'Anak Abah' Viralkan Coblos 3 Paslon, DPR: Bagian dari Aspirasi Politik, Tapi Jadi Mubazir
JAKARTA - Komisi II DPR RI menyoroti timbulnya gerakan coblos tiga pasangan calon dalam Pilgub DKI Jakarta. DPR mengimbau warga Jakarta tetap menggunakan hak suara secara sah dalam Pilkada meskipun menganggap gerakan tersebut sebagai bentuk aspirasi kekecewaan dari masyarakat.
"Itu kan bentuk kekecewaan atau bentuk dari protes mereka yang kecewa dalam pelaksanaan pemilu. Namun ini tidak bisa dinamakan golput karena mereka tetap ingin memakai hak suaranya namun tidak sah," kata Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus, Rabu 11 September.
Seperti diketahui, gerakan 'tusuk tiga pasangan calon (Paslon)' di Pilkada Jakarta belakangan ramai disuarakan di media sosial. Gerakan itu disebut datang dari pihak yang mengatasnamakan 'Anak Abah'.
Sebagaimana diketahui 'Anak Abah' merupakan panggilan bagi pendukung mantan Gubernur DKI Anies Baswedan.
Gerakan Anak Abah Tusuk 3 paslon tersebut dianggap sebagai bentuk kekecewaan pendukung lantaran Anies Baswedan tak diusung parpol dalam Pilgub DKI Jakarta. Guspardi menjelaskan, gerakan tersebut berbeda dengan golput karena golput merupakan orang yang memiliki hak suara namun memilih tidak datang ke TPS, sementara gerakan coblos tiga paslon ini hanya bertujuan membuat suara tidak sah.
"Kalau gerakan yang tadi itu hanya untuk menyampaikan bentuk protes jadi membuat kertas suara rusak dan tidak sah dengan memilih ketiga paslon," jelas Legislator dari Dapil Sumatera Barat II itu.
"Kalau rusak dan tidak sah artinya kan percuma, tidak dihitung suaranya dan tidak ada penambahan suara terhadap salah satu kandidat," tambah Guspardi.
Gerakan coblos 3 paslon di Pilgub DKI pun disebut-sebut sebagai bentuk pengawalan dari masyarakat yang tidak setuju dengan dinamika politik dalam pilkada saat ini. Pasalnya apabila mereka memutuskan golput, kertas suara hak yang tidak terpakai berpotensi akan disalahgunakan.
Guspardi pun mengimbau agar masyarakat tetap menyalurhan hak suara sesuai ketentuan, sebagai bagian dari demokrasi dengan turut berpartisipasi dalam menentukan calon pemimpin daerah.
Baca juga:
- Tiga Srikandi di Pilkada Jatim 2024 Berebut Suara Nahdliyin
- Dari Paus Fransiskus Kita Belajar, Kekuasaan Tidak Harus Datang dengan Kemewahan
- Kunjungan Apostolik Paus Fransiskus Buktikan Indonesia Negara yang Bertoleransi Tinggi
- Polemik Subsidi Tiket KRL Jabodetabek Berdasarkan NIK: Tujuannya Bagus, tapi Berpotensi Timbulkan Kelas Sosial
“Memang ini bagian dari aspirasi politik, tapi jadinya mubazir. Akan lebih elok memilih satu di antara 3 sesuai aspirasinya, paling tidak yang mendekati seperti tokoh harapan mereka,” imbaunya.
"Memilih itu hak, bukan kewajiban. Tapi satu suara itu sangat menentukan. Memang tidak ada aturan atau larangan bagi yang membuat surat suara tidak sah. Hanya saja alangkah baiknya kita menjadi warga negara Indonesia yang baik dengan menggunakan hak suara," pesan Guspardi.
Komisi II DPR yang membidangi urusan kepemiluan menyebut, Pemilu merupakan pesta demokrasi yang diselenggarakan untuk rakyat dalam memilih pemimpinnya. Sehingga Guspardi berharap masyarakat dapat melihat sisi baik dari setiap pasangan calon.
"Jika tidak ada tokoh harapannya, bisa melihat visi misi dari pasangan-pasangan calon yang ada. Jadi bisa tahu mana yang paling bisa mewakili aspirasi pemilih," terangnya.
Di sisi lain, gerakan tusuk 3 paslon dinilai Guspardi bisa dijadikan sebagai pelajaran bagi seluruh partai politik, penyelenggara pemilu dan pemerintah untuk lebih bisa memastikan proses penyelenggaraan pemilu berjalan dengan adil, jujur, transparan, dan akuntabel.
"Artinya juga ini menjadi pembelajaran bagi para parpol, penyelenggara pemilu, dan pemerintah untuk bagaimana diberikan ruang seluas-luasnya untuk masyarakat dengan tidak menghambat kandidat atau calon-calon di Pemilu, apalagi sampai ada rekayasa-rekayasa,” ucap Guspardi.
“Jadi masyarakat masih memiliki harapan dan keinginan untuk ikut berpartisipasi dalam 'pesta rakyat' ini,” tambahnya.
Guspardi menyadari gerakan coblos 3 paslon merupakan hak konstitusi setiap warga negara, sehingga setiap keputusan warga negara patut dihormati dan dihargai sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Namun banyaknya suara tidak sah dalam pemilu disebut akan menyebabkan legitimasi dari pemilu semakin rendah.
"Sebenarnya gerakan ini bertujuan membuat legitimasi politik Pilkada Jakarta 2024 bagi gubernur terpilih sangat lemah. Padahal legitimasi pemilih terhadap calon kepala daerah sangat penting dalam demokrasi langsung yang dipilih oleh rakyat," urai Guspardi.
Untuk itu, Guspardi kembali menyarankan kepada semua warga Jakarta yang memiliki hak pilih untuk berpartisipasi aktif pada penyelenggaraan Pilkada.
"Pergunakan hak pilih sebaik-baiknya, jangan sampai suara menjadi tidak berarti," katanya.
“Kita berharap di antara paslon-paslon yang ada, tentu ada yang lebih menjangkau buat pemilih. Meskipun tidak mungkin sama dengan tokoh harapannya, paling tidak ada yang mendekati aspirasi orang-orang yang kecewa karena tokohnya tidak dicalonkan,” pungkas Guspardi.