Stres Akibat Trauma Pasca-COVID Bikin Kamu Makin Positif, Begini Temuan dari Profesor Asal Yale School of Medicine

JAKARTA - Bagi seseorang yang berhasil mengatasi dan melewati trauma, pengalaman tersebut bisa berakibat sesuatu yang mengejutkan: pertumbuhan diri ke arah yang lebih positif. Tak hanya itu, juga bikin seseorang lebih menghargai hidup, makin dekat dengan seseorang, hingga perubahan yang bersifat spiritual.

Berdasarkan penelitian, hampir sebagian manusia yang berhadapan dengan pengalaman traumatik bakal menghadapi pengalaman yang disebut pertumbuhan pasca-trauma. Kini, menurut survei yang dimulai sejak tahun lalu, pengalaman tersebut tengah dihadapi mereka yang menderita stres traumatik akibat pandemi COVID-19.

Penelitian yang diterbitkan hari Jumat lalu pada JAMA Open Network menemukan bahwa pertumbuhan diri pasca-trauma yang dihadapi 40 persen dari 3.000 partisipan. Sedangkan proses pengambilan data sendiri dipimpin langsung oleh Dr. Robert H. Pietrzak, profesor psikiatri di Yale School of Medicine

Selama proses pengumpulan data, para peneliti menanyai ribuan veteran militer sebagai partisipan. Sederet pertanyaan yang diajukan berkaitan langsung dengan perubahan personal yang dialami seseorang selama pandemi.

“Contohnya apakah mereka lebih menghargai kehidupan, jadi lebih dekat dengan teman dan seseorang yang dicintai, mengembangkan pemahaman spiritual yang lebih dalam, serta merasa mampu melakukan sesuatu lebih baik dalam kehidupan,” tulis Dr. Robert dalam penelitian berjudul “Association of Symptoms of Posttraumatic Stress Disorder With Posttraumatic Psychological Growth Among US Veterans During the COVID-19 Pandemic”.

Terpapar COVID-19 Bikin Orang Lebih Positif, Tapi…

 Dr. Robert bersama tim menemukan bahwa responden yang terpapar positif COVID-19 berpotensi lebih besar untuk mengalami kondisi pasca-trauma ketimbang mereka yang tidak terpapar. Temuan itu, yang berhubungan dengan penelitian sebelumnya terhadap kondisi mental veteran militer, tidaklah mengejutkan Dr. Robert.

“Pertumbuhan difasilitasi oleh perjuangan. Dalam tingkatan tertentu, kamu perlu memiliki gejala traumatik ini untuk tumbuh,” terang Dr. Robert.

Menurut Dr. Robert, proses perjuangan mengatasi pasca-trauma tidak bisa disamakan dengan pihak tertentu yang memanfaatkan lockdown demi mengoptimalkan produktivitas. Di sisi lain, mereka yang tidak mengalaminya juga tidak bisa serta-merta dianggap gagal.

Alih-alih menggunakannya untuk mengkritisi masyarakat di wilayah tertentu yang gagal dalam menghadapi pandemi, Dr. Robert justru berpendapat lain.

Menurutnya, mereka yang gejala tersebut mendapat kesempatan untuk melakukan refleksi. Sehingga, nantinya, bakal mengarahkan penderita pada perubahan yang positif.

“Biasanya, mereka yang mengalami perubahan punya pikiran yang berlebihan hingga cenderung mengganggu. Tetapi, seiring waktu berjalan, penderita (paska-traumatic, -red) bakal terbiasa dan mulai bisa mengontrolnya,” tegas Dr. Robert.

Ini bukanlah penelitian pertama yang mencoba memahami kondisi psikologi masyarakat di tengah pandemi. Sebelumnya, Dr. Robert juga pernah melakukan penelitian dengan tema serupa. Tapi dengan pertanyaan dan metode yang berbeda.

Selain itu, penelitian sejenis juga pernah dilakukan di China. Di negara tersebut, para peneliti mengamati aspek pertumbuhan paska-traumatik yang berhubungan dengan pandemi dari 400 responden. Penelitian tersebut menemukan konsep anyar yang disebut “Kreativitas Emosional”.

Menurut peneliti, konsep tersebut berhubungan dengan kemampuan untuk mengalami dan mengekspresikan emosi. Dan konsep itulah yang berperan penting dalam pembentukan pribadi yang lebih positif.