Eksklusif, Ketua LSF Naswardi: Atensi Penonton Terbesar pada Perendahan Kemanusiaan dan Agama
Perilaku penonton film Indonesia menarik untuk dibahas di tengah menjamurnya film horor di tanah air saat ini. Menurut Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Naswardi, dari sepuluh film baru yang tayang di bioskop, enam di antaranya bergenre horor. Meski demikian, atensi terbesar penonton ada pada film yang mengusung persoalan perendahan harkat, martabat kemanusiaan, dan agama.
***
Menurut Dr. Naswardi, MM, ME, perilaku penonton film ini diketahui ketika Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) LSF melakukan riset pada tahun 2022 silam. "Ada 6 kriteria yang kami sebarkan kepada responden: pornografi, kekerasan, narkotika dan zat adiktif, perbuatan melawan hukum, serta perendahan harkat, martabat kemanusiaan, dan agama. Dari enam kriteria tersebut, yang paling diperhatikan publik adalah soal perendahan harkat, martabat kemanusiaan, dan agama," katanya.
Pada awalnya, lanjut Naswardi, pihaknya mengkhawatirkan persoalan pornografi dan kekerasan yang akan mendapat atensi besar dari penonton film Indonesia. "Ternyata audiens yang kami teliti tidak terlalu mengkhawatirkan soal pornografi dan kekerasan dalam film yang tayang," katanya.
Penonton Indonesia diketahui sangat menyukai film horor. Data ini diterjemahkan oleh produser dan sineas dengan memproduksi film sesuai keinginan pasar. Dan ternyata, film horor memang disambut dengan baik. "Kalau mereka membuat film dengan genre lain, pertaruhannya besar. Mereka takut tidak balik modal karena filmnya tidak laku. Itulah mengapa film horor merajai pasaran saat ini," ungkapnya.
Persoalan lain yang juga menarik adalah belum adanya regulasi yang rinci soal film yang tayang di jaringan teknologi informatika seperti Over The Top (OTT) dan Video on Demand (VOD). Tidak heran jika ada kesenjangan antara film di OTT dan VOD; seperti RCTI+, Vision+, vidio.com, Netflix, VIU, Iflix, Disney Hotstar, Mola, WeTV, Apple TV, dll., dengan film yang dipublikasikan di bioskop.
"Kami mendesak legislatif yang berwenang merevisi UU untuk menuntaskan revisi UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Jadi aturan rinci soal film yang tayang di OTT dan VOD jelas dan melewati sensor seperti film yang tayang di bioskop," ujarnya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, Irfan Meidianto, dan Dandi Januar saat singgah ke kantor VOI di bilangan Tanah Abang, Jakarta Pusat belum lama ini.
Selamat sudah terpilih sebagai Ketua Baru LSF Republik Indonesia
Terima kasih, alhamdulillah, terima kasih atas dukungan semua pihak, termasuk media. Kami dipercaya untuk melanjutkan kerja-kerja penelitian dan penilaian film (sensor) untuk empat tahun ke depan.
Apa saja program yang akan dilaksanakan pada periode ini?
Tugas LSF adalah memastikan ketepatan penelitian dan penilaian film, terutama dalam klasifikasi dan penggolongan usia. Ada film untuk semua umur (SU), 13 tahun ke atas, 17 tahun ke atas, dan 21 tahun ke atas. Jadi prosesnya harus dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Setelah itu, sebuah film akan mendapatkan tanda lulus sensor. Itu yang akan kami lakukan.
Apa lagi selain itu?
Kami ingin menerapkan teknologi berbasis AI (artificial intelligence) dalam kurasi dan filtrasi film. Jadi, tidak hanya mengandalkan SDM yang selama ini masuk kelompok penyensoran. Diharapkan lebih banyak film yang bisa disensor.
Kapan akan diterapkan?
Ini masih dalam kajian. Kami baru saja melakukan studi banding ke Korea Selatan. Lembaga klasifikasi di sana (Korea Media Rating Board) sudah menggunakan AI dalam klasifikasi film dan penggolongan usia. Indonesia belum memiliki teknologi AI untuk itu. Kita telah mempelajari teknologi yang digunakan di Korea dan China. Nanti akan dinilai mana yang lebih unggul untuk kita adopsi.
Kalau AI digunakan, apakah SDM dirumahkan? Berapa banyak SDM penyensoran yang ada di LSF?
Kita punya 5 studio standar dan 1 studio dengan kapasitas besar (70 orang). Lima studio itu dioperasikan oleh anggota LSF dan tenaga sensor film (34 orang), serta ada juga operator. Meski menggunakan AI, kita tidak akan mengurangi SDM yang ada. Soalnya jumlah film yang disensor banyak, apalagi kalau UU Perfilman direvisi, materi yang disensor akan bertambah lagi, termasuk film yang tayang di OTT dan VOD juga akan disensor.
Bagaimana dengan materi streaming yang siarnya langsung, apakah harus disensor?
Teman-teman di jaringan teknologi informatika berbasis streaming sudah membentuk AVISI (Asosiasi Video Streaming Indonesia). Ada sekitar 11 anggotanya, termasuk Mola, WeTV, dll. Sekali lagi, aturannya belum ada, jadi masih berbasis pada kesadaran dan kepatuhan.
Ada wacana soal sensor mandiri, sejauh mana ini diterapkan oleh pelaku industri di sektor perfilman?
Kami mendorong sineas, produser, dan pelaku di industri film untuk melakukan sensor mandiri pada film yang mereka buat. LSF memiliki program Literasi Hukum Perfilman, yang menyasar SMK Film, program studi perfilman di kampus, asosiasi film, dan rumah produksi. Sebelum produksi film dimulai, mestinya sudah ada perencanaan untuk golongan usia berapa film tersebut. Misalnya, untuk usia 13 tahun, tidak boleh ada adegan yang berlebihan soal sadisme dan pornografi. Sensor mandiri ini tidak hanya dilakukan di Indonesia, tetapi juga di Jepang, Malaysia, Korea, dll. Sineas dan pelaku industri film di negara-negara tersebut juga melakukan hal yang sama.
Jika teman-teman sudah memahami sensor mandiri, semua pihak akan lebih dimudahkan, baik itu pembuat film maupun LSF. Soalnya, jika ada sebuah film yang direncanakan untuk usia 17 tahun, namun menurut LSF berbeda, maka rumah produksi harus merevisi. Itu kan butuh tenaga dan waktu lagi. Kami akan menggalakkan budaya sensor mandiri. Salah satunya memastikan penonton menonton sesuai usia. Kami juga sudah bekerja sama dengan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) untuk mengawasi hal ini. Literasi menonton masyarakat harus terus ditingkatkan.
Orang awam tahunya LSF menyensor film, selain itu apa lagi tugasnya?
Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, tugas LSF adalah menyensor film cerita dan non-cerita serta iklan. Semua ini harus melalui penetapan, penilaian, dan penelitian dari LSF. Hanya film yang sudah mendapat tanda lulus sensor saja yang boleh tayang di masyarakat, baik di bioskop, lembaga penyiaran (TV), maupun jaringan teknologi informatika (OTT dan VOD). Fokus kami adalah pada film layar lebar yang tayang di bioskop.
Untuk film yang tayang di TV, selain diatur oleh UU Perfilman, juga mengacu pada UU Penyiaran. Dalam UU Penyiaran, isi siaran harus mendapat tanda lulus sensor dari LSF, kecuali untuk berita dan live streaming. Yang belum rinci aturannya adalah untuk jaringan teknologi informatika, karena regulasinya belum lengkap. Basisnya hanya kepatuhan dan kesadaran pembuat film. Untuk OTT dan VOD, baru sekitar 5% judul yang bisa kita sensor.
Secara umum di negara kita, regulasi tertinggal dari kemajuan teknologi. Jalan tengahnya seperti apa?
Dalam UU No. 33 Tahun 2009, belum diatur secara rinci mengenai teknologi digital dan pemanfaatan jaringan teknologi informatika. Oleh karena itu, revisi UU sangat diperlukan agar OTT dan VOD juga bisa disensor. Karena belum ada aturannya, film di OTT cenderung lebih “berani”. Klasifikasinya mengikuti standar organisasi di luar negeri, ini menjadi masalah karena seharusnya mengikuti regulasi di Indonesia. Solusinya, kami melakukan pendekatan dan imbauan kepada rumah produksi, namun karena hanya berupa imbauan, tidak ada ikatan yang kuat. Selanjutnya, kami mendorong DPR untuk melakukan revisi UU Perfilman.
Sekarang film di OTT lebih vulgar karena aturannya belum ada. Jadi ada kesenjangan dengan film bioskop. Ke depan bagaimana?
Soal OTT, ada pandangan bahwa ini masuk wilayah pribadi karena untuk mengaksesnya berbayar. Kita tunggu saja revisi UU Perfilman soal ini.
Ada anggapan bahwa sensor itu mengungkung kreativitas sineas yang menggebu-gebu. Bagaimana tanggapan Anda?
Narasi bahwa karya film terbatasi oleh sensor memang ada benarnya, tapi itu dulu, sebelum ada UU No. 33 Tahun 2009. Sebelumnya, Badan Sensor Film (BSF) punya kewenangan untuk memotong langsung pita film seluloid yang digunakan. Namun, dengan perubahan teknologi sekarang, pemotongan pita tidak bisa lagi dilakukan karena film sudah berbentuk digital. Yang ada sekarang bukanlah memotong adegan, melainkan pengklasifikasian, yakni menentukan batasan usia penonton yang sesuai dengan film tersebut. Jika ada perbaikan, LSF hanya memberikan batasan. Penggunaan kata "sensor" merupakan amanat UU, namun yang kami lakukan adalah pengklasifikasian. Jadi, kami tidak membatasi sineas untuk berkreativitas, hanya perlu memastikan bahwa film mereka sesuai dengan batasan usia penonton.
Soal akuntabilitas dan transparansi dalam menyensor film, apakah bisa dibuka kepada publik?
Dalam menjalankan tugasnya, LSF diawasi oleh lembaga negara lain. Alhamdulillah, kemarin LSF mendapat predikat terbaik dari Ombudsman RI untuk pelayanan publik. Dari Komisi Informasi Pusat (KIP), kami juga mendapat predikat keterbukaan informasi. Dari Perpustakaan Nasional, kami menerima penghargaan terkait pengarsipan film. Semua penghargaan itu menjadi tolok ukur akuntabilitas, transparansi, dan kinerja kami dalam proses penelitian dan penilaian film.
Hasil penyensoran juga kami publikasikan, sehingga masyarakat bisa menilai. Kami memiliki layanan publik berbasis aplikasi untuk penyensoran yang bisa diakses oleh semua orang. Film apa saja yang disensor dan apa hasil klasifikasinya, semuanya tersedia. Untuk film yang sudah lulus sensor, ada panduan tentang judul, sinopsis, pemain, dan lain-lain. Setiap akhir pekan, informasi ini selalu ditunggu oleh Komunitas Sahabat Sensor Mandiri. Ini adalah bentuk literasi yang kami berikan kepada publik sebelum menonton. Jadi, akuntabilitas dan transparansi kinerja LSF dapat dilihat oleh publik.
Baca juga:
Dalam tugasnya, apakah LSF pernah mendapat tekanan oleh pihak tertentu untuk meloloskan atau tidak meloloskan sebuah film?
Dalam menjalankan tugas, LSF itu independen, dan kami murni menjalankan UU. Lembaga atau pihak lain tidak bisa mengintervensi. Yang ada itu masukan publik atau penonton, salah satunya untuk film berjudul 'Kiblat'. Yang kemudian direvisi oleh rumah produksinya, baik judul maupun poster mengalami perubahan. Kami selalu terbuka atas masukan dari tokoh agama, tokoh masyarakat, pendidik, dan penonton yang bisa kami jadikan acuan dalam menilai sebuah film. Kami langsung merespons kalau ada masukan.
Sekarang ini seperti apa persepsi publik terhadap film yang bernuansa kekerasan atau pornografi?
LSF punya divisi penelitian dan pengembangan, mereka yang melakukan kajian pada isu aktual perfilman. Di tahun 2022, kami meneliti persepsi publik terhadap penyensoran film. Ada 6 kriteria yang kami sebarkan: pornografi, kekerasan, narkotika dan zat adiktif, perbuatan melawan hukum, serta perendahan harkat, martabat kemanusiaan dan agama. Dari enam kriteria itu, yang paling diperhatikan publik adalah kriteria perendahan harkat, martabat kemanusiaan, dan agama. Pornografi dan kekerasan tak terlalu jadi atensi. Dari penelitian ini, kami jadi punya atensi khusus kalau ada film yang menyinggung perendahan harkat, martabat kemanusiaan, dan agama. Awalnya kami khawatir dengan pornografi dan kekerasan, ternyata audiens yang kami teliti tidak mengkhawatirkan itu.
Apakah ada korelasi penelitian itu dengan menjamurnya film horor yang banyak adegan kekerasan dengan film dewasa?
Tahun 2023, penelitian kami lanjutkan soal genre film apa saja yang disukai publik. Penelitian dilakukan di Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, dan Medan. Ternyata film yang paling disukai responden adalah film horor, lalu film komedi, dan ketiga film drama.
Kenapa film horor?
Setelah kita dalami, ternyata kandungan cerita dalam film horor Indonesia beririsan kuat dengan kehidupan masa lalu yang dialami responden. Jadi, film yang diangkat latar ceritanya mirip dengan yang dialami responden saat masih kecil. Misalnya, tak main di luar rumah waktu magrib. Data ini digunakan pembuat film. Teori pasar itu berdasarkan permintaan dan penawaran. Karena film horor tinggi permintaannya, yang diproduksi kebanyakan film horor. Jangan heran dari 10 film yang tayang, 6 di antaranya film horor.
Film bertema anak juga kurang, bagaimana Anda melihatnya?
Dari 41.000 lebih film yang diproduksi tahun lalu, film anak-anak (semua umur) berada di urutan ketiga. Pertama 13 tahun ke atas, lalu 17 tahun ke atas, semua umur dan 21 tahun ke atas. Kita memang ada 83 juta anak-anak. Namun dari sisi film yang dibuat ada kesenjangan, dari 10 film ada 1 film semua umur sudah bagus, kadang tak ada. Lalu, populasi anak-anak yang menonton film juga sedikit. Jadi, rumah produksi mikir dua kali untuk bikin film anak, takut enggak balik modal. Kecuali ceritanya kuat sekali.
Lalu apa yang bisa dilakukan?
Menurut saya, kementerian dan lembaga harus memberikan dukungan pada produksi film anak. Agar film anak tetap ada, dan anak-anak menonton film untuk usia mereka.
Naswardi Ikut Mengarahkan dan Temani Anak Menonton Film
Sudah seharusnya anak-anak menonton film sesuai dengan umurnya. Saat akhir pekan, Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Dr. Naswardi, MM, ME., meluangkan waktu menemani anak-anaknya menonton film. Ia tak melarang anak-anaknya menonton film namun dengan catatan harus sesuai dengan petunjuk usia.
Untuk hari kerja, ia memang menghabiskan waktu untuk aktivitas di kantor LSF dan sebagai dosen. “Saya itu berangkat saat anak-anak belum bangun dan pulang ke rumah ketika mereka sudah di pembaringan. Karena itu saya diprotes anak-anak. Ya akhirnya waktu di akhir pekan saya dedikasikan untuk mereka. Makanya kadang slow response kalau akhir pekan, hehehe,” aku pria kelahiran Balimbing, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, 16 Juli 1983.
Salah satu aktivitas bersama anak ini dilakukan Naswardi menemani anak-anaknya menonton film. Apa yang dikampanyekan LSF kepada masyarakat dalam skala kecil di lingkungan keluarga ternyata diterapkan oleh Naswardi. Ia juga mempraktikkan kepada anak-anaknya untuk menonton film sesuai panduan usia yang sudah ditetapkan LSF.
“Anak saya yang pertama sudah kelihatan suka menonton film, sebagai orang tua saya harus mengarahkan film apa saja yang boleh dia tonton. Kalau di akhir pekan saya temani anak-anak menonton. Saya tidak membatasi tapi mendampingi mereka menonton film yang sesuai usianya,” katanya.
Yang dilakukan Naswardi adalah selain memberikan rambu-rambu adalah pengawasan agar anak-anaknya tetap pada jalur yang benar. “Anak-anak sekarang itu kecerdasan digitalnya lebih bagus dari orangtuanya. Kalau rasa ingin tahunya tinggi mereka bisa mencari dari jalur resmi dan jalur tidak resmi,” lanjut Naswardi yang juga menekankan pendidikan agama pada anak-anaknya melalui sekolah formal dan nonformal.
Dari KPAI ke LSF
Sebelum bertugas sebagai anggota LSF, selama sepuluh tahun ia menjadi komisioner di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). “Selama 10 tahun saya bertugas sebagai komisioner KPAI. Tugas kami mengawasi perlindungan anak Indonesia. Termasuk pengaduan pada masyarakat yang banyak dalam urusan siber-bullying. Anak terpapar pornografi, anak menjadi pelaku kekerasan seksual karena adiksi pornografi dan persoalan lainnya yang berhubungan dengan anak,” ungkapnya.
Karena persoalan ini, KPAI dan LSF berkoordinasi dan mencari solusi bagaimana mengurangi dampak dari tontonan yang kurang sehat untuk anak. “Tahun 2020 LSF membuka pendaftaran untuk anggota periode 2020-2024. Saya dari tugaskan teman-teman di KPAI untuk direkomendasikan menjadi anggota LSF. Setelah melalui proses panjang, saya terpilih,” ungkap pria yang menjadi Ketua Komisi Sosialisasi dalam periode pertama tugasnya di LSF.
Untuk periode berikutnya, Naswardi kembali mendaftar dan lolos seleksi untuk tugas periode kedua. “Dalam rapat pleno anggota LSF memberikan amanah kepada saya untuk menjadi Ketua LSF periode 2024-2028,” katanya.
Meski kini sudah menjadi anggota LSF, visi awal untuk menjadi anggota LSF yang direkomendasikan teman-temannya di KPAI tidak berubah, yaitu bagaimana mewujudkan tontonan yang ramah anak. “Bagaimana jumlah film anak meningkat dan agar anak-anak bisa menonton film sesuai dengan klasifikasi usianya,” terangnya.
Tugas utama KPAI melindungi anak-anak Indonesia dari hal-hal yang tidak mendidik bisa diwujudkan sebagian melalui lembaga seperti LSF. “Tugas utama LSF adalah melakukan kurasi dan filtrasi film dan meningkatkan kualitas film. Kelompok yang paling rentan terdampak adalah anak-anak. Ini yang bisa kita upayakan melalui kerja di LSF,” katanya.
Rindu Film Laskar Pelangi
Film bagi Naswardi harusnya bisa menghibur dan juga menginspirasi. “Saya paling suka dengan film Indonesia. Kalau tidak kita siapa lagi yang akan menonton film nasional. Sampai saat ini salah satu film nasional yang menurut saya bagus ada dan harus menjadi referensi adalah Laskar Pelangi. Ceritanya bagus dan inspiratif,” pujinya.
Film ini lanjut Naswardi memiliki kisah hiburan dan pesan yang ingin diberikan kepada penonton. “Kisah soal keterbatasan anak-anak Laskar Pelangi tidak menghalangi mereka untuk menggapai mimpinya. Keterbatasan tak menjadi alasan untuk berkarya atau menghasilkan sesuatu yang baik,” lanjutnya pria yang hobi maraton dan badminton ini.
Dia berharap pemerintah bisa memberikan stimulan dan dukungan pada sineas dan rumah produksi yang ingin membuat film-film inspiratif seperti film Laskar Pelangi. Bisa film sejarah, film biopik, dll., yang bisa menginspirasi penonton anak. “Bentuknya bisa dalam kemudahan izin atau keringanan pajak,” katanya.
Untuk itu, Naswardi melanjutkan, perlu sinergi dan kolaborasi antara sineas dan produser dengan pemangku kepentingan. “Semoga ada lagi film-film yang menghibur tapi juga menginspirasi penonton anak-anak,” harapnya.
"Menurut saya, kementerian dan lembaga harus memberikan dukungan pada produksi film anak. Agar film anak tetap ada, dan anak-anak menonton film untuk usia mereka,"