3 WN AS Dihukum Mati Gara-gara Terlibat Kudeta Gagal di Kongo
JAKARTA - Tiga warga negara Amerika Serikat (AS) dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer karena terlibat dalam kudeta yang gagal pada Mei di Republik Demokratik Kongo.
Orang-orang bersenjata sempat menduduki kantor kepresidenan di ibu kota Kinshasa pada 19 Mei sebelum pemimpin mereka, politikus Kongo yang berbasis di AS, Christian Malanga, dibunuh oleh pasukan keamanan.
Putranya, Marcel Malanga, termasuk di antara orang Amerika yang diadili, bersama dengan Tyler Thompson, teman Marcel bermain sepak bola sekolah menengah di Utah. Keduanya berusia 20-an.
Orang Amerika ketiga, Benjamin Zalman-Polun, adalah rekan bisnis Christian Malanga.
Ketiganya dinyatakan bersalah atas konspirasi kriminal, terorisme dan tuduhan lainnya, dan dijatuhi hukuman mati berdasarkan keputusan yang dibacakan di siaran langsung TV.
Dilansir Reuters, Sabtu, 14 September, Malanga sebelumnya mengatakan kepada pengadilan, ayahnya mengancam akan membunuhnya kecuali dia ikut serta.
Dia juga mengatakan kepada pengadilan ini adalah pertama kalinya dia mengunjungi Kongo atas undangan ayahnya, yang sudah bertahun-tahun tidak dia temui.
Warga Amerika termasuk di antara sekitar 50 orang, termasuk warga negara Inggris, Kanada, Belgia, dan Kongo, yang diadili menyusul kudeta yang gagal tersebut.
Sebanyak 37 terdakwa dijatuhi hukuman mati. Vonis tersebut dibacakan di bawah tenda di halaman penjara militer Ndolo di pinggiran Kinshasa.
Para terdakwa duduk di depan hakim, mengenakan atasan penjara berwarna biru dan kuning.
Baca juga:
Di Washington, juru bicara Departemen Luar Negeri Matthew Miller mengatakan staf kedutaan menghadiri proses tersebut dan akan terus mengikuti perkembangannya.
“Kami memahami bahwa proses hukum di Kongo memungkinkan terdakwa untuk mengajukan banding atas keputusan pengadilan,” katanya.
Ke-37 terdakwa tersebut termasuk warga negara Belgia-Kongo Jean-Jacques Wondo.
Keluarga Wondo merilis pesan video yang ditujukan kepada Presiden Kongo Félix Tshisekedi menjelang persidangan untuk meminta pembebasannya.
“Saya mohon, turun tangan, dia tidak bersalah,” kata Nathalie Kayembe Wondo, istrinya, dalam pesan tersebut.