Anies Akhirnya Dukung Pramono-Rano, PDIP: Arus Balik Perlawanan Penindasan Demokrasi

JAKARTA - Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto buka suara terhadap dukungan mantan Gubernur DKI Anies Baswedan kepada pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta Pramono Anung-Rano Karno yang kini mulai terungkap.

Hasto menyebut PDIP berkomunikasi intens dengan Anies setelah masa Pilpres 2024 hingga pelaksanaan kampanye Pilkada 2024 saat ini. PDIP dan Anies sama-sama melihat adanya upaya untuk merusak proses demokrasi.

"Ketika praktik-praktik yang intimidatif dibiarkan, praktik penggunaan sumber daya negara itu dibiarkan, yang menciptakan persaingan yang tidak adil. Bahkan kemudian penindasan di dalam sistem demokrasi oleh orang-orang tertentu, keluarga tertentu, maka ini kemudian memunculkan suatu arus balik perlawanan. Jadi, itulah komunikasi yang kami lakukan dengan Mas Anies Baswedan," kata Hasto di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Rabu, 20 November.

Hasto menegaskan, baik PDIP maupun Anies menghadapi persoalan yang sama. Mereka menilai demokrasi Indonesia kini berhadapan dengan otoritarianisme yang berwajah populis. Sehingga, Hasto mengungkap pihaknya tak mau membiarkan praktik persaingan demokrasi yang tak adil tersebut.

"Karena itulah kerja sama ini akan terus dilakukan dan inilah yang menjadi bagian dari arus balik ketika begitu banyak elemen elemen dari masyarakat yang merespons untuk menyelamatkan demokrasi," ucap Hasto.

Di satu sisi, Hasto juga mengapresiasi dukungan yang diberikan oleh para relawan Anies, termasuk "anak Abah" kepada pasangan calon yang diusung PDIP itu. Hasto menyimpulkan hal ini menjadi satu gerakan kerakyatan bersama.

"Kami juga mengucapkan terima kasih atas dukungan dari relawan, di Jakarta, secara khusus dukungan dari anak Abah. Ini mencerminkan bahwa kami menghadapi satu kekuatan yang anti demokrasi, yang ingin mengikari bahwa negara kita ini berbentuk republik, bukan kerajaan, di dalam praktiknya," urainya.

Berkenaan dengan itu, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengaku mendapat banyak laporan terkait ketidaknetralan aparat negara di Pilkada Serentak 2024.

Aparat tersebut bahkan melakukan pemaksaan hingga menggulirkan politik uang kepada masyarakat untuk memilih pasangan calon kepala daerah tertentu.

Bahkan, semua pihak mengetahui hal tersebut melanggar peraturan perundang-undangan. Hal ini diungkapkan Megawati melalui tayangan video yang diputar di Kantor DPP PDIP, Menteng Jakarta Pusat.

"Saya mendengar begitu banyak laporan terhadap institusi negara yang tidak netral. Mereka memaksakan pasangan calon tertentu dengan berbagai intimidasi dan sekaligus iming-iming sembako gratis, bahkan uang. Itu semua adalah bagian dari money politic," kata Megawati.

Presiden ke-5 RI ini menekankan Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan nomor 136/PUU-XXII/2024 yang mengubah frasa pada pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2018.

Putusan tersebut berbunyi "setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat ASN, anggota TNI-Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600 ribu atau paling banyak Rp6 juta".

"Ingat bahwa Mahkamah Konstitusi telah mengambil keputusan yang sangat penting bahwa aparatur negara yang tidak netral bisa dikenakan sanksi pidana," tutur Megawati.