DPR RI dan Penegakan UU TPKS: Sorotan dan Harapan ke Depan
JAKARTA - Salah satu warisan monumental DPR RI periode 2019-2024 adalah pengesahan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 12 April 2022. UU ini menjadi payung hukum penting dalam melindungi korban kekerasan seksual di Indonesia. Namun, meski telah disahkan, implementasi UU TPKS masih menjadi tantangan besar.
Menurut Agustrijanto, Mediator Mandiri Hukum sekaligus Dosen Komunikasi di Universitas Kalbis, keberadaan UU TPKS belum cukup tanpa penegakan yang konsisten. "Pasalnya sudah bagus, tinggal penegakkannya saja. Itu butuh niat serius dari semua pihak," ungkapnya, Selasa 10 Desember.
Ia menekankan agar aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian hingga kehakiman, benar-benar menaati dan menjalankan UU ini. Selain itu, ia mengingatkan pentingnya peran DPR RI dalam mengawasi penerapan hukum agar kasus kekerasan seksual tidak diselesaikan hanya dengan permintaan maaf.
"Politik hukumnya harus ditekan terus. Jangan sampai ada jalur damai untuk kasus seperti ini," tambahnya.
Santi, pemerhati komunikasi seksual, menyoroti pengaruh positif UU TPKS, khususnya dalam mendorong pembentukan Satgas Anti Kekerasan Seksual di perguruan tinggi. "Sejak adanya kewajiban membentuk Satgas, kasus kekerasan seksual di kampus menurun. Pelaku mulai berhati-hati," jelasnya.
Namun, Santi juga menggarisbawahi pentingnya upaya preventif untuk memastikan kasus serupa tidak berulang. Edukasi mengenai kekerasan seksual, menurutnya, perlu digencarkan secara berkesinambungan, tidak hanya bagi perempuan, tetapi juga laki-laki.
"Edukasi ini harus melibatkan orang tua, lembaga pendidikan, hingga organisasi non-pemerintah (NGO). Semua pihak harus terlibat," tegasnya.
Ketua Satgas Anti Kekerasan Seksual, Perundungan, dan Intoleransi Universitas Kalbis, Ridha Sefina, memaparkan langkah-langkah pencegahan yang telah dilakukan di kampusnya. "Kami memasukkan edukasi dalam setiap pertemuan, baik dengan dosen, mahasiswa, maupun staf, seperti keamanan dan petugas kebersihan," ujarnya.
Baca juga:
- Kasus Ahmadiyah di Kuningan: Menjaga Harmoni Kerukunan Beragama Jangan Sampai Memasung Hak Masyarakat
- Kemendagri Terima 337 Usulan Pembentukan Daerah Otonomi Baru
- Dari Kasus Gus Miftah: Kata-kata Kasar di Depan Umum, Perundungan atau Candaan?
- Cair! Pertamina Terima Kompensasi BBM Subsidi Rp38,03 Triliun
Ia juga mencontohkan pembuatan panduan anti-kekerasan seksual sebagai salah satu langkah preventif. "Panduan ini dituangkan dalam keputusan rektor untuk memberikan landasan yang jelas bagi seluruh pihak di kampus," jelas Ridha.
Sementara itu, Ketua Satgas Anti Kekerasan Seksual, Perundungan dan Intoleransi di Universitas Kalbis, Ridha Sefina berpandangan bahwa pencegahan harus terus dilakukan. Salah satunya dengan cara edukasi.
"Kami memasukkan sesi di setiap rapat dengan dosen tersebut. Kemudian, dengan mahasiswa hingga karyawan seperti tim security hingga cleaning service dan lain-lain," ungkapnya.
Kemudian, dia mencontohkan cara pencegahan kekerasan seksual yakni dengan membuat panduan. Salah satunya panduan yang dituangkan dalam keputusan rektor.
"Cara selanjutnya membuat panduan. Seperti misalnya yang dituangkan dalam keputusan rektor," katanya.
Dengan dilantiknya DPR RI periode 2024-2029, harapan agar mereka dapat mengawal implementasi UU TPKS kian mengemuka. Tantangan untuk memastikan perlindungan korban serta mencegah kekerasan seksual menjadi tanggung jawab bersama, baik di tingkat kebijakan maupun dalam pelaksanaan di lapangan.
DPR RI memiliki peran strategis dalam mengawal penegakkan UU TPKS. DPR RI harus terus mengawasi prosès penegakan hukum guna memastikan bahwa UU TPKS ditegakkan secara efektif. Ini termasuk melakukan audit terhadap perkara-perkara yang sedang ditangani aparat.
Edukasi publik tentang kekerasan seksual sangat penting. DPR RI bisa meningkatkan kampanye edukatif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kekerasan seksual dan perlindungan korban.