Dampak Stres Ternyata Mempengaruhi 7 Sistem pada Tubuh

YOGYAKARTA – Hidup tentu selalu penuh tantangan. Tetapi hidup tanpa stres, rasa-rasanya tidak mungkin. Itulah kenapa penting sekali mengetahui cara mengelola stres supaya tidak mempengaruhi sistem tubuh. Sebagai pengetahuan, berikut dampak stres pada sistem tubuh.

1. Sistem musculoskeletal

Saat stres, otot-otot tubuh menegang. Ini merupakan reaksi yang refleks terhadap stres atau cara tubuh melindungi diri dari cedera dan sakit. Tetapi kalau stres kronis, otot menegang terus, seseorang akan mengalami ketegangan otot kronis pada area bahu, leher, dan kepala. Dampak stres pada musculoskeletal atau jaringan otot, menyebabkan nyeri pada punggung bawah.

2. Sistem pernapasan

Sistem pernapasan memasok oksigen ke sel dan membuang limbah karbon ke luar dari tubuh. Udara dengan oksigen masuk melalui hidung dan melewati laring di tenggorokan, turun melalui trakea, dan masuk ke paru-paru melalui bronkus. Bronkiolus kemudian mentransfer oksigen ke sel darah merah untuk sirkulasi. Saat seseorang mengalami stres dan emosi yang kuat, muncul gejala pernapasan. Seperti sesak napas dan napas cepat. Ini karena saluran udara antara hidung dan paru-paru menyempit.

Ilustrasi dampak stres pada sistem tubuh (Freepik/stockking)

3. Sistem kardiovaskular

Jantung dan pembuluh darah merupakan dua elemen sistem kardiovaskular yang bekerja sama dalam menyediakan nutrisi dan oksigen ke organ-organ tubuh. Aktivitas kedua elemen ini, terkoordinasi dalam respons tubuh terhadap stres. Stres akut atau stres yang bersifat sesaat ataupun jangka pendek, menyebabkan peningkatan denyut jantung dan kontraksi otot jantung lebih kuat. Hormon stres, termasuk diantaranya adrenalin, noradrenalin, dan kortisol, bertindak sebagai pembawa pesan yang memicu efek tersebut.

Selain denyut jantung meningkat dan otot berkontraksi, tekanan darah juga meningkat. Kalau stres mereda, tubuh kembali ke keadaan normal. Itu artinya, kalau stres konstan dialami dan tidak dikelola, menyebabkan masalah pada jantung dan pembuluh darah dalam sistem kardiovaskular, meningkatkan risiko hipertensi, serangan jantung, dan stroke.

4. Sistem endokrin

Aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) merupakan penggerak utama respons stres endokrin ketika seseorang mengalami situasi menantang, mengancam, tak terkendali. Hal ini pada akhirnya menghasilkan peningkatan produksi hormon steroid yang disebut glukokortikoid, yang meliputi kortisol, yang sering disebut sebagai "hormon stres".

Glukokortikoid, termasuk kortisol, penting untuk mengatur sistem imun dan mengurangi peradangan. Meskipun ini berharga selama situasi yang menegangkan atau mengancam di mana cedera dapat mengakibatkan peningkatan aktivasi sistem imun, stres kronis dapat mengakibatkan gangguan komunikasi antara sistem imun dan sumbu HPA. Gangguan komunikasi ini telah dikaitkan dengan perkembangan berbagai kondisi kesehatan fisik dan mental di masa mendatang, termasuk kelelahan kronis, gangguan metabolisme (misalnya, diabetes, obesitas), depresi, dan gangguan imun.

Ilustrasi dampak stres pada sistem tubuh (Freepik)

5. Sistem gastrointestinal

Usus memiliki ratusan juta neuron untuk dapat berfungsi mandiri dan berkomunikasi dengan otak. Stres dapat memengaruhi komunikasi otak-usus. Ini dapat memicu rasa sakit, kembung, dan tidak ketidaknyamanan usus. Usus pencernaan juga dihuni jutaan bakteri yang dapat memengaruhi kesehatan usus dan otak.

Stres dikaitkan dengan perubahan bakteri usus yang juga dapat memengaruhi suasana hati. Stres mengubah perkembangan sistem saraf yang dapat meningkatkan risiko penyakit usus atau disfungsi di kemudian hari. Saat stres, hasrat makan lebih banyak dari biasanya mungkin dirasakan. Stres juga membuat nyeri perut, kembung, mual, dan pola makan tidak sehat. Lebih jauh lagi, stres dapat menyebabkan kejang otot di usus, yang dapat terasa menyakitkan.

6. Sistem saraf

Sistem saraf memiliki beberapa divisi, antara lain divisi sentral yang melibatkan otak dan sumsum tulang belakang, dan divisi perifer yang terdiri dari sistem saraf otonom dan somatik. Sistem saraf otonom berperan langsung dalam respons fisik terhadap stres dan terbagi menjadi sistem saraf simpatik (SNS) dan sistem saraf parasimpatis (PNS).

Ketika tubuh stres, SNS berperan dalam apa yang dikenal sebagai respons "lawan atau lari". SNS memberi sinyal kepada kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon yang disebut adrenalin (epinefrin) dan kortisol. Hormon-hormon ini, bersama dengan tindakan langsung saraf otonom, menyebabkan jantung berdetak lebih cepat, laju pernapasan meningkat, pembuluh darah di lengan dan kaki melebar, proses pencernaan berubah, dan kadar glukosa dalam aliran darah meningkat untuk menghadapi keadaan darurat.

Setelah krisis yang menyebabkan stres berakhir, tubuh kembali ke keadaan semula. Pemulihan difasilitasi PNS yang efeknya berlawanan dengan SNS. Namun, aktivitas pemulihan juga menyebabkan reaksi stres lainnya. Misalnya mendorong bronkokonstriksi dan sirkulasi darah terganggu. SNS dan PNS memiliki interaksi yang kuat dengan sistem imun, yang juga dapat memodulasi reaksi stres.

7. Sistem reproduksi

Stres menyebabkan tubuh melepaskan hormon kortisol, yang diproduksi oleh kelenjar adrenal. Kortisol penting untuk pengaturan tekanan darah dan fungsi normal beberapa sistem tubuh termasuk kardiovaskular, peredaran darah, dan reproduksi pria. Melansir American Psychological Association, Senin, 16 September, jumlah kortisol yang berlebihan dapat memengaruhi fungsi biokimia normal sistem reproduksi pria.

Selain memengaruhi sistem reproduksi, hormon stres juga berpengaruh pada hasrat seksual. Sedangkan pada wanita, stres dapat mengganggu siklus menstruasi, hasrat seksual, berdampak pada kehamilan. Stres juga memperburuk gejala pada sindrom pramenstruasi. Gejalanya meliputi kram, retensi cairan dan kembung, suasana hati buruk, dan mood swing.