Peretas China Siap Hadapi Konflik, Pejabat Keamanan Siber AS Ungkap Ancaman
JAKARTA – Peretas yang diduga berasal dari China tengah mempersiapkan diri untuk potensi konflik dengan Amerika Serikat dengan menyusup ke jaringan infrastruktur penting AS. Hal ini diungkapkan pejabat tinggi keamanan siber AS pada Jumat 22 November.
Morgan Adamski, Direktur Eksekutif U.S. Cyber Command, menyatakan bahwa operasi siber yang terkait dengan China bertujuan untuk mendapatkan keunggulan dalam situasi konflik besar dengan AS.
Menurut pejabat AS, peretas yang terkait dengan China telah berhasil mengakses jaringan teknologi informasi penting dan bersiap melakukan serangan yang berpotensi mengganggu, seperti memanipulasi sistem pemanas, ventilasi, dan pendingin udara di ruang server, atau mengacaukan sistem energi dan air penting.
Adamski menyampaikan peringatan ini dalam konferensi keamanan siber Cyberwarcon di Arlington, Virginia. Sebelumnya, pada Kamis, 21 November, Senator AS Mark Warner menyebutkan kepada Washington Post bahwa dugaan peretasan oleh China terhadap perusahaan telekomunikasi AS adalah yang terburuk dalam sejarah.
Menurut FBI, operasi mata-mata siber yang disebut "Salt Typhoon" ini diduga mencakup pencurian data catatan panggilan, pelanggaran komunikasi pejabat tinggi dari kedua kampanye presiden utama sebelum pemilu 5 November, serta informasi telekomunikasi terkait permintaan penegak hukum AS.
Baca juga:
FBI dan Badan Keamanan Siber dan Infrastruktur (CISA) saat ini memberikan bantuan teknis dan informasi kepada target potensial.
Adamski menambahkan bahwa pemerintah AS telah meluncurkan aktivitas global yang terkoordinasi, baik ofensif maupun defensif, yang berfokus untuk melemahkan dan mengganggu operasi siber China di seluruh dunia. Langkah-langkah tersebut termasuk mengekspos operasi, memberlakukan sanksi, dakwaan, tindakan penegakan hukum, serta mengeluarkan nasihat keamanan siber dengan masukan dari berbagai negara.
Namun, Beijing secara rutin membantah tuduhan operasi siber terhadap entitas AS. Kedutaan Besar China di Washington belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar terkait isu ini.