Didominasi Calon Kelas Menengah, Mampukah Indonesia 2045 Menjadi Negara Maju?
JAKARTA – Presiden terpilih periode 2024-2029 Prabowo Subianto berambisi mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga delapan persen. Namun melihat tren perlambatan ekonomi dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir, akankah ambisi Prabowo tercapai?
Hal itu disampaikan Prabowo Subianto dalam Peluncuran Geoportal Kebijakan One Satu Peta 2.0 pada 18 Juli 2024.
“Tadi Menko Perekonomian menyampaikan bahwa kita optimistis bisa mencapai lebih dari lima persen pertumbuhan. Kalau saya lebih berani lagi. Kita harus berani menaruh sasaran yang lebih tinggi. Kalau saya optimistis bisa mencapai delapan persen,” ujar Prabowo.
Saking optimisnya, Prabowo berkelakar bahwa dirinya berani bertaruh dengan beberapa menteri negara tetangga. Jika berhasil mencapai target delapan persen sekali saja dalam lima tahun, menteri negara tetangga bakal mentraktir Prabowo makan malam.
Namun melihat melambatnya pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun ke belakang, ekonom senior dari Bright Institute Awalil Rizky pesimistis hal itu bakal tercapai.
Peran Penting Kelas Menengah
Bambang Brodjonegoro pada April 2019 pernah berujar, salah satu ciri negara maju adalah negara yang penduduknya didominasi kelas menengah. Kala itu ia masih menjabat kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Dikatakan Bambang, penduduk kelas menengah memiliki peran penting meningkatkan konsumsi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan membawa Indonesia menjadi negara maju berpendapatan tinggi pada 2045.
Hal ini juga yang diungkapkan ekonom senior dari Bright Institute Awalil Rizky, yang menuturkan kelas menengah merupakan faktor penting kinerja perekonomian suatu negara. Ia menjelaskan, pada sisi permintaan agregat berdampak melalui konsumsi, yang jika meningkat pesat akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal itu kemudian akan memengaruhi tingkat kesejahteraan, menurunkan ketimpangan, serta memperkuat ketahanan ekonomi nasional.
“Pada sisi penawaran, kelas menengah memengaruhi melalui penciptaan lapangan pekerjaan dan kondisi pekerja, yang jika meningkat akan menumbuhkan pendapatan,” kata Awalil dalam diskusi daring, Selasa (17/9/2024).
Baca juga:
- Fenomena Kotak Kosong di Pilkada 2024 Meningkat: Inilah Wujud Pesta Oligarki, Bukan Pesta Demokrasi
- Menanti Pembuktian Dugaan Korupsi di PON XXI Aceh - Sumut yang Kacau Balau
- Waspada Konten Pornografi, Kecanduan Bisa Bikin Kerusakan Otak
- Mengenal Susu Ikan, yang Menjadi Polemik karena Disebut Masuk Program Makan Bergizi Gratis
“Ini akan memberi kesempatan luas pada investasi modal manusia atau pendidikan, yang selanjutnya berpotensi menambah jumlah kelompok kelas menengah di masa mendatang,” ia menambahkan.
Kembali ke 2019, ketika Bambang yakin Indonesia akan menjadi negara maju pada 2045. Saat itu Bappenas menyusun dua skenario berbeda. Pada skenario dasar, ekonomi diharapkan terus tumbuh setidaknya 5,1 persen per tahun. Dengan skenario ini, Indonesia berpotensi menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2038 dan memiliki ekonomi terbesar ketujuh di dunia saat merayakan hari kemerdekaan ke-100 pada 2045.
Ada lagi skenario yang lebih ambisius, yaitu Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2036 dan memiliki ekonomi terbesar kelima di dunia pada 2045. Syaratnya, ekonomi tumbuh 5,7 persen per tahun secara konsisten.
Menurut perhitungan Bappenas saat itu, jumlah warga kelas menengah Indonesia bakal terus meningkat menjadi 85 juta pada 2020, 145 juta pada 2030, dan 223 juta pada 2045.
Bukan Dipicu COVID-19
Melihat situasi sosial ekonomi Indonesia sekarang ini, sepertinya jauh dari harapan. Penduduk kelas menengah Indonesia justru mengalami penurunan dalam lima tahun ke belakang. Warga kelas menengah sepanjang periode 2019-2024 menyusut 9,48 juta orang menjadi hanya 47,85 juta. Kini, proporsinya hanya 17,13 persen dari total populasi, turun dari 21,45 persen dibanding lima tahun silam. Padahal proporsi kelas menengah diharapkan mencapai sekitar 70 persen dari total populasi pada 2045.
Alih-alih memperbanyak jumlah kelas menengah, kelompok sosial ekonomi di Indonesia justru didominasi calon kelas menengah. Angka kelompok ini naik 8,65 juta dibandingkan 2019 menjadi 137,5 juta orang atau 49,2 persen dari total populasi. Kelompok terbesar kedua adalah kelompok rentan miskin, yang memiliki pengeluaran Rp582.932 sampai Rp874.389 per bulan. Tahun ini, angka kelompok rentan miskin mencapai 67,68 juta atau 24,23 persen dari total populasi.
Pemerintah menunjuk pandemi COVID-19 sebagai kambing hitam, namun sejumlah pengamat ekonomi menuturkan persoalannya tidak sesederhana itu. Awalil Rizky mengatakan, berkurangnya masyarakat kelas menengah mengindikasikan kinerja ekonomi yang kurang baik selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apalagi ini juga diikuti bertambahnya kelompok menuju kelas menengah dan kelompok rentan miskin.
“Fenomena ini meningkatkan risiko perekonomian Indonesia pada tahun-tahun mendatang. Apalagi jika terjadi guncangan eksternal atau kondisi global yang memburuk, maka Indonesia tidak memiliki daya tahan yang cukup kuat,” papar Awalil.
Dengan demikian, impian pertumbuhan ekonomi delapan persen nyaris mustahil terwujud karena berkurangnya kelas menengah hampir pasti menyulitkan pertumbuhan konsumsi. Bahkan investasi skala kecil dan menengah juga akan tergerus.
“Sebenarnya bukan hanya kelas menengah, melainkan mereka yang rentan miskin dan yang miskin memiliki masalah lebih serius. Banyak dari mereka yang tidak tergolong miskin namun berada di sekitar garis kemiskinan, dan sangat rentan untuk jatuh miskin. Sebagiannya hanya terbantu oleh program bansos dan semacamnya,” pungkasnya.
Awalil menyimpulkan, fenomena ini menyebabkan suramnya prospek perekonomian. Bahkan, kesenjangan sosial akan cenderung meningkat dan bisa berdampak pada ketidakstabilan sosial dan politik. Ditambah melemahnya daya tahan perekonomian nasional jika terjadi guncangan eksternal pada tahun-tahun mendatang.