Kenapa Rasa Jijik Ada di Dalam Diri Kita

JAKARTA - Pada akhir 1860-an, Charles Darwin menyatakan bahwa perasaan jijik bisa memiliki tujuan evolusioner. Rasa jijik, tulisnya, adalah bawaan lahir dan tidak disengaja.

Hal itu berevolusi untuk mencegah nenek moyang kita memakan makanan busuk yang dapat membunuh mereka. Mengutip National Geographic, Jumat, 2 April 2021, Darwin berhipotesis manusia purba yang paling rentan terhadap rasa jijik bertahan untuk mewariskan gen mereka.

Sementara, yang lebih berani secara nutrisi punah. Penelitian Darwin pada dasarnya benar. Rasa jijik adalah aspek utama dari sistem kekebalan perilaku, kumpulan tindakan yang dipengaruhi oleh beberapa naluri paling dasar yang menjaga tubuh kita dalam kondisi prima.

"Dalam hal menjaga kita tetap sehat, rasa jijik dikaitkan dengan lebih sedikit infeksi, jadi ini adalah emosi yang membantu dalam konteks yang relevan dengan penyakit," kata Joshua Ackerman, seorang profesor psikologi di University of Michigan.

Pada Januari, misalnya, para peneliti melaporkan orang-orang yang cenderung jijik memang bernasib lebih baik selama pandemi COVID-19. Hal tersebut terjadi mungkin karena mereka cenderung melakukan tindakan yang lebih higienis seperti mencuci tangan.

Meski demikian rasa jijik lebih kompleks dari pada yang Darwin pikirkan. Studi juga menunjukkan bahwa apa yang kita anggap menjijikkan berasal dari tambal sulam respons bawaan dan berbagai pengalaman hidup yang bergantung pada budaya dan lingkungan.

Bagi sebagian orang, rasa jijik berlebihan mencegah melakukan hal-hal kotor yang sebenarnya membuat tetap sehat, seperti makan makanan fermentasi kaya probiotik.

"Ini bisa menjadi pedang bermata dua karena juga dikaitkan dengan keengganan pada hal-hal asing, seperti makanan, beberapa di antaranya benar-benar dapat meningkatkan kesehatan dan fungsi kekebalan tubuh kita," kata Ackerman.

Penelitian lebih lanjut

Baru-baru ini ada penelitian tentang efek perlindungan dari rasa jijik. Para peneliti melakukan penelitian di hutan hujan Amazon terhadap suku asli, Shuar. Alasannya mereka menjadi objek karena peneliti harus mempelajarinya di lingkungan dengan patogen tinggi yang lebih mirip dengan bagaimana nenek moyang hidup.

Para peneliti kemudian mengumpulkan sampel darah dan feses dari para partisipan dan membandingkan kesehatan mereka dengan tingkat rasa jijik mereka. Seperti yang dilaporkan para ilmuwan pada 2021 Februari dari Prosiding National Academy of Sciences, individu yang memiliki skor tertinggi dalam sensitivitas jijik memiliki infeksi virus dan bakteri paling sedikit.

Dalam komunitas yang diteliti, responden tidak dapat menghindari hal-hal yang mungkin dianggap kotor oleh sebagian orang seperti kotoran dan rasa jijik mereka tidak melindungi mereka dari parasit yang lebih besar. Namun, rasa jijik membantu mereka meminimalkan kontak dengan ekskresi tubuh yang mungkin membawa penyakit mikroba.

Hal tersebut membuat ahli parasit Tara Cepon-Robins percaya bahwa rasa jijik berevolusi untuk melindungi nenek moyang dari penyakit, seperti yang dihipotesiskan oleh Darwin. Para partisipan sering terlibat dalam kegiatan subsisten seperti berburu, memancing, hortikultura, dan mencari makan.

Kegiatan tersebut membuat mereka bersentuhan dengan kemungkinan patogen, termasuk cacing gelang dan cacing cambuk, yang tumbuh subur di tanah yang terkontaminasi kotoran. 

“Mereka paling merasa jijik dengan hal-hal seperti langsung menginjak kotoran dan meminum chicha, minuman yang dibuat dengan mengunyah yuca dan memuntahkannya,” kata Cepon-Robins. Chicha adalah minuman fermentasi tradisional dan salah satu sumber utama air di komunitas Shuar yang lebih pedesaan.

Para Peneliti di berbagai bidang masih mengeksplorasi rasa jijik agar dapat lebih memahami dunia dan diri sendiri. Rasa jijik adalah bagian dari keseimbangan masyarakat. Terlalu sedikit dan kita mungkin sakit. Terlalu banyak dapat mengisolasi kita bahkan membahayakan kesehatan. Terus mengungkap permadani yang rumit ini dapat membantu para peneliti menguraikan berbagai perilaku manusia.

“Ada hal-hal yang kami anggap menjijikkan, tetapi pembiasaan dapat terjadi,” kata Cepon-Robins.

“Perawat terbiasa menangani cairan tubuh. Ketakutan kita akan hal-hal yang mungkin sedikit menjijikkan hilang ketika kita melihatnya berulang kali — dan hal itu tidak membunuh kita," tutup Cepon-Robins.

*Baca Informasi lain soal PENGETAHUAN atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya