian Ronny Bako melihat kenaikan PPN 12% tetap akan berimbas pada daya beli masyarakat.

Sebagai misal pengenaan tarif listrik yang akan dikenakan kepada kalangan mampu listrik golongan 3000 watt dan 4000 watt, listrik ini biasananya menyasar kalangan usaha UMKM. Usaha dengan listrik yang dinaikkan pajak biasanya akan berpengaruh pada daya beli produk UMKM, yang juga berimbas pada daya beli masyarakat. Padahal UMKM sekarang menjadi penopang ekonomi Indonesia, selain dampak pemberlakuan tarif yang tinggi di kelas atas memicu turunnya kelas pengusaha yang ramai-ramai turun ke kelas UMKM.

Dengan proyeksi tambahan pendapatan sekitar Rp 80 triliun, langkah ini diharapkan mampu memberikan ruang fiskal lebih luas bagi pemerintah untuk mendukung pembangunan dan program-program kesejahteraan rakyat. Namun, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada kondisi ekonomi dan kepatuhan pajak masyarakat.

Anomali Kebijakan

Namun ditengah kesulitan anggaran saat ini pemerintah harus memajaki kalangan elit. Namun disisi lain pemerintah dinilai ANOMALI, alih alih berhemat justru pembentukan organisasi pemerintah baru dengan organisasi yang gemuk, sampai, 48 kementerian belum lagi pembentukan wakil menteri dan badan baru. Hal itu menimbulkan kritik salah dari konterpatnya, partai PDIP. Dimana dinilai sebagai pemborosan negara.

Padahal pemerintah memerlukan ketersediaan anggaran untuk berbagai program strategis, seperti Makan Siang Gratis, Swasembada Pangan,dan Ketahanan Energi, anggaran untuk infrastruktur IKN dan biaya untuk pemekaran wilayah, yang ingin direalisasikan di pemerintahan Prabowo.

Ketua DPP Partai PDIP, Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok menyatakan menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 menjadi 12 persen. Menurutnya pemerintah salah mengambil langkah. "Harusnya ketika 'butuh uang' adalah melakukan penghematan, bukan malah mencekik rakyat dengan menetapkan PPN 12 Persen" ujarnya saat acara Podcast A3.

Menurut Ronny Bako sebenarnya ada alternatif untuk menambal anggaran, selain menaikan pajak PPN 12%. Menurutnya bisa melalui sumber daya alam yang kita miliki, misalnya migas, batubara, dan minyak sawit. "Saya rasa dari sana bisa untuk menutup bolong anggaran" katanya.

Tetapi syarat harus perbaiki dulu pengelolaannya. Sebelum fokus mengurus soal korupsi minimal diperbaiki dulu keberadaan calo-calo yang ada diproses rantai pasok. Minimal Menteri di Bidang itu, seperti Bahlil Lahadalia dan Menteri Perekonomian memiliki semangat yang sama seperti Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang menyikat habis pemain disekitar kementeriannya. Menurut Rony, ia yakin dari sektor itu bisa menambal defisit anggaran.