JAKARTA - Padusan adalah ritual yang banyak dilakukan warga di Pulau Jawa, terutama mereka yang di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan sekitarnya. Padusan melewati sejarah panjang hingga pelaksanaannya mengalami perubahan. Di masa pandemi, kita diingatkan kembali soal ritual padusan yang sejati: penuh hening, perenungan, dan kontemplasi.
Padusan adalah ritual pembersihan fisik dan rohani untuk menyambut datangnya Ramadan. Dihimpun dari berbagai sumber, ritual padusan sudah ada sejak zaman Hamengkubuwono I. Padusan berasal dari bahasa Jawa, yakni 'adus' yang berarti mandi.
Dulu, orang-orang melakukan padusan di sumber mata air dan kolam-kolam masjid. Orang-orang melakukan padusan dengan tujuan ketika Ramadan tiba, mereka bisa melaksanakan ibadah dalam kondisi suci lahir dan batin.
Padusan di tengah pandemi
Di Klaten, Jawa Tengah, otoritas melarang ritual padusan. Larangan diberlakukan untuk mencegah penularan COVID-19 akibat kerumunan.
Plt Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Pemkab Klaten Sri Nugroho mengatakan, "Sementara agenda tradisi Padusan di Klaten ditiadakan untuk mencegah penyebaran virus Covid-19," katanya, dikutip Kompas.com.
Tak cuma padusan. Dinas juga melarang acara apapun yang melibatkan kerumunan. Meski Padusan ditiadakan, wisata air di Kelaten tetap beroperasional.
Jam operasionalnya dimulai pukul 08.00-15.00 WIB. Menurut Sri Nugroho, operasional tempat-tempat wisata itu akan dibarengi dengan pengetatan protokol kesehatan.
Filosofi padusan
Kondisi ini mengingatkan kita pada filosofi padusan. Padusan adalah media perenungan sekaligus introspeksi dari bermacam kesalahan yang dilakukan di masa lalu.
Karenanya, padusan sejatinya dianjurkan dilakukan di tempat sepi. Dengan begitu, ritual padusan diharapkan lebih khusyuk.
Pelarangan berkerumun ini jadi semacam pengingat pada nilai-nilai dasar padusan. Dalam keheningan, kesadaran menjadi pribadi yang lebih baik akan muncul.
Keheningan juga diharap memunculkan kesadaran dan keyakinan bagi seseorang untuk memasuki bulan Ramadan lebih baik. Penghageng Tepas Dwarapura (Humas) Keraton Yogyakarta KRT H. Jatiningrat pernah menjelaskan penekanan soal padusan.
Kepada Liputan6.com ia menjelaskan penekanan penting, di mana pria dan wanita harus melakukan padusan terpisah. Romo Tirun --sapaan akrabnya-- juga menuturkan banyaknya pergeseran yang terjadi sejak 1950-an.
Kala itu orang-orang mulai padusan di tempat-tempat pemandian selain sumber mata air dan kolam-kolam masjid. Makna dan filosofi padusan makin bergeser.
Laki-laki dan wanita mulai bercampur dalam padusan di tempat-tempat pemandian umum. Pergeseran lain dapat dilihat dari pakaian yang dikenakan, yang kerap kali ketat atau hal lain yang jauh dari norma kesopanan.
Padusan di rumah
Dengan filosofi padusan yang menekankan pada kekhusyukan, kita sejatinya dapat melakukan padusan di rumah. Pengelola kantor Takmir Masjid Kauman Yogyakarta Waslan Aslan mengatakan poin penting dari padusan adalah momen perenungan.
Karenanya, padusan pun dapat dilakukan di rumah. Kata Waslan, poin penting dari ritual padusan adalah niat, di mana harus ditujukan untuk pembersihan hati.
Jadi tempat bukan masalah. Meski begitu, sebagaimana dijelaskan di atas, padusan harus dilakukan dengan cara yang benar dan sesuai adab keislaman.
Jadi, tak dianjurkan mengenakan pakaian ketat apalagi bercampur antara perempuan dan laki-laki.
*Baca Informasi lain soal RAMADAN atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.