Amelia Ahmad Yani: Bung Karno Tadinya Sayang Bapak Saya
JAKARTA - Putri Pahlawan Revolusi Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani, Amelia Ahmad Yani, kembali membuka catatan harian mendiang ayahnya saat dituduh membentuk Dewan Jenderal untuk menggulingkan Presiden Sukarno pada 1965. Dalam catatan tersebut, sang jenderal mengalami pergolakan batin karena dituduh sebagai mata-mata Amerika.
“Bung Karno mulai percaya bahwa kami diisukan sebagai mata-mata Amerika. Dan anehnya, saat kami memperbincangkan hal ini secara kolegial, isunya diputarbalikkan seakan-akan kami pro-Amerika. Mata-mata Amerika dan akan menyingkirkan presiden,” ujar Amelia membacakan catatan tangan sang ayah dalam podcast EdShareOn bersama host Eddy Wijaya, yang tayang pada Rabu, 20 November 2024.
Catatan tersebut, lanjut Amelia, sebagai petunjuk kuat kegelisahan Jenderal Ahmad Yani atas upaya pecah belah dirinya dengan Presiden Sukarno. Padahal, Amelia mengatakan, sang ayah adalah sosok yang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Sukarno. “Bapak saya dipojokkan. Saking marahnya dipojokkan, beliau menulis begini; kenapa saya menjadi prajurit? karena saya patriot, karena saya cinta Tanah Air saya,” ucap Amelia kembali membacakan catatan Jenderal Ahmad Yani yang dibuat 18 Januari 1965.
Amelia mengatakan catatan harian tersebut menjadi bagian dari sejarah kelam Indonesia yang kerap disebut Gerakan 30 September (G30S). Peristiwa ini menandai terbunuhnya enam jenderal, salah satunya Jenderal Ahmad Yani, oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Jenazah mereka ditemukan di sumur sedalam 12–15 meter di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur pada 3 Oktober 1965. “Catatan bapak saya ini sangat berharga sekali,” kata Amelia.
Adapun Amelia merupakan anak ketiga dari 8 bersaudara yang menjadi saksi hidup dari peristiwa G30S pada 1965. Bahkan, Amelia menyaksikan langsung sang ayah, Jenderal Ahmad Yani, dieksekusi oleh pasukan Cakrabirawa di kediamannya, Jalan Lembang, Nomor D-58, Menteng, Jakarta Pusat, pada 1 Oktober 1965, pukul 04.00 dini hari. “Bapak ditembak di depan kami,” ucap Amelia yang saat kejadian berusia 16 tahun.
Amelia juga mengaku menyaksikan situasi genting jelang eksekusi sang ayah. Ia melihat sejumlah petinggi terus menyambangi rumahnya untuk melaporkan kondisi terkini tentang gerakan PKI. Salah satu yang datang adalah Kolonel Soegandhi Kartosoebroto, ajudan senior Bung Karno.Sayangnya, Soegandhi tak bertemu langsung dengan Ahmad Yani karena di saat yang sama sang jenderal bertemu Panglima Kodam Brawijaya, Mayor Jenderal TNI Basuki Rachmat. “Ia menitip pesan kepada ajudan bahwa Bung Karno marah-marah, (sebut) dewan jenderal, dewan jenderal, gitu,” ujar Amelia menirukan laporan Soegandhi. “Padahal ya, Bung Karno itu tadinya sayang sekali sama bapak saya. Dekat sekali. PKI masuk (ke lingkaran Bung Karno) jadi memisahkan,” ujar Amelia menambahkan.
Menurut Amelia, istilah Dewan Jenderal menjadi alat politik sekelompok orang untuk menguatkan isu kudeta terhadap Bung Karno yang konon ditargetkan pada Hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965. Padahal, Dewan Jenderal merupakan penasehat kenaikan pangkat yang saat ini dikenal bernama Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti).
“Dalam sebuah notulensi bapak saya menulis Dewan Jenderal menggelar rapat yang dipimpin Pak Gatot Subroto dan Pak Dedi Kusumo untuk kenaikan pangkat beberapa kolonel,” ujar Amelia membacakan notulensi tersebut. “Kalau di Angkatan Darat, rapat Dewan Jenderal mungkin sesuatu yang biasa, tapi orang-orang tertentu menjadikannya alat (untuk menyebarkan isu rapat kudeta),” ucapnya menambahkan.
Berharap Presiden Prabowo Evaluasi Inpres terkait keluarga PKI
Kepada Eddy Wijaya, Amelia Ahmad Yani mengungkap kekecewaannya atas terbitnya tiga aturan di era Presiden Joko Widodo yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat termasuk pada keluarga PKI. Ketiga beleid itu adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu, serta Keppres Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat.
Menurut Amelia, Inpres dan Keppres tersebut membuat negara seolah-olah mengakui kekeliruan dalam menghukum anggota dan simpatisan PKI sehingga keluarga mereka harus mendapatkan bermacam fasilitas dari pemerintah. “Dari Inpres itu, anak-anak Pahlawan Revolusi tentunya marah, ya. Selama sekitar 57 tahun banyak sekali simpang siur tentang peristiwa (G30S). Seolah-olah itu bukan kerjaanya PKI, tapi tentara,” ujar Amelia.
Mantan Duta Besar Indonesia untuk Bosnia itu sempat mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung terkait tiga aturan tersebut pada 14 Juli 2023. Sayangnya, Mahkamah menolak gugatan dengan pertimbangan Inpres bukan aturan yang mempunyai sanksi bila tak dijalankan. “Banyak sekali orang minta (Inpres dan Keppres ini) dicabut, termasuk para ulama.
Tapi perjuangan kami tidak menghasilkan apaAmelia lantas berharap agar Presiden Prabowo Subianto bisa mengevaluasi keberadaan Inpres dan Keppres tersebut. “Saya sudah sangat kecewa dengan Inpres ini. Keluarga saya semua sudah masa bodoh. Makanya yang bisa saya lakukan sekarang adalah menulis dan berbicara di podcast Pak Eddy. Itu semua membantu untuk menyampaikan kebenaran, ” kata dia.
Baca juga:
- Fadli Zon: HKTI Optimistis Kesejahteraan Petani akan Meningkat di Bawah Prabowo Subianto
- Prabowo Sebut Pemerintah Peduli Etnis Rohingya Hanya Pencitraan dalam Memori Hari Ini, 16 September 2017
- Rusia Ingatkan Serangan Israel di Lebanon Bikin Kacau Stabilitas Timur Tengah
- GFRIEND Akan Reuni untuk Rayakan 10 Tahun Debut
Siapa Eddy Wijaya Sebenarnya, Begini Profilnya
Sosok Eddy Wijaya adalah seorang podcaster kelahiran 17 Agustus 1972. Melalui akun YouTube @EdShareOn, Eddy mewawancarai banyak tokoh bangsa mulai dari pejabat negara, pakar hukum, pakar politik, politisi nasional, hingga selebritas Tanah Air. Pria dengan khas lesung pipi bagian kanan tersebut juga seorang nasionalis yang merupakan aktivis perjuangan kalangan terdiskriminasi dan pemerhati sosial dengan membantu masyarakat lewat yayasan Wijaya Peduli Bangsa. Gagasan-gagasannya terbentuk karena kerja kerasnya untuk mandiri sejak usia 13 tahun hingga sukses seperti sekarang. Bagi Eddy, dunia kerja tidak semulus yang dibayangkan, kegagalan dan penolakan menjadi hal biasa. Hal itulah yang membuatnya memegang teguh tagline “Sukses itu hanya masalah waktu”. (ADV)