Melihat Denyut Ekonomi yang Tersisa dari Pengrajin dan Pengamen di Kampung 'Ondel-Ondel' Kramat Pulo

JAKARTA - Pengamen ondel-ondel jadi sasaran penertiban Satpol PP. Kami ke Kampung 'Ondel-Ondel' Kramat Pulo. Jika larangan Pemprov DKI bertujuan melindungi nilai adat dan budaya Betawi, warga Kramat Pulo punya persepektif tandingan, soal bagaimana para pengrajin dan pengamen melindungi kelangsungan hidup mereka lewat ondel-ondel.

Keberadaan pengamen ondel-ondel di Jakarta sudah jadi keresahan lama bagi Pemprov DKI. Di zaman Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), pengamen ondel-ondel sudah dilarang.

Saat itu Pemprov DKI menggunakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum sebagai dasar penertiban. Timbul dan tenggelam, kini sikap anti-pengamen ondel-ondel muncul lagi.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan Pemprov DKI ingin pengamen ondel-ondel ditertibkan untuk menjaga keluhuran budaya Betawi. Menurut Riza, budaya bangsa, termasuk ondel-ondel harus ditempatkan di tempat yang baik.

"Bukan diperuntukkan mencari uang dengan cara-cara mengamen dan sebagainya. Kami akan carikan tempat bagi mereka yang selama ini mengamen itu," kata Riza saat ditemui di Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara dikutip Antara, Minggu, 28 Maret.

Mengunjungi 'Kampung Ondel-Ondel' di Senen

Kampung ondel-ondel di Senen, Jakarta Pusat

[Klik untuk Menambah Rasa]

Minggu, 28 Maret, kami mendatangi 'Kampung Ondel-Ondel' di Kramat Pulo, Senen, Jakarta Pusat. Daerah ini adalah sentra pengrajin ondel-ondel. Pagi hari, pukul 09.00 WIB, kami tiba di lokasi. Waktu yang tepat. Denyut kehidupan pengrajin dan pengamen ondel-ondel telah dimulai detik itu.

Meski sentra kebudayaan ini ada di tengah kota, bukan berarti Kampung Ondel-Ondel ini berletak di lokasi yang mapan. Menuju ke sana, kami melewati jalanan selebar dua mobil. Di samping kiri dan kanan perkampungan, rumah-rumah berdempetan. Suara musik dangdut bersahut-sahutan dari banyak rumah. Keberadaan ondel-ondel di sudut jalan dan rumah-rumah membuat pemandangan ini terasa khas.

Jelas, ondel-ondel telah jadi bagian penting bagi kehidupan masyarakat Kramat Pulo. Di kampung ini, ondel-ondel dibuat di sanggar ataupun individu. Mereka yang tua maupun muda tampak cekatan membuat ondel-ondel. Kami menemui salah satunya: Yadi.

Yadi menjelaskan banyak hal terkait ondel-ondel, termasuk cara membuatnya. Kata Yadi, dibutuhkan waktu seharian untuk membuat satu barongan (ondel-ondel). Satu hal terpenting dalam proses pembuatan adalah pemilihan bambu. Kualitasnya harus baik. Bambu tak boleh patah dengan mudah ketika dibentuk melingkar.

Bambu-bambu yang telah dikumpulkan akan dibelah dan diserut untuk membuat kerangka dalam ondel-ondel. Yadi menyebut proses pembuatan rangka ini yang paling krusial sekaligus paling sulit. Setelah rangka jadi, proses pembuatan ondel-ondel cenderung lebih mudah.

Yadi saat VOI temui di tengah kesibukannya membuat ondel-ondel

Permukaan ondel-ondel tinggal ditutup dengan lembaran-lembaran kain baju dalam, selendang, dan rok yang ditata menyerupai setelan baju. Warna baju lazimnya mengikuti selera pemesan ondel-ondel.

Unsur lain yang juga penting adalah topeng ondel-ondel. Meski tak sesulit membuat kerangka, topeng ondel-ondel adalah 'wajah' yang harus dibuat dengan ketelitian. Dikatakan mudah karena pembuatan topeng ondel-ondel hanya tinggal dicetak menggunakan cetakan khusus.

Perlu ketelitian karena topeng yang sudah dicetak kemudian diamplas hingga halus dan licin. Setelahnya, barulah topeng didempul, dicat, dan dilukis dengan cat minyak sesuai karakter ondel-ondel laki-laki dan wanita. Sesuai dengan adat dan budaya asli, ondel laki-laki dibuat dengan wajah merah. Sementara, ondel-ondel wanita berwajah putih.

Sentuhan terakhir adalah penambahan ornamen kembang kelapa dari lidi yang dipasang di kepala ondel-ondel. Tambahan-tambahan lain juga dapat dilakukan dengan penempelan ragam aksesori khas Betawi, seperti golok untuk ondel-ondel laki-laki dan bermacam perhiasan untuk ondel-ondel wanita. Ondel-ondel pun siap dijual.

Satu ondel-ondel atau yang juga ia sebut barongan dihargai sekitar Rp2 juta. Uang itu biasanya dibagi dengan tiga orang temannya. Di situasi normal, pekerjaan ini lumayan. Apalagi Yadi juga memiliki sejumlah ondel-ondel yang ia sewakan. Nah, ondel-ondel yang disewakan itu yang banyak digunakan para pengamen di jalan-jalan.

Pengamen ondel-ondel

Kampung ondel-ondel di Senen, Jakarta Pusat

Yadi tak mematok harga untuk ondel-ondel yang ia sewakan. Yadi memilih sistem bagi hasil lewat setoran. Pendapatannya tak menentu. Kadang bisa sangat minim di angka ribuan. Lain waktu bisa melegakan di angka ratusan ribu.

“Jadi, setor. Ada yang punya sendiri. Kalau yang punya modal, dia beli sendiri. Kalau yang ini sama ini. Itu juga enggak ditargetin harus nyetor sekian-sekian. Kagak. Jangankan kata itu. Dagang aja enggak tentu juga kan. Entar dapat untung, entar rugi. Kan begitu juga yang ngamen."

"Saya udah pernah ngalamin jalan ngamen dapat Rp5 ribu perak. Itu pakai alat. Dulu belum begitu banyak (pengamen ondel-ondel lain). Masih pakai alat itu dapat Rp5 ribu perak. Karena rusak alatnya. Dapat Rp5 ribu perak pernah. Rp2 ribu perak pernah,” tambah Yadi.

Air muka Yadi berubah ketika megisahkan keresahan yang ia rasakan, tentang Pemprov DKI yang hendak melarang penuh pengamen ondel-ondel di jalanan Ibu Kota. Kata Yadi, jika ondel-ondel tak jalan, maka ia tak bisa menafkahi keluarga.

Alat ngamen ondel-ondel

"Selama pandemi saya enggak ada pemasukan. Yang ada berantem mulu sama bini karena keuangannya. Iyalah, kita wajar kalau bini begini-begini. Karena kita enggak ada pemasukan," Yadi bercerita.

“Kalau enggak boleh ngamen, gimana, pak? Itu ada panggilan. Kalau ada panggilan. Kalau enggak ada? Masa saya mesti tunggu panggilan. Ya kan? Berarti kalau mau makan, mesti tunggu panggilan dong? Keburu mati orang,” tambah dia.

Ketika kami datang ke sana, sejumlah warga di Kampung 'Ondel-Ondel' Kramat Pulo baru saja dipulangkan. Ada tujuh sampai delapan orang. Sebelumnya mereka ditangkap Satpol PP karena mengamen dengan ondel-ondel di jalanan. Menurut Yadi, kondisi itu makin menyulitkan.

"Banyak kemarin yang ditangkepin. Ada delapan. Tujuh apa delapan gitu. Baru pada pulang. Baru pada diambil-ambilin naik bajaj. Nah bajaj kan ongkos lagi, ya kan?" Selain beban keuangan secara langsung, penangkapan-penangkapan itu juga membuat para pengamen trauma.

Dilematik

Kampung ondel-ondel di Senen, Jakarta Pusat

Yadi dan rekan-rekannya di Kampung 'Ondel-Ondel' Kramat Pulo bukan tak tahu perihal kesakralan ondel-ondel dalam adat dan budaya Betawi. Namun ia tak melihat peluang lain untuk menyambung hidup hari demi hari selain membawa ondel-ondel ke jalanan.

Yadi adalah orang Betawi asli dari Rawa Belong. Dan ia bukan pemain baru di bisnis kerajinan ondel-ondel. Pekerjaan ini adalah warisan turun-temurun keluarganya.

Yadi sendiri awalnya berfokus sebagai pengrajin miniatur ondel-ondel. Kerajinan itu ia suplai ke Kampung Budaya Betawi Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Namun, pandemi menurunkan jumlah pesanan, seiring berkurangnya aktivitas wisata di Setu Babakan.

Yadi mengajukan sudut pandang tandingan dari sisi sosial ekonomi. Baiklah. Sebut saja ondel-ondel memiliki kesakralan sebagai nilai adat budaya yang harus dijaga. Tapi, jika ondel-ondel bisa membantu situasi sosial ekonomi masyarakat yang penuh kesulitan, bagaimana?

“Kalau mau dilarang, kasih solusi. Kalau memang enggak boleh ngamen, kasih wadah. Yang ini kan solusinya gimana caranya supaya anak-anak ini enggak nganggur. Sekarang kalau enggak boleh ngamen, mau enggak mau pengangguran banyak. Jatuhnya apa? Maling, ya kan? Udah bagus begini. Mau jalan ondel-ondel ngamen. Daripada dia berbuat yang enggak-enggak, ya kan?

JURNALISME RASA Lainnya