Kenaikan PPN 12 untuk Barang Mewah, Ekonom Ungkap Pertama Kali Dalam Sejarah
JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 untuk barang mewah merupakan yang pertama kali dalam sejarah.
"Indonesia mengenal PPN satu tarif yang berarti perbedaan PPN 12 persen untuk barang mewah dan PPN 11 persen untuk barang lainnya merupakan yang pertama kali dalam sejarah," ujarnya kepada VOI, Kamis, 12 November.
Bhima menjelaskan, tentu saja hal ini menimbulkan kebingungan untuk semua pihak, baik bagi pelaku usaha maupun konsumen.
Misalnya, pada toko ritel yang menjual barang-barang yang dikenakan PPN dan PPNBM, seperti toko peralatan elektronik, faktur pajaknya akan menjadi lebih kompleks.
"Apalagi satu toko ritel misalnya jual barang kena ppn dan ppnbm. Contohnya adalah toko peralatan elektronik. Faktur pajaknya juga akan lebih kompleks. Pelaku usaha ritel bisa teruskan ke konsumen dengan harga barang yang lebih mahal," ujarnya
Sebab itu, Bhima menyampaikan dengan bentuk harga yang lebih tinggi dapat mengancam daya beli kelas menengah, meskipun PPN 12 persen hanya diterapkan pada barang-barang mewah.
Menurut Bhima, hal tersebut perlu juga diwaspadai adanya potensi inflasi yang mendahului kebijakan pajak atau pre-emptive inflation, terutama pada periode Natal dan Tahun Baru (Nataru) di mana harga barang dan jasa cenderung naik.
Pengusaha mungkin akan mengkompensasi ketidakjelasan aturan mengenai PPN 12 persen dengan menaikkan harga barang bagi konsumen akhir.
Bhima menyampaikan untuk barang-barang yang masuk kategori mewah dan dikenakan PPN 12 persen, perlu ada rincian lebih lanjut dari Kementerian Keuangan yang tertuang dalam aturan teknis PMK.
"Barang yang masuk kategori mewah dan kena ppn 12 persen harus dirinci lagi oleh kemenkeu dan ini tertuang di aturan teknis PMK. Tapi kan aneh juga karena perbedaan tarif barang sebenarnya masih perlu mengubah UU HPP soal barang kena PPN 12 persen dan barang mana yang tidak kena," jelasnya.
Bhima menyampaikan konsekuensinya, masalah ini bukan hanya terletak pada Pasal 7 dalam UU HPP, melainkan juga memerlukan revisi pada Pasal lain, terutama Pasal 4 yang mengatur barang-barang yang dikecualikan, karena adanya perbedaan tarif baru atau perubahan ke multitarif.
Baca juga:
Menurut Bhima, karena waktu yang semakin mendekati pelaksanaan PPN 12 persen pada Januari 2025, aturan yang ada menjadi terasa mengambang.
"Seharusnya kalau mau perhatikan daya beli masyarakat terbitkan Perpu hapus pasal 7 di UU HPP soal PPN 12 persen. Itu solusi paling baik," jelasnya.