RUU Tax Amnesty Berisiko Perkuat Ketidakpatuhan Pajak

JAKARTA – Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, M. Hanif Dhakiri, menegaskan bahwa masuknya RUU Tax Amnesty dalam Prolegnas 2025 harus didasarkan pada analisis kebutuhan fiskal negara dan target yang jelas.

Ia menekankan bahwa tanpa reformasi sistem perpajakan yang mendasar, kebijakan ini berisiko memperkuat ketidakpatuhan pajak dan melemahkan kepercayaan terhadap sistem perpajakan.

“RUU Tax Amnesty tidak boleh hanya menjadi solusi sementara untuk meningkatkan penerimaan negara," ujarnya dalam keterangannya, dikutip Jumat, 22 November.

Menurut Hanif program ini harus dirancang dengan hati-hati dan diiringi reformasi sistem pajak yang menyeluruh agar memberikan dampak positif jangka panjang.

Hanif mengingatkan bahwa Indonesia telah melaksanakan dua kali program tax amnesty sebelumnya, yaitu pada 2016-2017 dan 2022.

Menurutnya program tersebut berhasil meningkatkan penerimaan negara secara signifikan, tetapi juga meninggalkan tantangan dalam menjaga kepercayaan wajib pajak.

Oleh sebab itu, Hanif menggaris-bawahi tiga aspek penting yang harus diperhatikan, yaitu pertama, tax amnesty harus menjadi bagian dari reformasi sistem perpajakan yang lebih luas.

Hanif menjelaskan program ini harus diiringi penguatan basis data wajib pajak, percepatan digitalisasi pajak, dan penegakan hukum yang tegas.

“Reformasi ini penting untuk memastikan sistem perpajakan yang lebih kredibel dan mampu mendorong kepatuhan wajib pajak secara sukarela,” jelasnya.

Hanif menyampaikan, pembahasan RUU ini perlu dilakukan secara transparan dan didasarkan pada kebutuhan yang jelas. Pemerintah harus menyajikan data dan analisis akurat mengenai dampak fiskal dan proyeksi manfaat dari kebijakan ini. Serta, kebijakan ini harus menjaga keadilan bagi wajib pajak yang patuh.

"Jangan sampai tax amnesty menciptakan ketimpangan atau persepsi bahwa ketidakpatuhan dapat diampuni tanpa konsekuensi. Hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem pajak,” ujarnya.

Kendati demikian, menurut Hanif, RUU Tax Amnesty juga punya urgensi, yaitu menarik dana yang mungkin cukup besar yang selama ini berada di luar sistem keuangan negara, untuk mendongkrak penerimaan, mendorong pertumbuhan dan memperkuat keuangan negara.

Hanif menyampaikan black money hasil praktik dari underground economy dan transfer pricing dari ekspor yang diparkir di luar negeri menjadi potensi besar yang harus diintegrasikan ke dalam sistem perekonomian formal.

Karena itu, Hanif menjelaskan, semua harus dikalkulasi sehingga, plus minus dan desain dari tax amnesty harus dikaji secara mendalam.

Pada akhirnya, kendati telah masuk Prolegnas, pembahasan RUU ini tetap bergantung pada relevansi dan urgensinya.

“Jika setelah dikaji manfaatnya tidak optimal atau justru merugikan, pembahasannya dapat ditunda atau bahkan dikeluarkan dari Prolegnas. Kalau manfaatnya besar ya kita lanjutkan,” tutupnya.