Jangan Buat Setya Novanto dkk Bebas dengan Dalih Cegah Penyebaran COVID-19
JAKARTA - Wacana Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly membebaskan narapidana korupsi dari lembaga permasyarakatan untuk menghindari penyebaran COVID-19 dikecam banyak pihak. Pandemi COVID-19 dinilai hanya jadi dalih agar misi pembebasan para koruptor termasuk Setya Novanto, cs bisa terlaksana.
Mengapa Setya Novanto? Sebab, berdasarkan data yang dirilis oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), jika wacana Yasonna merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 untuk membebaskan koruptor dengan salah satu syaratnya sudah berusia di atas 60 tahun maka mantan Ketua DPR RI itu jadi salah satu dari 22 koruptor yang bakal dibebaskan.
"Saya mencoba mendata napi korupsi di atas 60 tahun dan punya high profile case," kata Kurnia kepada wartawan, Sabtu, 4 April.
Diketahui, Setya Novanto merupakan mantan Ketua Umum Partai Golkar yang dijatuhi vonis 15 tahun penjara dengan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan di Lapas Sukamiskin, Bandung.
Hukuman ini dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta setelah dirinya dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun.
Selain Novanto nama lain yang berpotensi diloloskan adalah pengacara OC Kaligis (77); eks Menteri Agama, Suryadharma Ali (63); eks Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari (70); eks Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik (70); eks Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar (61).
Kemudian pengacara Fredrich Yunadi (70); eks Hakim Adhoc Tipikor, Ramlan Comel (69); eks Wali Kota Bandung, Dada Rosada (72); eks Gubernur Riau, Zainal Rizal (62); eks Gubernur Papua, Barnabas Suebu (73); eks Wali Kota Madiun, Bambang Irianto (69); eks Bupati Batubara, OK Arya Zulkarnaen (63); eks Wali Kota Mojokerto, Masud Yunus (68).
Selanjutnya eks Bupati Subang, Imas Aryumningsih (68); eks Bupati Bengkulu Selatan, Dirwan Mahmud (60); dan eks Wali Kota Pasuruan, Setiyono (64), mantan anggota DPR RI Budi Supriyanto (60); Amin Santono (70); dan Dewi Yasin Limpo (60).
Berikutnya, selain elite politik ada juga pengusaha yaitu Direktur Operasional Lippo Group, Billy Sindoro (60) dan pemegang saham Blackgold Natural Resources, Johannes Budisutrisno Kotjo (69).
Melihat nama-nama ini, rasanya wajar jika mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menilai kebijakan ini sebenarnya diskriminatif dan elitis.
"Usulan kebijakan ini jelas sangat diskriminatif, elitis dan eksklusif khas oligakhis serta secara terang dapat dituduh sebagai merodok karena menunggangi musibah COVID-19," kata Bambang dalam keterangan tertulisnya.
Baca juga:
Napi koruptor, kata Bambang, selama ini punya keistimewaan sendiri berupa bilik tahanan yang mereka tempati tidak bertumpuk-tumpuk seperti bilik tahanan pada umumnya.
Sehingga, jika alasan pembebasan itu untuk menjaga social distancing atau physical distancing menurut Bambang, hal itu kurang tepat dan terkesan menunggangi penyebaran COVID-19.
"Sebagian besar napi korupsi, apalagi, yang berada di Lembaga Permasyarakatan (LP) Sukamiskin diduga menempati sel khusus yang cukup memenuhi syarat terjadinya social distancing dan tidak bertumpuk-tumpuk seperti kebanyakan napi kasus kriminalitas di sel pada umumnya," jelasnya.
Pernyataan Bambang ini sebenarnya bukan lagi dugaan. Sebab, beberapa waktu yang lalu, fasilitas lapas mewah dan sel tahanan yang ditempati perorangan pernah dibuktikan ketika Setya Novanto ketahuan mempunyai kamar tahanan mewah di Lapas Klas I Sukamiskin, Bandung pada tahun 2018 yang lalu.
Selain itu, KPK juga pernah menangkap Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husein karena menerima suap dan gratifikasi terkait pemberian fasilitas atau perizinan keluar lapas.
Berkaca dari data dan fakta yang, Bambang kemudian mempertanyakan sikap Yasonna tersebut. "Fakta ini punya indikasi untuk menjelaskan pertanyaan, siapa sahabat koruptor dan siapa yang ingin melawan sikap koruptif secara konsisten," tegasnya.
Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo juga mengecam wacana pembebasan narapidana korupsi di tengah wabah bencana. Sebab, jika ingin meminimalisir penyebaran virus di dalam lapas banyak cara lain yang bisa digunakan.
"Mulai dari adanya pengaturan soal sel sampai dengan kunjungan sehingga seharusnya tidak menjadi alasan (melakukan revisi PP)," kata Yudi.
Dia juga meminta pada Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan Yasonna tak melanjutkan niatan melakukan revisi tersebut. Apalagi, wacana ini sudah beberapa kali diusulkan sejak tahun 2016 dan kerap mendapatkan penolakan dari publik.
"Jangan sampai pandemi COVID-19 justru malah menjadi momentum yang dimanfaatkan untuk memuluskan rencana tersebut," tutur Yudi.