Kasus Gelar Doktor yang Kontroversial

Gelar doktor adalah puncak tertinggi dalam dunia akademik. Ia simbol perjuangan panjang, penguasaan ilmu, dan kontribusi nyata pada pengetahuan. Namun, apa jadinya jika simbol itu kehilangan maknanya? Di Indonesia, gelar doktor kini kerap menjadi subjek kecurigaan, bukan kebanggaan. Kontroversi yang melibatkan Bahlil Lahadalia—Menteri ESDM sekaligus Ketua Umum Partai Golkar—menjadi salah satu contoh.

Pada November 2024, kabar mengejutkan datang dari Universitas Indonesia (UI). Majelis Wali Amanat (MWA) memutuskan menangguhkan yudisium gelar doktor Bahlil. Sebelumnya, ia sudah dinyatakan lulus. Alasannya, Bahlil dianggap belum memenuhi Peraturan Rektor Nomor 26 Tahun 2022, yang mewajibkan mahasiswa program doktor berbasis penelitian menyelesaikan minimal empat semester sebelum ujian promosi.

Disertasi Bahlil sempat diterbitkan di jurnal yang diduga predator. Dalam dunia akademik, istilah ini merujuk pada jurnal yang menawarkan publikasi instan tanpa proses peer-review ketat. Meski kemudian Bahlil memublikasikan ulang karyanya di jurnal bereputasi seperti Scopus dan SINTA 2, ini tidak cukup menghapus jejak awal yang mencoreng kredibilitas. Masalah ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah standar akademik diabaikan demi mengejar gelar?

Jurnal predator adalah pilihan yang menggiurkan bagi mereka yang ingin menyelesaikan studi tanpa melalui proses yang ketat. Namun, di balik kemudahan itu ada harga yang mahal: hilangnya kepercayaan. Bayangkan universitas bergengsi, bahkan masuk yang terbaik harus menanggung stigma karena lalai dalam memverifikasi publikasi mahasiswa doktoral. Jika pengawasan terhadap jurnal seperti ini tidak diperketat, jalan pintas akan terus menjadi pilihan, dan standar akademik hanya menjadi formalitas.

Kontroversi ini tidak berhenti pada jurnal predator. Tuduhan bahwa disertasi Bahlil Lahadalia melibatkan "joki akademik" semakin memperkeruh situasi. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), yang menjadi narasumber utama dalam penelitian tersebut, menyatakan keberatan. Mereka mengungkapkan bahwa peneliti lain dari Universitas Indonesia diduga membantu wawancara dalam proses penelitian. Jika tuduhan ini benar, bagaimana disertasi tersebut bisa dianggap sebagai karya individu?

Disertasi adalah ujian tertinggi bagi seorang kandidat doktor. Ia harus mencerminkan pemikiran orisinal, independen, dan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kasus ini, disertasi lebih mirip hasil kolaborasi tak transparan dibandingkan kerja individu. Ini bukan hanya masalah Bahlil, tetapi cerminan dari budaya akademik yang mengorbankan integritas demi hasil instan.

Fenomena ini mencerminkan budaya permisif yang telah mengakar dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Tekanan untuk lulus cepat, obsesi terhadap gelar, dan minimnya pengawasan menciptakan celah bagi praktik curang. Universitas, yang seharusnya menjadi benteng integritas, sering kali abai terhadap prinsip dasar akademik. Jika budaya ini terus dibiarkan, bukan hanya individu seperti Bahlil yang akan menjadi sorotan, tetapi seluruh sistem pendidikan tinggi.

Kasus Bahlil Lahadalia bukan masalah personal. Ini mencerminkan kegagalan sistemik yang mengancam reputasi akademik Indonesia. Di tingkat global, universitas yang terhubung dengan jurnal predator akan kehilangan kredibilitas. Di era digital, reputasi adalah segalanya. Bayangkan seorang peneliti muda berbakat yang harus menanggung stigma hanya karena afiliasi mereka dengan institusi yang dianggap permisif terhadap pelanggaran etika. Ini bukan hanya soal nama baik universitas, tetapi masa depan akademisi Indonesia.

Memang terkesan normatif dan selalu berulang, tapi memang pemerintah dan universitas harus segera menata ulang sistem pendidikan tinggi. Audit independen harus dilakukan untuk memastikan setiap disertasi adalah hasil kerja orisinal. Universitas juga perlu menggunakan teknologi untuk memverifikasi kredibilitas jurnal tempat mahasiswa memublikasikan penelitian mereka. Penegakan aturan harus lebih tegas, termasuk mencabut gelar akademik jika ditemukan pelanggaran. Selain itu, etika akademik harus diperkuat untuk menanamkan nilai kejujuran di kalangan mahasiswa dan dosen. Gelar doktor seharusnya menjadi simbol perjuangan intelektual, bukan sekadar formalitas kosong. Tanpa integritas, gelar ini kehilangan maknanya.

Menariknya, di tengah kontroversi ini, netizen memainkan peran penting. Melalui media sosial, mereka mengungkap kejanggalan yang terlewatkan oleh lembaga akademik. Di era keterbukaan informasi, transparansi bukan lagi domain eksklusif institusi, tetapi juga masyarakat. Namun, jika ini bisa menimpa seorang tokoh publik seperti Bahlil Lahadalia, bagaimana dengan mereka yang bukan orang terkenal atau tidak memiliki sorotan? Berapa banyak kasus serupa yang luput dari perhatian?