JAKARTA – Tindakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuningan, Jawa Barat, yang melarang kegiatan tahunan jemaah Ahmadiyah mendapat kecaman dari banyak pihak. Ini menjadi tantangan lainnya di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, untuk merealisasikan pentingnya keberagaman dan kerukunan umat beragama.
Para Jemaah Ahmadiyah bersiap mengadakan pertemuan tahunan Jalsah Salanah yang seharusnya dilaksanakan 6-8 Desember 2024, di Desa Manislor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan. Mereka datang dari berbagai wilayah di Indonesia, termasuk dari luar Pulau Jawa.
Firdaus Mubarik misalnya, yang datang ke Kuningan dari Bogor. Setibanya di sana pada Kamis (5/12/2024) Firdaus tidak langsung datang ke lokasi acara, tetapi ia menyempatkan diri jalan-jalan ke tempat wisata.
Baru sore sekitar pukul 17.00 ia tiba di Manislor. Namun betapa terkejutnya Firdaus melihat keruunan polisi berjaga di lokasi Jalsah Salanah. Ia beruntung masih bisa masuk ke sekitar lokasi acara, tapi rombongan jemaah lainnya yang datang bergelombang tidak bisa. Polisi tidak mengizinkan masuk ke Desa Manislor.
Firdaus menyaksikan bagaimana seluruh akses jalan masuk dan keluar desa ditutupi pembatas jalan berwarnaa oranye. Kegiatan Jalsah Salanah yang sedianya digelar pekan lalu pun dibatalkan.
Kebebasan Beragama Dijamin Konstitusi
Jalsah Salanah merupakan pertemuan tahunan untuk berdiskusi, belajar, sharing keagamaan yang dihadiri jemaah Ahmadiyah dari berbagai daerah di Indonesia. Juru bicara jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana mengatakan kegiatan tahunan Jalsah Salanah ini rencananya dihadiri 1.000 perserta. Acara ini sudah disiapkan sejak jauh-jauh hari.
Tiga bulan sebelumnya, mereka telah mengirimi surat pemberitahuan ke pemerintah kabupaten, pemerintah desa, dan kepolisian setempat.
Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyesalkan adanya pelarangan Jalsah Salanah, yang merupakan kegiatan tahunan Ahmadiyah oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Lukman menegaskan konstitusi sudah jelas menegaskan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
“Amat sangat disayangkan, disesalkan karena ada pelarangan sepihak. Saya tidak tahu apa alasan pemda melarangan Jalsa Salanah Ahmadiyah,” kata Lukman ketika dihubungi VOI.
“Ini semuanya dijamin oleh konstitusi. Ini kan kegiatan internal, kegiatan tahunan yang mestinya pemerintah daerah memfasilitasi bukan malah melarang,” imbuhnya.
Pj Bubati Kuningan Agus Toyib dengan tegas melarang kegiatan yang diadakan jemaah Ahmadiyah. Pelarangan tersebut tertuang dalam Surat Bupati Kuningan tertanggal 4 Desember 2024 yang berisi bahwa Jalsah Salanah jemaah Ahmadiyah Indonesia tidak boleh dilaksanakan dengan alasan akan menyebabkan kondusivitas daerah terganggu.
Terkait hal ini, Lukman mengatakan aparat penegak hukum, maupun pemda seharusnya bersikap adil menyikapi kemungkinan potensi gangguan ketertiban umum. Ia tidak menutup potensi disharmoni kerunan dari Jalsah Salanah ini, tapi bukan berarti hal tersebut menjadi dalih untuk melarang kegiatan ini.
“Menjaga harmoni ini jangan dibenturkan dengan pemenuhan hak warga. Seharusnya tidak demikian, karena pemenuhan hak tidak kalah penting,” tegas Menteri Agama periode 2014-2019 ini.
Ia juga menyoroti perlunya pemerintah mengayomi dan melayani masyarakat, demikian juga dengan polisi sehingga tidak ada hak-hak masyarakat yang diabaikan.
“Jadi sebaiknya dua-duanya diselaraskan, yaitu harmoni dan hak-hak warga, jangan dibenturkan. Jangan sampai timbul kesan yang satu dipenuhi harmoninya, tapi dengan cara memasung hak-hak masyarakat,” ucap pria kelahiran 25 November 1962 ini.
Diskriminasi Terus Berulang
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan ini bukan pertama kalinya negara menunjukkan sikap intoleran dan diskriminatif terhadap warga jemaah Ahmadiyah. Dalam berbagai kesempatan, tindakan diskriminasi seperti pembubaran kegiatan keagamaan, intimidasi, pengusiran bahkan persekusi terhadap warga komunitas ini terus berulang.
"Ini semakin mengukuhkan pola sistematis diskriminasi negara terhadap kelompok minoritas beragama," ujar Usman.
Pertengahan tahun ini, terjadi penyegelan masjid Ahmadiyah yang terjadi di Kampung Nyalindung, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Penyegelan masjid itu dilakukan oleh tim yang menamakan diri Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan dalam Masyarakat (Pakem) Kabupaten Garut.
BACA JUGA:
Pada 2021 terjadi insiden perusakan Masjid Miftahul Huda milik Jemaah Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat menambah rentetan panjang tindakan persekusi dan diskriminatif terhadap kelompok minoritas ini.
Tragedi lainnya adalah aksi kekerasan di Cikeusik, Pandeglang, Banten pada 2011. Saat itu elemen massa yang mengatasnamakan Gerakan Muslim Cikeusik yang berjumlah 1.500 orang menyerang lokasi jemaah Ahmadiyah. Tercatat enam orang meninggal, satu mobil dibakar, dan satu rumah rusak.
Terkait penolakan terhadap jemaah Ahmadiyah yang terus berulang terjadi di Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin yakin sebenarnya tidak semua umat Muslim bersikap diskrimintif terhadap kelompok minoritas ini.
“Umat muslim beragam, memang ada yang tidak sependapat (dengan ajarah Ahmadiyah), tapi tidak sedikit yang memaklumi. Artinya, bukan berarti kita tidak menghargai hak-hak mereka,” ucapnya.
“Jangankan dengan yang berbeda aliran, seperti dengan Ahmadiyah, dengan yang berbeda agama pun kita harus saling menghargai,” tandasnya.