Penegakan Hukum yang Timpang, Realitas yang Terus Berulang
JAKARTA - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini menjatuhkan sanksi kepada Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, karena pelanggaran kode etik ia dinilai melakukan intervensi kepada proses mutasi pegawai di Kementerian Pertanian.
Dalam pembacaan putusan sidang kode etik, pada 6 September 2024, Dewan Pengawas (Dewas) KPK menilai Nurul Ghufron menggunakan pengaruhnya sebagai pimpinan KPK dalam membantu mutasi aparatur sipil negara (ASN) Kementerian Pertanian ke Malang, Jawa Timur.
Gufron dibawa ke sidang kode etik setelah diadukan Sekretaris Jenderal Kementan 2021–2023 Kasdi Subagyono ke Dewas KPK pada Desember 2023 atas dugaan penyalahgunaan wewenang, karena mengintervensi putusan Kementerian Pertanian dengan membantu mutasi seorang ASN bernama Andi Dwi Mandasari (ADM).
Dewas KPK juga mengatakan bahwa hal yang memberatkan Ghufron adalah tidak mendukung upaya pemerintah dalam menghilangkan praktik-praktik nepotisme dengan menggunakan pengaruh pimpinan KPK, tidak menjaga marwah KPK sebagai lembaga antikorupsi serta membuat citra KPK buruk di masyarakat buruk.
Baca juga:
Oleh karena itu Dewas memberikan sanksi "sedang" berupa teguran tertulis untuk tidak mengulangi perbuatan serta pemotongan penghasilan sebesar 20 persen selama 6 bulan. Demikian, kata Tumpak Hatorangan Panggabean, sebagai Ketua Dewas KPK, membacakan putusan itu, di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jumat.6 September.
Dalam proses penyelidikan oleh Dewas, Gufron berusaha mengelak, bahkan beberapa kali melakukan perlawanan hukum. Dengan melakukan laporan ke Bareskrim Polri, ke PTUN sampai ke Mahkamah Agung ia mempersoalkan dan berdalih pengaduan atas dirinya yang kemudian ditindaklanjuti Dewas PKK adalah perkara yang telah kadaluarsa masa berlakunya, karena dilaporkan sejak Maret 2022.
Bahkan Gufron mencoba menyerang dengan laporan hukum ke PTUN dan ke Dewas sendiri terhadap salah satu anggota Dewas KPK, Albertina Ho dengan mengulik kasusnya dugaan penyalahgunaan wewenang, karena meminta hasil transaksi keuangan pegawai KPK kepada PPATK. Pernyataan Gufron yang menilai pengaduan atas dirinya telah kadaluarsa karena dilaporkan Maret 2023.
Barang tentu pernyataan Gufron itu disanggah Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean. “Laporan masyarakat disampaikanke Dewas itu belum satu tahun lamanya sehingga belum menjadi kedaluwarsa. Itu pengertian dari kami,” kata Tumpak, seperti dikutip Bloomberg Technoz..
Kritik Terhadap Sanksi Ringan
Namun meski Dewas telah menyidangkan kasus pelanggar etik atas pimpinan KPK, dengan menjatuhkan sanksi hukuman berupa pemotongan gaji sebesar 20 persen, selama 6 bulan. Namun sangsi ini tak luput dari kritik masyarakat, yang lagi- lagi melihat sanksi untuk kalangan pejabat tinggi selalu ringan dan tidak menimbulkan efek jera atau menjadi perhitungan pelanggar.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia atau MAKI, Boyamin Saiman menyatakan merasa tidak puas dengan sanksi yang diberikan Dewas kepada Gufron. “Prinsipnya menghormati putusan Dewan Pengawas KPK, meskipun ya saya kurang puas,” kata Boyamin ketika dihubungi, 16 September 2024. Ia sebelumnya memperhitungkan sanksi untuk Gufron akan lebih berat karena pelanggaran yang dibuatnya.
Dia mengaku tak sependapat dengan Dewas yang menilai Nurul Ghufron tidak merugikan pemerintah sehingga hanya diberi sanksi sedang, bukan berat. Boyamin menilai Gufron tetap telah merugikan pemerintah. karena apa, tata kelola pegawai negeri itu sudah ada aturan bakunya.
Sanksi Dewas ini dianggap sangat murah jika dibandingkan dengan dampak yang diakibatkan. Menurut Boyamin, dengan hanya dikenakan 20 persen gajinya itu sangat ringan. “ Karena sebagai wakil ketua KPK, Gufron, sebulan bisa mengantongi pendapatan hingga Rp 112 juta” ujar Boyamin kepada Voi.
Kasus ini juga jadi penegasan pandangan bahwa penegakan hukum di Indonesia seringkali timpang. Pejabat tinggi, politisi, atau individu yang memiliki pengaruh kuat seringkali mendapatkan sanksi ringan, atau malah lepas dari sanksi hukum. Sementara itu, penegakan hukum terhadap masyarakat kecil atau pegawai rendahan jauh lebih tegas dan cepat. Hal ini memperkuat kritik bahwa penegakan hukum di Indonesia masih "tajam ke bawah, tumpul ke atas."
Kasus Nurul Ghufron di KPK adalah contoh terbaru dari pola ini, di mana penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran etik yang melibatkan pejabat tinggi seringkali hanya berujung pada sanksi administratif yang ringan, seperti pemotongan gaji atau teguran. Publik berharap bahwa ke depan, penegakan hukum bisa lebih adil dan transparan, tanpa memandang jabatan atau status sosial pelaku.
Kasus serupa juga terjadi pada 2 kasus yang ditangani Dewas sebelumnya dan melibatkan pimpinan KPK yakni kasus Firly Bahuri dan kasus Lili Pintauli, ketiganya berakhir dengan sanksi ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera dan menjadi perhatian.
Kasus yang melibatkan Firli Bahuri, Ketua KPK 2020. Firli diberikan sanksi Dewan Pengawas KPK atas pelanggaran kode etik. Firli terbukti melakukan gaya hidup mewah menggunakan helikopter pribadi dalam perjalanan dari Palembang ke Baturaja. Meskipun melanggar prinsip integritas dan sederhana yang diamanatkan pimpinan KPK, sanksi yang dijatuhkan kepada Firli hanya berupa teguran tertulis.
Kasus ini memicu kritik luas dari publik, karena dinilai bahwa pimpinan KPK seharusnya menjadi teladan dalam menjaga etika dan integritas. Sanksi tersebut dianggap tidak memadai, mengingat bahwa tindakan Firli mencoreng citra KPK sebagai lembaga yang diharapkan menjunjung tinggi nilai antikorupsi.
Ketiga, pertengahan tahun 2021 lalu, Dewan Pengawas KPK juga memutuskan Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, terbukti melakukan pelanggaran etik karena berhubungan dengan pihak yang berperkara di KPK, yaitu M Syahrial, Mantan Walikota Tanjung Balai Sumatera Utara yang ditetapkan tersangka suap lelang jabatan 2019. Serat penyalahgunaan pengaruhnya sebagai pimpinan KPK.
Namun lagi-lagi Dewan Pengawas KPK memberikan sanksi ringan kepada pimpinan KPK yang melakukan pelanggaran. Sanksi yang diberikan dianggap tidak sebanding dengan perilaku Lili Pintauli yang telah merusak kredibilitas KPK, "karena hanya diberikan Sanksi berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.
"Merujuk Perdewas 02/2020, Lili Pintauli seharusnya diberikan sanksi, berupa yang bersangkutan diminta mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan KPK." ditulis ICW, dalam Situs resminya.
Dampak Terhadap Kepercayaan Publik
Sanksi ringan terhadap Ghufron dan pimpinan KPK lainya. Tidak hanya mencoreng citra KPK, tetapi juga menimbulkan keraguan publik terhadap komitmen pemberantasan korupsi secara umum. Di tengah upaya memperkuat reformasi birokrasi dan penegakan hukum, kasus ini menjadi sinyal buruk bahwa hukum masih bisa dibengkokkan demi kepentingan elite.
Kepercayaan publik terhadap KPK dan lembaga penegak hukum lainnya sejatinya modal penting dalam memberantas korupsi. Jika hukum tidak tegak secara adil dan konsisten, maka masyarakat akan semakin skeptis terhadap pemberantasan korupsi di negeri ini. Kasus ini juga memperkuat pandangan bahwa reformasi di tubuh KPK masih jauh dari harapan.
Isu penegakan hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas akan terus menjadi sorotan. Masyarakat menunggu langkah tegas untuk memperbaiki situasi ini, terutama memperkuat lembaga anti-korupsi seperti KPK. Jika tidak, mimpi Indonesia bebas korupsi hanya jadi angan-angan.