Kemenkop UKM Bakal Bentuk Konsorsium Credit Scoring, Anggotanya Menko Perekonomian hingga Menkeu

JAKARTA - Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) bakal membentuk konsorsium penilai Innovative Credit Scoring (ICS) dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Secara umum, credit scoring merupakan sistem penilaian terhadap kemampuan seseorang dalam membayar kewajiban pinjamannya, termasuk kredit usaha rakyat (KUR). Biasanya credit scoring hanya menggunakan data konvensional, seperti data identitas, biro kredit dan perbankan.

Sementara, sistem penilaian ICS menekankan pada penggunaan teknologi Artificial Intelligence (AI) dan Machine Learning untuk menganalisis kemampuan membayar calon debitur secara dinamis dan menggunakan sumber data alternatif.

Deputi Bidang Usaha Mikro Kemenkop UKM Yulius mengatakan, konsorsium ini nantinya bertugas untuk mengatur, mengawasi dan menentukan kriteria ICS yang akan diterapkan oleh perbankan.

Yulius menilai, inisiasi pembentukan konsorsium ini sudah dibicarakan oleh Menteri Koperasi UKM Teten Masduki bersama dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar.

"Kami akan membentuk konsorsium yang terdiri dari Menko Perekonomian, OJK, Menteri Keuangan dan Menteri Koperasi sendiri menjadi salah satu anggota konsorsium," ujar Yulius dalam konferensi pers di kantornya, Kamis, 19 September.

Dia menjelaskan, metode penilaian ICS nanti diusulkan menggunakan dimensi data alternatif seperti data telekomunikasi, BPJS, penggunaan listrik, transaksi e-commerce dan lainnya. Menurut Yulius, data-data ini dapat digunakan untuk melihat pengeluaran atau kemampuan keuangan mereka.

Nantinya, Yulius menilai, penerapan sistem ICS ini dapat membantu pemerintah dan bank penyalur KUR untuk menjaring UMKM yang tidak bisa mengajukan pinjaman atau KUR karena alasan tertentu seperti belum punya catatan kredit atau tidak memiliki angsuran, meskipun mereka sebetulnya memiliki kelayakan untuk mengajukan pinjaman.

"Jika pada awalnya credit scoring hanya menggunakan data konvensional seperti data identitas, biro, kredit dan perbankan. Namun, dalam data tersebut ternyata tidak cukup untuk dijadikan penilaian dikarenakan masih terdapat UMKM yang sebenarnya layak namun tidak memperoleh kredit," tuturnya.

Lebih lanjut, kata Yulius, sistem ICS ini juga sudah diujicobakan kepada 72.004 debitur UMKM. Menurutnya, sistem ICS terbukti mampu meningkatkan penilaian pemberian pinjaman perbankan kepada calon debitur yang tidak terjaring dengan sistem credit scoring konvensional.

"Kami telah melakukan pilot project dengan menggunakan 72.004 data kredit produktif, hasil tingkat persetujuan kredit bertambah 5 persen dengan tingkat resiko NPL tetap terjaga yaitu antara 0,6 dan 0,7," jelasnya.

"Artinya, dengan menggunakan (sistem ICS) ini data yang tertangkap, data yang bisa kami gunakan dalam UMKM ini, dia menaik. Namun, jumlah risikonya itu tidak berubah," imbuh Yulius.

Sebelumnya, Menkop UKM Teten Masduki mendorong agar Kemenko Perekonomian membuat kebijakan terkait pengembangan inovasi kredit scoring agar pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) dapat mengakses pembiayaan lebih mudah.

Teten menyebut, kebijakan untuk mendorong perbankan mengimplementasikan kredit scoring.

Menurutnya, apabila masih menerapkan model penyaluran kredit lama, pelaku UMKM tetap susah dalam memperoleh pembiayaan.

"Kalau misalnya bank dalam menyalurkan kreditnya masih menggunakan histori kredit, UMKM nggak punya aset, nggak punya agunan. Sudah begitu nggak ada histori kreditnya di bank. Nah, karena itu kami minta kepada Menko Perekonomian (Airlangga Hartarto) agar segera membuat kebijakan bahwa bank penyalur KUR harus pakai innovative credit scoring. Itu boleh, dong, karena pemerintah yang punya program," kata Teten yang dikutip Kamis, 12 September.