Komnas: Kampanye Seksis di Pilkada 2024 Digunakan untuk Cari Perhatian Publik

JAKARTA - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memandang pernyataan seksisme, subordinasi perempuan, dan kekerasan seksual dalam pelaksanaan kampanye calon Pilkada 2024 digunakan sebagai alat kampanye untuk meraup perhatian publik.

"Diskriminasi atau seksisme ini digunakan sebagai alat kampanye untuk meraup perhatian publik," kata Anggota Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dalam konferensi pers daring di Jakarta, Kamis 7 November, disitat Antara. 

Siti mengatakan bahwa Komnas Perempuan mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan dalam penyelenggaraan Pemilu sebagai segala bentuk kekerasan yang ditujukan pada perempuan.

Perempuan atau kekerasan yang mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional karena partisipasinya dan atau aspirasi mereka untuk mendapatkan jabatan publik dan atau terlibat dalam aktivitas politik dalam penyelenggaraan Pemilu, kata dia.

Pihaknya mencontohkan pernyataan calon Wakil Gubernur Jakarta nomor urut 1 yang meminta agar janda kaya menikahi pengangguran. Kemudian calon Gubernur Independen di DKI Jakarta yang menyatakan guru perempuan itu sengaja ditempatkan di Taman Kanak-kanak untuk menyiapkan anak-anak menjadi bagian dari komunitas LGBT.

Ada juga calon Wakil Gubernur Banten yang melontarkan pernyataan bahwa perempuan jangan diberi beban berat, apalagi menjadi gubernur.

"Ataupun baliho-baliho atau poster-poster yang bernada seksis dari pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Sleman Harda Kiswaya dan Danang Maharsa yang mengatakan memilih imam dalam artian pemimpin kok wedok atau perempuan. Jangan ya Dik, imam itu harus laki-laki. Yang berarti kalau memilih itu harus laki-laki, bukan perempuan," kata Siti Aminah Tardi.

Komnas Perempuan juga menyoroti pernyataan penutup pada debat terbuka calon Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku yang berkonotasi seksual.

"Kekerasan ini ditujukan untuk membatasi, menghalangi, dan melemahkan perempuan sehingga tidak setara dalam memilih, dipilih, mencalonkan diri, berkampanye, berserikat berkumpul, berekspresi, atau berpendapat atas dirinya sendiri. Kami berpandangan ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam penyelenggaraan Pemilu," kata Siti.