Bantulah Keuangan Negeri Hukum Ini dengan Tidak Seperti Valentino Simanjuntak S.H., M.H.
JAKARTA - "Info Penting Sebelum Sahur," tulis Valentino Simanjuntak mengawali caption unggahan Twitternya, Selasa dinihari, 13 April. Kalimat itu dilanjutkan dengan rangkaian unggahan lain. Intinya Valentino melempar peringatan bakal melaporkan sejumlah akun Twitter dengan UU ITE. Kami jadi terpikir, bukankah setiap kasus hukum itu biayanya dari negara? Kita angkat diskursus soal ini. Barangkali bisa jadi bahan kontemplasi kita semua.
Keriuhan ini bermula dari protes banyak orang soal gaya Valentino 'Jebret' Simanjuntak dalam memandu pertandingan sepak bola. Valentino dianggap hiperbolis.
Terpantau sejumlah kritik, di samping banyaknya kalimat-kalimat kasar yang ditujukan untuk Valentino. Secara spesifik yang disasar Valentino adalah akun-akun dengan kalimat kasar itu. Salah satunya akun @SiaranBolaLive.
Valentino diserang balik banyak warganet karena dianggap arogan, termasuk soal bagaimana ia menyebut gelar sarjana dan master hukumnya di kicauan itu. Fokus kami bukan soal keriuhan itu.
Tapi pada bagaimana kita menangani konflik. Apa karena negara hukum maka semua permasalahan harus diselesaikan di ranah hukum? VOI telah mencoba mengonfirmasi pada Valentino. Namun pesan kami tak berbalas.
Boleh jadi, itu hak kita, juga Valentino sebagai warga negara. Tapi, apa tak ada pertimbangan lain? Soal yang paling sederhana, misalnya: biaya perkara hukum. Jika kita pikir kebiasaan sedikit-sedikit lapor tak diikuti konsekuensi apapun, kita salah.
Negara biayai kebiasaan lapor
Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan menyoroti situasi ini di tengah masyarakat. Banyak konsekuensi dari kebiasaan saling lapor ini. Salah satunya beban ekonomi. Kata dia semua biaya dalam kasus hukum sepenuhnya ditanggung negara.
Ada memang biaya perkara yang biasa dibayar oleh mereka yang bersalah. Tapi tetap saja, "biaya perkara itu sangat murah. Itu paling beberapa puluh ribu rupiah," kata Agustinus kepada VOI, Rabu, 14 April.
Dan konsekuensi berupa beban ekonomi itu seharusnya cukup untuk menghentikan kebiasaan sedikit-sedikit lapor. Tapi, jangan lupa. Ini tanggung jawab semua. Termasuk negara yang punya banyak pekerjaan rumah.
Negara harus buka mata soal konsekuensi dari pembiayaan perkara-perkara hukum tertentu. Harus diperhitungkan. Transparansi juga dibutuhkan. Biaya penanganan perkara harus dipertanggungjawabkan lewat laporan publik.
"Kalau di negara-negara Amerika gitu kan. Itu mahal sekali sampai membebani perekonomian. Karena itu jadi persoalan serius. Di sana terbuka. Perkara ini keluar berapa juta dolar. Di kita enggak ada."
Anggaran perkara yang terpantau paling-paling di tingkat kepolisian. Tapi itu pun cuma anggaran. Dalam realita, seringkali melewati anggaran yang telah ditentukan.
"Anggaran misalnya untuk menangani satu perkara itu berapa. Itu ada standarnya. Tapi itu hanya untuk menganggarkan. Bukan dalam realita."
Melewati tingkat peradilan, negara juga dituntut berpikir ulang soal nafsu pemenjaraan. Negara memerlukan konsep yang lebih efisien terkait ini.
Agustinus mencontohkan Arizona. Negara Bagian AS itu memodifikasi pemenjaraan dengan bootcamp. Bangunan penjara digantikan tenda-tenda. Selain itu para narapidana juga dimanfaatkan tenaganya untuk pekerjaan-pekerjaan publik.
"Nanti kamu boleh milih. Kamu kalau mau ikut bootcamp cuma enam bulan. Tapi ditaruhnya enggak di penjara. Di tenda-tenda. Nah itu dalam rangka penghematan biaya negara."
Penyelesaian konflik di negara hukum
Di sisi masyarakat, akui saja, tak semua urusan kita penting di mata hukum. Persoalan sepele yang kita bawa ke ranah hukum kerap kali kontraproduktif dengan perwujudan keadilan itu sendiri.
"Masyarakat harus sadar bagaimana nanti mengatasi perkara yang kecil. Supaya tidak berlebihan. Memang betul ini kan kebutuhannya keadilan. Tapi harus dipertimbangkan efisiensi."
Lagipula, jangan terjebak dengan konsep bahwa kita hidup di negara hukum, maka segala keadilan harus melewati lembaga peradilan demi penegakan hukum. Tak seperti itu. Yang harus ditingkatkan adalah kemampuan menyelesaikan persoalan sendiri.
"Bagaimana kita mengajarkan masyarakat kita agar mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Enggak usah lewat polisi. Jangan uang negara cuma habis untuk kesombongan-kesombongan."
"Jadi betul dia membayar pajak tapi negara juga mengeluarkan uang banyak untuk orang-orang sok hebat itu. Memang betul pertimbangan itu harus ada supaya juga negara, dalam hal ini MA harus dilibatkan juga. Bagaimana cara mengatasi kasus-kasus itu."
"Orang di desa jauh lebih pandai mengatasi masalah. Negara hukum? Enggak seperti itu negara hukum. Siapa yang happy dari penegakan hukum sekarang? Enggak ada!"
*Baca Informasi lain soal HUKUM atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.
BERNAS Lainnya
Baca juga:
- Semangat yang Bagus Pemerintah, Sekarang Lupakan Mimpi Jadikan Bukit Algoritma Silicon Valley Indonesia
- Ada Apa dengan Pertumbuhan Ekonomi: Vaksinasi, Inflasi, dan Asa Ekspansi Kredit
- Mendalami Prospek Usaha di Bulan Ramadan dengan Survei, Bidang Apa yang Paling Menjanjikan?
- Pandemi Bawa Kita Kembali ke Nilai Luhur Padusan, Ritual Mandi Suci Jelang Ramadan Sejak Hamengkubuwono I