Lima Alasan Manchester United Pecat Erik ten Hag

JAKARTA - Erik ten Hag resmi meninggalkan kursi Manajer Manchester United pada Senin, 28 Oktober 2024, waktu setempat.

Kepergian pelatih asal Belanda tersebut tak lepas dari hasil minor The Red Devils pada awal musim ini.

Musim lalu, Manchester United finis di posisi kedelapan klasemen. Sejak Liga Inggris yang memisahkan diri dan dibentuk pada 1992, posisi mereka tidak pernah lebih rendah dari itu.

Selama 38 pertandingan, The Red Devils kebobolan satu gol lebih banyak daripada yang mereka cetak. Catatan itu merupakan rekor terburuk klub di era Premier League.

Faktanya, terakhir kali tim Manchester United menghasilkan selisih gol negatif adalah pada 1990 ketika kita masih menyebutnya Divisi Pertama.

Masalahnya, baru awal musim saja, Manchester United sudah terpuruk. Dalam sembilan pertandingan liga musim ini, mereka berada di posisi ke-14.

Marcus Rashford dan kolega kebobolan tiga gol lebih banyak daripada yang mereka cetak. Padahal, mereka masih belum pernah bermain melawan Manchester City, Arsenal, atau Chelsea.

Memang, ini bukan awal terburuk Manchester United. Sebelumnya kala Ole Gunnar Solskjaer mengambil alih pada 2019, The Red Devils finis di peringkat kesembilan musim 2018/2019.

Mereka kemudian berhasil bangkit dua musim berikutnya dengan finis sebagai peringkat ketiga dan runner-up.

Namun, tampaknya kebangkitan itu yang tak dilihat ketika Manchester United di tangan Erik ten Hag.

Pada musim pertama pelatih 54 tahun itu, Manchester United memang finis di peringkat ketiga liga.

Hanya saja, musim setelahnya, 2023/2024, The Red Devils jeblok dengan berakhir di peringkat kedelapan.

Saat para petinggi berharap Erik ten Hag membawa tim bangkit musim ini dengan memperpanjang kontraknya pada musim panas kemarin, ternyata perjalanannya tak sesuai ekspektasi.

Pemilik minoritas baru klub, Jim Ratcliffe, yang mengambil alih operasi sepak bola klub, ditambah Dan Ashworth selaku Direktur Olahraga, menilai target finis di posisi ketujuh, keenam, atau bahkan kelima musim ini tampaknya mustahil jika terus seperti ini.

Ada lima alasan sederhana yang menunjukkan bagaimana petinggi klub sudah mencapai titik di mana tidak ada toleransi lagi buat Ten Hag.

Poin

Basis data Stats Perform kembali ke Liga Inggris musim 2008/2009. Sejak saat itu, Manchester United telah memiliki enam manajer penuh waktu.

Berikut ini adalah cara mereka mengumpulkan poin per pertandingan:

Point per game (dok. Opta).

Selama musim 38 pertandingan, 1,7 poin per pertandingan setara dengan sekitar 65 poin.

Dalam era 38 pertandingan Liga Inggris, tim asuhan Sir Alex Ferguson tidak pernah menang kurang dari 75 poin.

Kemudian, dalam dua tahun Louis van Gaal, 66 poin adalah yang terburuk.

Bergeser ke dua musim penuh Jose Mourinho tidak pernah di bawah 69. Terakhir, poin minimum Ole Gunnar Solskjaer untuk satu musim penuh mencapai titik terendah di angka 66.

Setelah rangkaian kesuksesan Ferguson yang tak tertandingi, David Moyes mengambil alih dan dalam satu-satunya musimnya. Tim mencetak rata-rata 1,68 poin per pertandingan. Ia dipecat setelah 34 pertandingan.

Tim asuhan Ten Hag memenangi poin dengan rasio yang hampir sama persis, dengan 84 pertandingan Liga Inggris.

Ten Hag sebetulnya lebih tinggi ketimbang Moyes, tapi tepat saja dia ada di peringkat kedua dari bawah.

Kebobolan

Secara umum, masalah terbesar era Ten Hag adalah bahwa Manchester United tampaknya membiarkan tim lain mencetak gol untuk bersenang-senang.

Berikut ini adalah perbandingan pertahanan dengan semua manajer sebelumnya:

Kebobolan per game (dok. Opta).

Selama lima musim Liga Inggris terakhir, rata-rata tim peringkat 10 telah kebobolan 50,4 gol per musim.

Selama dua musim Ten Hag di Liga Inggris, The Red Devils sedikit lebih buruk dari itu, dengan rasio 50,5 kebobolan dalam 38 pertandingan.

Alasan mengapa pertahanan mereka sangat buruk juga cukup sederhana. Di bawah Ten Hag, mereka kebobolan karena menerima lebih banyak tembakan. Catatan itu terburuk di banding lima manajer penuh waktu sebelumnya:

Tembakan yang diterima per game (dok. Opta).

Selain itu, mereka kebobolan 30 sentuhan lawan di area penalti per pertandingan. Catatan terburuk, sebelum Ten Hag, adalah 21 sentuhan yang diterima per pertandingan selama era Solskjaer.

Sebagian besar manajer terpaksa membuat kompromi dengan cara mereka mendekati sisi pertahanan permainan.

Niatnya kebobolan lebih sedikit dengan bertahan secara agresif, tetapi malah kebobolan tembakan berkualitas lebih tinggi dari beberapa kali agresi gagal.

Ada juga skema membiarkan banyak sentuhan di area penalti dengan catatan membatasi kualitas peluang melalui banyaknya pemain yang berada di belakang bola. Namun, cara itu pun gagal.

Di bawah Ten Hag, pertahanan Manchester United memiliki semua kelemahan dan tidak ada kelebihan.

Gol

Kompromi lain yang lebih besar adalah antara pertahanan dan serangan. Mungkin The Red Devils hidup dengan pertahanan lemah karena mendorong begitu banyak pemain ke depan demi mencetak begitu banyak gol.

Hal itu berjalan baik jika melihat Barcelona. Di bawah Hansi Flick, mereka menekan dengan sangat tinggi, mereka hidup di garis offside yang sangat tipis dan memang kebobolan cukup banyak gol.

Namun, mereka mencetak begitu banyak gol sehingga itu tidak menjadi masalah. Mereka mungkin tim terbaik di dunia saat ini karena risiko yang mereka ambil.

Masalahnya, dengan penurunan pertahanan yang terus-menerus di bawah Ten Hag, tidak ada peningkatan nyata di sisi serangan:

Gol per game (dok. Opta).

Dalam dua musim pertama Ten Hag, Manchester United cukup beruntung untuk finis setinggi itu (peringkat ketiga) di Liga Inggris 2022/2023, tapi kemudian merosot ke peringkat kedelapan (2023/2024).

Berdasarkan perkiraan poin--dari metrik yang melihat selisih gol yang diharapkan untuk setiap pertandingan dan memberikan perkiraan jumlah poin untuk kedua tim--Manchester United berada di urutan keenam pada musim 2022/2023 dan ke-15 musim lalu.

Satu area yang membuat Ten Hag kurang beruntung adalah di lini serang. Timnya menciptakan 1,64 gol yang diharapkan per pertandingan.

Catatan itu sedikit di bawah angka terbaik gabungan 1,65 dari era Ferguson dan keseluruhan masa Solskjaer.

Namun, ternyata gol yang diharapkan dan gol aktual mereka benar-benar jauh berbeda.

Khususnya musim ini, penyelesaian Manchester United buruk. Selisih antara gol yang diharapkan dan gol aktual mereka adalah yang terbesar di Liga Inggris dalam sembilan pertandingan:

Gol aktual dikurang gol yang diharapkan (dok. Opta).

Namun, bahkan dengan memperhitungkan performa buruk itu, Manchester United memiliki total poin yang diharapkan untuk bisa menempatkan mereka di posisi ke-10. Nyatanya, kondisi terkini lagi-lagi meleset.

Ceritanya sama jika Anda membandingkannya dengan lima manajer Manchester United sebelum Ten Hag:

Rasio konversi gol dari gol yang diharapkan (dok. Opta).

The Red Devils asuhan Ten Hag hanya menciptakan 50,7 persen dari gol yang diharapkan, terendah dibanding lima manajer sebelumnya.

Pressing

Ketika Manchester United mengumumkan bahwa mereka merekrut Ten Hag dari Ajax, mereka menyebutnya sebagai manajer yang terkenal karena permainan sepak bola menyerang atraktif.

Selama pramusim pertamanya bersama klub, Ten Hag pun pernah berkata demikian.

"Kami ingin melakukan press, kami ingin melakukan press sepanjang hari, dan bermain sepak bola proaktif."

Dua musim lebih berlalu dan press tersebut tidak pernah muncul.

Ukurannya bisa dilihat dari niat tim untuk melakukan press dan operan yang diizinkan per aksi bertahan (asses allowed per defensive action/PPDA).

PPDA adalah jumlah operan yang diizinkan tim di luar sepertiga pertahanan mereka sebelum mencoba melakukan tekel, intersepsi, pelanggaran, atau memblok operan.

Kemudian, juga dapat dilihat persentase penyelesaian operan lawan yang diizinkan untuk melihat seberapa efektif press tersebut sebenarnya.

Di bawah Ten Hag, PPDA Manchester United dan angka penyelesaian operan yang diizinkan lebih tinggi daripada yang pernah terjadi di bawah lima manajer penuh waktu sebelumnya:

Operan lawan yang diizinkan sebelum aksi defensif (dok. Opta).

Melalui sembilan pertandingan musim ini, PPDA The Red Devils berada di peringkat ke-15 di liga dan delapan tim lainnya mengizinkan persentase penyelesaian operan yang lebih rendah.

Penguasaan Bola

Masalah inti dari era Ten Hag sederhana, yaitu mereka tidak pernah menemukan cara untuk menguasai bola.

Setiap klub besar di dunia memiliki rencana tentang cara mendapatkan bola, cara mempertahankannya, dan cara menggunakan kedua hal itu untuk menciptakan skenario selama pertandingan demi menghasilkan lebih banyak peluang daripada lawan.

Meskipun ada beberapa contoh klub yang memenangi banyak poin tanpa banyak menguasai bola. Misalnya saja Leicester City saat juara Liga Inggris, Atletico Madrid di bawah Diego Simeone, Inter Milan di bawah Antonio Conte, dan Monaco.

Namun, tetap saja sebagian besar tim modern menciptakan kesuksesan jangka panjang yang berkelanjutan dengan menjauhkan bola dari lawan mereka.

Ten Hag tentu saja disebut sebagai tipe pelatih yang ingin melakukan hal itu. Masalahnya, yang terjadi malah sebaliknya.

Manchester United mengendalikan penguasaan bola yang jauh lebih rendah di bawah Ten Hag daripada di bawah lima manajer penuh waktu United sebelumnya:

Persentase penguasaan bola per game (dok. Opta).

Biasanya, sebagian besar manajer yang sukses telah mengembangkan beberapa gaya yang kohesif dengan tim jauh sebelum tahun ketiga.

Beberapa hal mudah diidentifikasi soal yang mereka coba lakukan dan yang jelas mereka lakukan dengan baik.

Orang-orang seperti Jurgen Klopp (Liverpool), Pep Guardiola (Manchester City), dan Mikel Arteta (Arsenal) membuat tim bermain dengan cara tertentu sebelum para manajer itu akhirnya membuat tim mematenkan bermain dengan cara tertentu di level elite karena terbukti berjalan dengan baik.

Sementara di Manchester United, bukan hanya hasilnya yang tidak terlihat, tetapi juga tidak ada bukti bahwa mereka berada di jalur mencoba melakukan sesuatu atau menuju sesuatu.

Jika ada ide strategis dan gaya apa pun yang sedang mereka upayakan, mustahil untuk tidak melihatnya.

Mereka benar-benar tidak berdaya tanpa bola dan tidak pernah menemukan cara untuk menguasainya di bawah Ten Hag.