JAKARTA – Wacana kembalinya Ujian Nasional atau UN menjadi perhatian khalayak. Suara pro dan kontra sepertinya sudah menjadi hal biasa dalam menanggapi sebuah kebijakan. Memberlakukan kembali UN sebagai syarat kelulusan, kata pengamat, berarti dunia pendidikan mengalami kemunduran.
Kabar soal kembalinya UN pertama kali dihembuskan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti. Ia memberikan sinyal, UN akan kembali diberilakukan pada tahun ajaran 2025/2026.
Namun sampai saat ini Abdul Mu’ti menuturkan belum mengetahui format apa yang akan digunakan jika UN benar-benar diberlakukan.
Meski belum ketok palu, masyarakat terlanjur berisik. Banyak yang tak setuju dengan kembalinya UN, apalagi jika ini dijadikan sebagai syarat kelulusan siswa.
Namun yang bersemangat menyambut kabar ini juga tak kalah banyak. Ada hal yang melatarbelakangi mereka yang pro dengan kembalinya UN ini, di antaranya untuk meningkatkan kualitas pendidikan Tanah Air.
Memotivasi Tingkatkan Kualitas Sekolah
Dalam beberapa pekan terakhir, warganet dihebohkan dengan sejumlah video yang menunjukkan bagaimana siswa-siswi di sekolah menengah atas yang tidak paham perkalian, video lainnya memperlihatkan bagaimana siswa SMP tidak bisa membaca jam analog.
Tidak hanya warga biasa, tetapi pegiat, kelompok profesi guru, dan organisasi yang menaruh perhatian pada bidang pendidikan mengaku prihatin dengan kondisi tersebut. Banyak yang menganggap ketidakmampuan sejumlah siswa menyelesaikan pertanyaan perkalian karena sistem pendidikan Indonesia yang masih berantakan.
Masyarakat pun menyoroti UN yang resmi dihapus pemerintah mulai tahun ajaran 2021, untuk kemudian diganti oleh Asesmen Nasional. Asesmen ini tidak lagi digunakan sebagai penentu kelulusan, melainkan untuk mengukur kualitas pendidikan melalui Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar.
UN pertama kali diperkenalkan pada 2005 oleh Menteri Pendidikan saat itu, Muhammad Nuh, untuk menggantikan Ujian Akhir Nasional (UAN). Ujian ini pun menjadi syarat kelulusan.
Pada 2013, pemerintah mulai menerapkan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di beberapa sekolah, yang diperkenalkan Anies Baswedan selaku menteri pendidikan saat itu. Tiga tahun berselang, Anies menegaskan UN tidak lagi menjadi faktor penentu kelulusan mulai 2015. Kelulusan siswa ditentukan oleh sekolah melalui rapat dewan guru atau pleno guru.
Pada 2019 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengumumkan akan menghapus UN pada 2021 dan diganti Asesmen Nasional.
Warganet pun menduga apa yang dialami sejumlah siswa yang tak paham perkalian, misalnya, gara-gara tidak ada UN. Mereka, para siswa ini disebut tak lagi memiliki semacam target, sehingga mengendurkan belajar mereka, lantaran tidak ada syarat untuk lulus dan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
BACA JUGA:
Makanya ketika wacana UN akan dikembalikan mulai tahun ajaran 2025/2026, banyak yang menyambut suka cita kabar ini. Sekretaris Jenderal PGRI Dudung Abdul Qadir menilai, UN berfungsi sebagai alat untuk pemerataan pendidikan. Ia juga menyebut hasil UN dapat digunakan sebagai evaluasi kelemahan sistem pendidikan di suatu daerah.
“UN adalah mekanisme untuk mengetahui keberhasilan setiap satuan pendidikan dan individu siswa, sehingga guru dan sekolah termotivasi meningkatkan kualitas layanan di sekolah,” katanya.
Kendati demikian, Dudung menggarisbawahi bahwa UN tidak boleh menjadi penentu mutlak kelulusan siswa. Ia juga menyarankan agar mata pelajaran yang diujikan dapat disesuaikan dengan minat dan bakat siswa, dengan fokus pada pengukuran literasi dan numerasi.
Jangan Menjadi Penentu Kelulusan
Namun, Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru atau P2G, Iman Zanatul Haeri menekankan, Kemdikdasmen jangan dulu gegabah menghidupkan kembali UN. Sebelum UN dicanangkan kembali, Iman menilai ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan Kemdikdasmen.
Pertama, asesmen terstandar bagi murid yang diselenggarakan harus jelas tujuan, fungsi, anggaran pembiayaan, kepesertaan, instrumen, gambaran teknis, dan dampaknya.
Hal lainnya yang perlu diperhatikan, kata Iman, adalah kriteria asesmen bagi murid yang bertujuan mengevaluasi sistem pendidikan, yaitu asesmen dirancang sesuai tujuan sistem pendidikan, asesmen bersifat low-stake alias tidak berisiko apapun terhadap capaian akademik murid.
"Jika UN digunakan sebagai penentu kelulusan siswa, ini jelas harus ditolak. Karena bersifat high-stakes testing bagi murid," kata Iman dalam keterangan yang diterima VOI.
Kedua, fungsi UN pada masa lalu mencampuradukan fungsi asesmen sumatif bagi murid, formatif bagi sekolah, bahkan dijadikan alat menyeleksi murid masuk ke jenjang pendidikan di atasnya dalam proses PPDB yang menggunakan nilai UN. Nilai UN tertera di belakang ijazah sebagai bentuk sertifikasi capaian belajar siswa.
"UN pada masa lampau sangat tidak adil, hanya berorientasi kognitif, mendistorsi proses pendidikan itu sendiri, dan mengkotak-kotakan mana mata pelajaran penting dan yang tidak," lanjut Iman.
Ketiga, di era Anies Baswedan dan Muhajir Effendi sebagai Mendikbud, seperti yang telah disinggung sebelumnya, UN tetap diadakan tapi tidak lagi penentu kelulusan.
Iman melanjutkan, jika Ujian Nasional yang akan dikembalikan Mendikdasmen Abdul Muti seperti era Mendikbud Muhajir, ini dapat saja diberlakukan. Tetapi harus jelas tujuan, fungsi, skema, anggaran, kepesertaan, instrumen, teknis implementasi, dan dampaknya
"Apakah ujiannya berbasis mata pelajaran, apa saja? Empat mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan mata pelajaran pilihan untuk SMA/SMK/MA? Atau justru semua pelajaran yang di-UN-kan?" tanya Iman.